BAGAIMANA dengan perkembangan koran di Indonesia? Saya membaginya ke dalam beberapa periode. Pertama, zaman kololonial, dan kedua zaman kemerdekaan. Zaman kemerdekaan ini dibagi lagi ke dalam beberapa periode, yakni zaman Soekarno (orde lama), zaman Soeharto (orde baru), dan zaman reformasi. Setiap periode, tumbuh dengan karakteristiknya sendiri-sendiri.
A. Periode Kolonial
Berdasar catatan sejarah, koran di tanah air sudah ada sejak tahun 1744, Gubernur Jendral Van Imhoff memerintah. Nama korannya Bataviasche Nouveles, namun umurnya cuma dua tahun.
Meski begitu, koran lainnya, Vendu Nieuws, kemudian terbit di Jakarta tahun 1776. Koran ini memuat segala informasi mengenai barang lelangan, mulai perabot rumah tangga hingga perdagangan budak belian.
Tapi, mingguan ini juga tak bertahan lama. Vendu Nieuws berhenti terbit karena Gubernur Jendral Deandels mengambil alih percetakan dan menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant (1810). Sayangnya koran ini pun tak lama. Inggris yang datang menggantikan Belanda membuat koran baru, Java Government Gazette sebagai corong pemerintah.
Saat Belanda kembali berkuasa semua kembali berubah. Koran berganti nama menjadi Batavische Courant (1816), yang kembali mereka ubah menjadi Javasche Courant tahun 1827. Koran ini bertahan hingga masuknya Jepang tahun 1942. Dan, seperti 'pendahulunya', Jepang pun membuat koran baru, Kenpo, yang artinya berita pemerintah.
Lantas, bagaimana dengan kiprah kaum pribumi? Keberadaan mereka ternyata juga eksis pada masa-masa ini. Beberapa di antaranya adalah Majalah Bianglala (Jakarta, 1854), Mingguan Bahasa Jawa Bromartani (1855), dan sejumlah koran berbahasa Melayu yang dikelola oleh orang Belanda asli atau peranakan.
Namun, sekalipun keberadaan koran-koran pribumi ini telah ada sejak pertengahan abad 19, kebangkitan sesungguhnya dari pers tanah air baru terjadi tahun 1904. Diawali dengan pendirian NV Javaansche Boekhandel & Drukkerij en Handel in Schrifbehoeften Medan Prijaji oleh Raden Mas Djokomono di Bandung. NV inilah yang kemudian menerbitkan mingguan Medan Prijaji, Januari 1907. Koran ini diakui sebagai koran pertama yang dibuat anak negeri, karena mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan, hingga wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Hanya dalam tempo tiga tahun koran ini berhasil terbit harian. Namun, perjalanannya berakhir, Selasa, 3 Djanuari 1912. Saat berubah menjadi harian, koran ini cetak di Jakarta.
Djokomono sendiri belakangan disebut-sebut sebagai perintis persuratkabaran dan Kewartawanan Nasional Indonesia. Sementara organisasi wartawan PDI (Persatoean Djoernalis Indonesia), dikabarkan juga lahir pada masa Djokomono berkiprah.
Di Jawa Barat, sejumlah koran juga silih berganti terbit pada masa kolonial ini. Jauh sebelum Medan Prijaji terbit, di Cirebon sudah ada surat kabar Tjiremai (1890), Li Po (Sukabumi, 1901) dan Wie Sin Ho (Bogor, 1905).
Sementara di tahun-tahun berikutnya terbit Padjadjaran (Bandung, 1921), Kaoem Moeda (Bandung, 1922), Perbincangan (Bandung, 1925), Perasaan Kita (Bandung, 1925), Harian Fadjar (Bandung, 1925). Indonesia Moeda (Bandung, 1926), Fikiran Ra'jat (Bandung, 1926), dan Bidjaksana (Rangkasbitung, 1926).
Koran-koran lainnya yang juga tercatat adalah Galih Pakoean, Kesatrya, Mingguan Pertimbangan dan Kawan Kita yang terbit di Tasikmalaya. Saat yang sama terbit pula Sinar Pasoendan, Bandung, Poesaka Cirebon, Warta Tjirebon, Soeloeh Ra'jat, Soeara Poeblik, Nicork - Express, Berita Priangan, Sepakat, Koran Indonesia, dan Berita Oemoem.
Adapun, koran-koran Sunda yang tercatat pada masa ini antara lain, Sora-Merdika (Bandung, 1920), Soenda Berita, Mingguan Soenda Soemanget, Siliwangi, Pendawa, Masa Baroe, Sapoedjagad, Simpaj, Isteri Merdeka, dan koran Panglima yang terbit di Tasikmalaya. Adapun, Sipatahoenan, tercatat sebagai koran Sunda pertama yang terbit harian. Pada masa itu pula terbit Sinar Pasoendan, Tawekal, Galoeh, dan Balaka.
Sayangnya semua koran itu harus tutup pada masa pendudukan Jepang. Semua koran itu disatukan menjadi satu penerbitan yaitu surat kabar Tjahaja di bawah pengawasan Sendenbu. Pimpinan Tjahaja pada waktu itu ditunjuk Oto Iskandar Di Nata dan Bratanata.
B. Periode Soekarno
Setelah pendudukan Jepang berakhir, periode baru dimulai. Ditandai dengan terbitnya surat kabar Soeara Merdeka di Bandung, yang kemudian mengungsi ke Tasik lantaran Belanda kembali datang.
Pada masa ini, sejumlah koran juga kembali bermunculan di Jawa Barat, seperti Sinar Majalengka (1948), Warga (Bogor, 1954), dan Kalawarta Kudjang (Bandung, 1956). Sementara Sipatahoenan yang sempat terhenti penerbitannya kembali bangkit. Napasnya baru benar-benar terhenti pada tahun 1985.
Pada awal tahun 1957, majalah Sunda lainnya juga muncul, yakni Mangle yang hingga kini masih bertahan. Selain itu terbit pula Giwangkara, Gondewa, Kalawarta Kudjang dan Galura.
Sementara koran berbahasa Indonesia antara lain Negara Pasoendan, Harian Persatoean, dan Harian Pikiran Rakjat. Yang terakhir disebut bertahan hingga kini, bahkan menjadi koran daerah terbesar di dunia dengan nama Harian Umum Pikiran Rakyat.
C. Zaman Soeharto
Pada zaman Soeharto, kebebasan pers yang sempat terjadi pada masa Soekarno mengalami sedikit perubahan sesuai dengan arah politik negeri saat itu. Pada awal orde baru ini sistem politik yang dikembangkan adalah stabilitas politik sebagai syarat mutlak. Tak heran, pers yang harus ada pun adalah pers yang bebas namun bertanggung jawab, dalam artian tak mengganggu stabilitas politik negara.
Namun, tak jelasnya batasan stabilitas ini membuat negara bisa dengan gampang memberangus media mana pun yang dinilai tak sesuai keinginan (baca: kepentingan) penguasa. Alasannya satu: mengganggu stabilitas negara.
Tiga media, Tempo, Editor dan Detik, barangkali menjadi contoh nyata begitu besarnya sistem politik orde baru dalam memberangus media. Ketiganya dibredel, sama sekali tanpa alasan yang jelas. Sementara pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sebagai syarat berdirinya sebuah media, menjadi senjata ampuh bagi penguasa untuk melakukan pembreidelan.
D. Zaman Reformasi
KETIKA Soeharto akhirnya tumbang, kebebasan pers yang lebih dari 32 tahun terbelenggu kembali menemukan keleluasaannya.
Salah satu implikasi dari deregulasi itu adalah pemilik modal dan penerbit diberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP. Surat izin usaha yang belakangan bahkan menjadi tak diberlakukan lagi.
Akibatnya, terjadi booming media cetak, baik itu berupa koran harian, tabloid maupun majalah. Isi berita dari banyak media itu pun memiliki kecenderungan hampir sama: melampiaskan dendam atas keterkekangan peran dan fungsi kontrolnya selama 32 tahun di bawah rezim Soeharto.
Namun, persoalan lain kemudian muncul bahwa ancaman atas kehidupan pers datang dari sisi lain, yakni masyarakat, yang nota bene juga menjadi pangsa pasar dari media.
Kasus pendudukan Kantor Redaksi Jawa Pos, beberapa tahun lalu menjadi contoh konkret. Massa mengamuk akibat media ini sempat salah tik satu huruf, yang seharusnya ditulis N menjadi B. Seperti diketahui, tuts N dan B pada keboard komputer sangatlah dekat hingga kesalahan ketik menjadi sangat mungkin terjadi. Dan, celakanya, kesalahan N menjadi B justru terjadi pada kata Nabi.
Contoh lainnya yang juga terjadi adalah pengrusakan kantor redaksi Playboy Indonesia oleh warga, beberapa waktu lalu. Keterbukaan yang tak dibarengi dengan pendewasaan publik dan aturan hukum yang tegas membuat massa memilih bertindak sendiri. Dalam beragam kasus bahkan berujung pada kematian wartawan.
Patut menjadi catatan, adalah perlawanan publik yang sempat menimpa Majalah Tempo saat mereka dengan begitu optimistis menulis berita berjudul Ada Tommy di Tenabang. Perlawanan Tommy Winata, yang dengan kecerdasan dan kekuatan modalnya menyeret Tempo ke muka pengadilan nyaris saja berhasil, ketika sejumlah pimpinan Tempo sempat dinyatakan bersalah secara pidana telah menulis berita bohong. Seandainya, saat itu, Tommy melanjutkannya pada tuntutan perdata, misalnya dengan miminta ganti rugi Rp 1 triliun dan berhasil, maka habislah majalah besar dengan catatan sejarah yang amat panjang itu.
Selain ancaman dari masyarakat, kematian pers yang kemudian kerap terjadi juga datang dari ketaktersediaan modal yang cukup dari perusahaan penerbitan. Era reformasi memang membuat pendirian koran menjadi sangat gampang. Tapi, tanpa modal yang cukup, pers akan mati, hanya dalam lima, atau sepuluh kali penerbitan. Ini bertambah parah dengan semakin beratnya persaingan media akibat terlalu banyaknya media massa yang bermunculan.
Sebuah ilustrasi menarik dikemukakan mantan Pemimpin Perusahaan Metro Bandung (kini berubah menjadi Tribun Jabar), Agus Nugroho, saat koran tersebut merayakan HUT-nya yang pertama, 23 Februari 2001.
Menurutnya, adalah sebuah kegilaan menerbitkan koran harian di Bandung pada saat seperti ini. Di samping sudah ada surat kabar harian yang sudah mapan, kota ini juga merupakan pasar paling besar untuk berbagai media cetak terbitan Jakarta, bahkan Surabaya.
Sampai awal 2001, kata dia, Metro Bandung adalah 'bungsu' dari koran-koran harian di kota ini. Sebelumnya, sudah malang melintang harian Pikiran Rakyat yang mulai terbit tahun 57, Bandung Pos (terbit sejak tahun 1966) Galamedia (dulu Harian Gala - 1968, yang kemudian digandeng PR), Suara Baru (1998) dan Suara Publik (1998). Sebelumnya, di kota ini telah terbit dan beredar pula surat kabar mingguan Sipatahoenan, Giwangkara, Kujang, Mangle (majalah), Galura (Grup PR) dan Mitra Bisnis (Grup PR). Belakangan muncul Expose, BOM, Jabar Post, Indonesia-Indonesia, Detail Post, Deru, Deras, dan Bandung Bisnis.
Selain itu hampir seluruh surat kabar harian, mingguan, dwimingguan, dan bulanan, yang diterbitkan di Jakarta, juga beredar di Bandung pada waktu edar yang sama dengan di Jakarta. Bahkan harian Republika dan Rakyat Merdeka dicetak juga di Bandung untuk mengejar waktu agar bisa lebih cepat sampai di tangan pembaca mereka.
Sementara itu, kota-kota potensial yang berdekatan dengan Bandung juga sudah dikuasai surat kabar sendiri-sendiri. Di Bogor misalnya, ada Radar Bogor (Jawa Pos) dan Pakuan (PR), di Sukabumi juga terbit Radar Sukabumi para awaknya sekaligus menyiapkan Radar Cianjur, sedang Cirebon sudah dipagari Mitra Dialog (PR), Radar Ciebon (Jawa Pos), dan Garage Pos. Tasikmalaya dan sekitarnya dipagar oleh Priangan (PR). Sedangkan Banten yang baru saja lepas dari Jawa Barat, juga sudah sesak oleh setidaknya 14 penerbitan lokal, dan empat di antaranya masih konsisten terbit teratur yakni Radar Banten (JP), Fajar Banten (PR) dan Banten Pos dan Gema Banten.
Begitulah. Sejak 1998 hingga 2001, di Jawa Barat setidaknya ada 48 koran baru yang muncul. Memang, sebagian besar di antaranya terbit sekali-dua untuk kemudian entah ke mana.
Mati bukan karena breidel, tapi lantaran tak ada lagi rupiah yang tersisa.(arief permadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar