Selasa, 13 April 2010

Beli Saja Semua Tanahnya

…selain posisi kampung yang memang berada jauh lebih rendah dari sungai, Cieunteung adalah satu di antara empat daerah penampungan air bagi Sungai Citarum di Kabupaten Bandung selain Citepus, Andir, dan Parunghalang. Ini berarti banjir tahunan selamanya memang akan menyergap di Cieunteung…

RELOKASI warga Kampung Cieunteung, Kelurahan/Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung sebenarnya pernah dilakukan pascabanjir tahun 1986-an silam. Saat itu, warga, khususnya yang tinggal di bantaran Sungai Citarum direlokasi ke Kelurahan Manggahang, di kecamatan yang sama. Sayang, relokasi yang sudah diupayakan dengan susah payah itu akhirnya gagal total. Warga kembali ke rumah mereka di Cieunteung.



Tahun 2007 ketika banjir lagi-lagi menyergap kawasan ini seperti di tahun-tahun sebelumnya, "perintah" relokasi juga kembali disuarakan Danny Setiawan, Gubernur Jabar, saat itu. Menurut Danny, relokasi adalah cara yang paling cepat untuk menghindarkan warga dari banjir tahunan. Normalisasi Citarum tak akan banyak membantu karena selain posisi kampung yang memang berada jauh lebih rendah dari sungai, Cieunteung adalah satu di antara empat daerah penampungan air bagi Sungai Citarum di Kabupaten Bandung selain Citepus, Andir, dan Parunghalang. Ini berarti banjir tahunan selamanya memang akan menyergap di Cieunteung. Dan, itu berarti pilihanya hanya dua: menyelaraskan hidup dengan terjangan banjir, atau sekali lagi harus mau direlokasi.



Namun, berkaca dari apa yang sudah terjadi di awal tahun 1990-an lalu, penyelarasan hidup dengan banjir dan lumpur tampaknya memang menjadi pilihan warga Cieunteung. Akan tetapi, tentu saja, pilihan itu bukan tanpa alasan.



Ketika direlokasi ke Manggahang tahun 1990-an silam, warga korban banjir ini masih memiliki tanah dan rumah di wilayah Cieunteung. Terlebih setelah banjir yang besar tahun 1986 itu, Cieunteung tak pernah lagi dilanda banjir yang besar hingga tahun 2005-an, saat hulu Citarum kembali rusak parah.



Dengan kondisi yang sudah serba telanjur seperti yang saat ini terjadi, relokasi harus kita akui menjadi hal yang sangat pelik kelihatannya. Perlu upaya yang luarbiasa jika pemerintah memang memilih ini sebagai opsi yang akan ditempuh. Hingga setidaknya diperlukan dua langkah yang harus segera direalisasikan untuk mewujudkannya.



Agar warga tak lagi pindah ke rumah lamanya setelah direlokasi, dana yang cukup harus disediakan pemerintah untuk membeli semua tanah dan rumah warga yang ada di Cieunteung dengan nilai yang cukup agar warga bisa membeli tanah dan rumah kembali di daerah yang dipilihnya. Kecuali total nominalnya yang mungkin cukup besar, langkah tersebut memiliki keuntungan ganda hingga layak untuk dipilih. Pertama, proses relokasi yang dilakukan akan menjadi sangat bermartabat. Kedua, pemerintah tak perlu pusing lagi memikirkan ke mana warga Cieunteung harus pindah karena mereka sudah dibekali uang yang cukup untuk memilih sendiri lokasi rumah yang akan dibelinya.



Pembelian rumah dan tanah di Kampung Cieunteung oleh pemerintah tersebut juga akan menjadi dasar yang kuat bagi pemda setempat untuk menegakkan peraturan di hari-hari berikutnya. Setelah rumah dan tanah Cieunteung milik negara tak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk tinggal di tempat ini. Dengan begitu tak ada lagi berita banjir di Cieunteung yang selalu menghias halaman muka surat kabar setiap kali musim hujan tiba. Sisi lainnya, pemerintah pun bisa lebih fokus menormalisasi kembali Sungai Citarum dari hulu ke hilirnya, seperti yang baru-baru ini kembali diniatkan Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan.



Sungguh, dibanding masalah relokasi PKL yang keterkaitannya bercabang ke mana-mana, relokasi warga Cieunteung sebenarnya tak begitu rumit. Jika sebuah rumah yang ada dipukul rata senilai Rp 150 juta saja, yang diperlukan hanya Rp 150 juta kali 533 kepala keluarga, yakni 79.950.000.000, atau sekitar 0,08 persen dari Rp 10 triliun yang dianggarkan untuk normalisasi Sungai Citarum.



Meski tak cukup besar, Rp 150 juta adalah harga yang cukup pantas, adil, dan manusiawi untuk penggantian rumah dan tanah warga. Termasuk mungkin untuk warga yang sudah tinggal di tempat lain namun tak juga menjual tanahnya di Cieunteung karena harganya kelewat turun.(arief permadi)

Tidak ada komentar: