Jumat, 23 Juli 2010

Cepat Tak Selalu Baik



TAK perlu menjadi seorang ahli untuk tahu bahwa penggunaan gas sebagai bahan bakar lebih berbahaya dibanding minyak tanah. Itu sebabnya, perlakuan untuk bahan bakar gas ini lebih ketat dibanding minyak tanah. Mulai dari masalah perangkat, perawatan, sampai penggunaannya.



Penggunaan gas sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah sebenarnya bukan sesuatu yang baru di negeri ini. Belasan tahun lalu, jauh sebelum konversi minyak tanah ke gas diberlakukan pemerintah, gas dalam tabung sudah banyak dipakai. Banyak rumah tangga, terutama di kompleks-kompleks di kota besar, termasuk Bandung, menggunakannya. Dan sejauh itu, aman- aman saja.

Ledakan baru sering terjadi memang setelah konversi. Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) bahkan mencatat, terdapat 189 kasus kebocoran gas yang menimbulkan ledakan, dan 78 di antaranya terjadi pada tahun 2010 hingga pekan pertama bulan Juli.

Dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang total kasusnya hanya 50, jumlah tersebut jelas meningkat lebih dari dua kali lipatnya. Padahal, logika sederhana, jika semua kasus tersebut disebabkan keteledoran para penggunanya, jumlahnya pasti lebih sedikit karena orang pasti akan semakin mahir seiring berjalannya waktu. Terlebih, jauh sebelum konversi minyak tanah ke gas ini diberlakukan, sosialisasinya juga telah dilakukan.

Konversi bahkan sempat dulu diuji coba di hanya sebatas satu kelurahan, meningkat ke satu kecamatan, kota, dan kabupaten, dan kemudian provinsi, sebelum akhirnya diberlakukan nasional.

Dengan asumsi di atas, tak bisa tidak bahwa sebab yang paling logis adalah pasti adanya masalah dengan perangkat. Masalah baik pada tabung tiga kilogramnya, karet pengamannya, selangnya, atau bisa juga regulatornya.

Belakangan ini terbukti setelah Badan Standarisasi Nasional (BSN) melakukan survei, yang hasilnya, 63 persen ledakan terjadi karena tabungnya bermasalah. Masalah tidak hanya karena tabungnya memang tak layak pakai dalam waktu yang lama, tapi juga karena pola penyimpanannya sekaligus distribusinya yang tidak hati-hati.

Pemerintah tentu adalah pihak yang paling harus bertanggung jawab terkait terus terjadinya ledakan dari tabung-tabung gas murah tiga kilograman itu. Sebab, apa yang terjadi sekarang bukan sebuah kecelakaan, melainkan keteledoran dari sebuah program yang sebenarnya sangat brilian di tengah terpuruknya ekonomi bangsa.

Sebagai awal dari bentuk pertanggungjawaban itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjamin bahwa semua korban ledakan tabung gas diobati secara gratis dengan pengobatan terbaik yang dimiliki negara. Keluarga dari korban meninggal diberi santunan. Dibangunkan kembali rumah agar mereka bisa hidup layak.

Sambil langkah pertama berjalan, kebijakan tegas diberlakukan kepada produsen, agen, dan pengecer tabung, kompor, slang dan regulator, serta aneka peralatan vital lainnya.
Tegur yang keras, disertai sanksi berat kepada mereka yang melanggar. Jangan sampai terdengar cerita miring bahwa pabrik yang ketahuan menyimpan puluhan ribu tabung gas tak layak hanya diperingatkan tanpa ada jaminan bahwa tabung-tabung tersebut tidak diedarkan.

Langkah lain yang juga harus dilakukan adalah membuka posko pengaduan yang dapat bereaksi cepat di setiap kelurahan atau kecamatan. Dengan demikian, distribusi gas hingga ke tingkat warung terawasi. Warung yang kedapatan menjual gas dalam tabung tak laik dikenai hukuman denda berat dalam proses pengadilan yang cepat seperti halnya pengadilan tindak pidana ringan.
Untuk di tingkat agen, tentu hukuman yang dijatuhkan harus berkali-kali lipat lebih berat. Begitu seterusnya hingga ke tingkat produsen.

Hal lain yang juga mungkin harus segera dilakukan adalah menarik semua tabung yang tak layak dari setidaknya di tingkat agen dan menggantinya dengan tabung yang baru. Buka penukaran slang dan regulator di sebanyak-banyaknya tempat penukaran tanpa biaya tambahan. Jangan bebani warga karena ini, ledakan demi ledakan yang terus terjadi ini, adalah salah pemerintah.
Pemerintah, tak bisa tidak, harus kembali bertindak cepat. Namun tentu dengan baik karena sekadar cepat terbukti tak selalu baik. (*)

Oleh Arief Permadi

1 komentar:

Dheno mengatakan...

sayangnya itu tidak diiringi dengan sosialisasi yang baik ...mengingat masih banyak masyarakat yang awam tentang ini ...