DIRJEN Ditjen Bina Produksi Departemen pernah menembuskan sepucuk surat kepada Kepala Lembaga Bahasa Indonesia. Isinya berhubungan dengan penggunaan istilah "lokal" (yang dinilai bercitra kurang positif atau inferior) untuk memaknai produk buah-buahan hasil kebun Tanah Air sendiri.
Ia menyarankan, apabila kita tidak bisa menemukan suatu kata lain untuk membedakan buah produk Indonesia dengan buah impor, maka lebih baik tidak perlu memberi identitas apa pun di belakang penyebutan nama buah produk Indonesia. Katakan saja jeruk kalau itu jeruk, tak perlu menambahinya dengan kata "lokal".
Ditambahkan lagi, taruhlah kita berada di Jakarta, maka menjadi kurang tepat apabila mangga probolinggo diberi label "mangga lokal", sebab makna kata lokal adalah "setempat; atau khusus dari/bagi suatu tempat". Penggunaan kata lokal di sini selain bercitra rendah juga salah karena mangga tersebut bukan hasil sebuah kebun di kawasan Menteng. Pemaknaan mangga lokal barulah tepat jika mangga probolinggo dijual di Kota Probolinggo.
Buah pikiran Bapak Dirjen ada sisi benarnya. Produk buah-buahan tertentu hasil kebun kita memang ada yang kurang bagus jika dibandingkan dengan produk impor. Janganlah buah-buahan kita yang sudah enggak 'pede' itu diberi ciri yang semakin mempermalukannya. Akan tetapi, alih-alih lekas-lekas mengenyahkan cap "lokal" yang sekaligus akan menghilangkan segala identitas (baik dan buruk), maka mari kita mengkaji lagi sejenak masalah ini.
Kemungkinan besar memang kata "lokal" sengaja dipakai untuk membedakan produk dalam negeri dari produk buah impor. Dengan strategi ini, adakalanya pedagang mampu menjual buah impor dengan lebih tinggi. Namun, pada era global seperti sekarang, beberapa komoditi buah impor harganya ternyata sudah bisa lebih murah pula daripada buah lokal! Tampaknya, pada akhirnya konsumen pasti kembali kepada penilaian yang rasional terhadap mutu dan penampilan buah- buahan itu sendiri dan tak terlalu terpengaruh oleh label yang menyatakan impor atau lokal.
Jika kata lokal tetap harus dicarikan penggantinya, maka salah satu usul yang dapat disampaikan pada kesempatan ini adalah dengan mempergunakan kata yang menunjukkan tempat asal buah tersebut. Daripada mengatakan jambu lokal, maka sebutlah -- umpamanya -- jambu cianjur (untuk jambu yang datang dari Cianjur). Kalau konsumen tetap memilih jambu bangkok, maka barangkali dia memang mau makan jambu bangkok saja!
Lihatlah bagaimana penjual duku dengan percaya diri menyebut barang dagangannya sebagai duku palembang, tanpa peduli dari mana asal-usul buah itu. Lalu, salak mana yang mampu menyaingi salak bali atau salak pondoh?
Apabila masyarakat kita memang maniak barang impor, bahasa tidak bisa mengubah apa-apa. Apel malang bisa saja diaku apel australia oleh penjual buah di pasar becek. Tentu, agar laku dengan harga lebih mahal. Rekayasa bahasa tak dapat menyembuhkan masyarakat yang sakit maniak. Apa boleh buat, Pak Dirjen ... Atau, kita perlu coba angkat kata "nasional" menggantikan "lokal guna menggempur kata "impor" itu?
Sumber Primer : Majalah Intisari Edisi Juni 2005. Penulis: Lie Charlie
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar