Senin, 13 Oktober 2008

"Non" Sebagai Awalan? Nanti Dulu!

NONAKTIF. Kata ini meruap kala seorang pejabat terkena kasus atau intrik politik. Misalnya kala Kapolri Bimantoro dinonaktifkan oleh Presiden Gus Dur pertengahan tahun 2001. Begitu juga ketika Syahril Sabirin tersandung kasus Bank Bali. Ia diminta nonaktif dari jabatannya. Kasus terbaru tentunya Akbar Tandjung.

Kali ini, kita akan meninjau penggunaan kata nonaktif tadi dari sudut bahasa dan sama sekali mengabaikan interferensi apa pun yang tidak ada kaitannya dengan kebahasaan.

Pemakaian kata nonaktif sudah marak sebelum kasus-kasus di atas. Maksud kata tersebut mudah dicerna, yaitu mengistirahatkan seseorang dari kegiatan atau kewajibannya. Ada banyak posisi jabatan yang akrab dengan kata non ini. Tidak harus seorang Kapolri, Gubernur BI, atau bahkan Ketua DPR. Seorang Ketua RT pun bisa dinonaktifkan jika dinilai melanggar peraturan.

Kata nonaktif terbentuk dari kata aktif yang diberi awalan berupa non. Benar, dalam bahasa Inggris, misalnya, non itu dianggap sebagai prefiks (awalan), meski hanya dilekatkan pada sejumlah kata tertentu saja.

Agar tidak mengganggu ketatabahasaan kita, maka penulis berpendapat sebaiknya non ini jangan dulu diadopsi sebagai awalan. Sedangkan aktif sendiri memiliki makna giat, namun sebagai kata keadaan, aktif kira-kira berarti masih bertugas.

Sejauh ini, dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia mutakhir, penggalan non juga sering dipadukan dengan kata benda, umpamanya nonfiksi, nonkarier, serta nonanggota.

Penambahan kata non terhadap kata benda bersifat mengingkari atau sepadan dengan penambahan kata bukan kepada kata-kata yang sama (bukan fiksi, bukan karier, dan bukan anggota). Terhadap kata sifat atau kata keadaan, penambahan non setara dengan penggunaan kata tidakA. Kadang-kadang non pun dapat berarti tanpa, seperti terlihat pada kata nongelar dan nonkolesterol.

Seandainya kita berlapang dada menerima kata nonaktif, maka kaidah pengimbuhannya berlaku normal, sehingga akan lahir kata-kata seperti menonaktifkan atau dinonaktifkan atau penonaktifan.

Penyerapan unsur non ini dapat dipandang sebagai sikap yang positif selama kita mampu dengan bijaksana menempatkannya. Perlu diingat bahwa unsur non hanya berterima jika dilekatkan kepada kata benda, kata sifat, atau kata keadaan. Hindarkan pelekatan pada kata kerja, sehingga tidak timbul nonmakan, nonpukul, dan nontulis.

Sejatinya, bahasa Indonesia memiliki dua kata pengingkar: bukan (untuk mengingkari kata benda) dan tidak (untuk mengingkari kata kerja, kata sifat, dan kata keadaan). Kata tidak sesekali muncul dalam wujud tak atau tiada. Selain itu, dikenal pula unsur pengingkar yang lain, non (yang telah kita bahas di atas) dan nir (yang berasal dari bahasa Sansekerta).

Penerapan unsur pengingkar nir dalam mekanisme negasi memang tidak sepopuler non, dan hanya dijumpai bertaut dengan beberapa kata, misal nirbau (odourless), nirkarat (stainless steel), atau nirlaba (nonprofit).

Karena merupakan morfem terikat morfologis, maka cara menulis kata yang mengandung unsur non atau nir seyogyanya bersatu dengan kata dasarnya. Toh, tidak ada salahnya sesekali kita menuliskan kata-kata tersebut dengan perantaraan tanda sambung (-) untuk mempertegas bentuk kata-kata tersebut. Apalagi mengingat kata-kata itu memang agak jarang dipakai, sehingga tidak akan terlalu mengganggu. Silakan saja jika ada satu-dua kata asing yang mengandung unsur pengingkar akan kita ambil begitu saja sebagai kata Indonesia.

Kata nonstop sudah sangat akrab dengan pertuturan kita, sehingga dapat dianggap sebagai kata serapan utuh begitu saja.(*)

Sumber Primer : Majalah Intisari Edisi Januari 2004. Penulis : Lie Charlie
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/


Tidak ada komentar: