Senin, 29 November 2010

Guru Tak Boleh Menyerah

SERANGKAIAN kabar menyentak kembali melukai dunia pendidikan kita sepanjang November ini. Kabar yang tak lagi menjadi tamparan bagi dunia pendidikan, melainkan pukulan bertubi- tubi yang datang beruntun, seolah tak akan berhenti.


Selasa, 16 November 2010, hanya berselang beberapa hari sebelum Hari Guru, Imelda Rahayu, siswi terpandai di kelas XII IPS 1 SMAN 2 Majalengka, tak lagi diperkenankan bersekolah. Pihak sekolah mengeluarkannya menyusul perkelahian Imelda dengan seorang mahasiswi. Anak seorang pejabat, gara-gara "rebutan" lelaki.

Menurut Wakil Kepala SMAN 2 Majalengka, Ridwan, sebagaimana dikutip harian Tribun Jabar, beberapa waktu lalu, Imelda telah melakukan penganiayaan yang bisa mereka buktikan dengan hasil visum.

"Yang bersangkutan tidak boleh belajar lagi di sekolah kami karena tersangkut kasus kriminal. Dia telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Silakan cari sekolah yang lain saja," katanya.

Namun, versi berbeda bahwa yang terjadi hanyalah perkelahian biasa dari dua remaja itu terkuak, saat Imelda menceritakannya kepada Sekretaris Daerah Majalengka, Ade Rachmat Ali, di Kantor Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata setempat, Sabtu (20/11).

"Kami memang berkelahi. Tapi, saya tak pernah menganiaya," kata Imelda sendu. Di Majalengka, Imelda tercatat sebagai siswi yang sangat pandai. Siswi yang ingin sekali menjadi guru itu tak diperkenankan sekolah. Padahal, ujian nasional hanya empat bulanan lagi, dan sekolah negeri, yang para gurunya digaji dengan pajak yang kita bayar, tak mau tahu, tak mau menunggu.

Beruntung, setelah berita "luka" ini tersiar, Bupati Majalengka, Sutrisno, segera bertindak tegas. Imelda kembali sekolah seski dengan catatan: tak lagi mengulang kasus serupa.

"Pendidikan adalah faktor penentu kemajuan bangsa. Kita harus memberi ruang yang leluasa bagi siapa pun yang ingin mengenyam pendidikan. Karena itu, tidak manusiawi jika sekolah melarang siswanya atau siapa pun untuk belajar," ujar Sutrisno saat ditemui wartawan Tribun Jabar, di Pendopo Majalengka, Senin (22/11) pagi.

Langkah tegas Sutrisno, sungguh seperti oase di tengah luka-luka menganga pendidikan kita.
Benar, bahwa tak siapa pun berhak melarang seorang anak untuk bersekolah. Jika para guru maunya cuma mengajar anak yang baik, penurut, rajin, sopan, dan pintar, bagaimana dengan mereka yang bodoh, malas, pembangkang, dan nakal? Padahal, mereka adalah juga tunas-tunas bangsa yang juga berhak mendapat perlakuan yang benar. Para guru tak seharusnya menyerah dengan apa pun keadaan siswa-siswinya, bukannya menghindar dari tanggung jawab mendidik, dan lantas berdalih bahwa siswa telah berbuat kriminal, hingga harus dikeluarkan. Padahal, di negara ini, aturan tentang kriminalitas begitu terangnya. Seseorang dinyatakan bersalah telah melakukan tindakan kriminal, hanya bila pengadilan memutuskannya bersalah. Bukan para guru, bukan saya, bukan juga Anda.

Itu sebabnya, tindakan Bupati Majalengka meminta Imelda kembali diizinkan sekolah adalah tepat, namun tak cukup. Sebab, jika memang tindakan SMAN 2 Majalengka ini keliru, sanksi yang sama tegasnya harusnya juga diberikan kepada penanggung jawab sekolah tersebut. Tak hanya demi tegaknya keadilan, melainkan demi adanya kepastian bahwa tindakan serupa tak lagi terjadi. Bukan saja di SMAN 2, tapi di semua sekolah di Majalengka, di tanah air ini.

Guru adalah pahlawan, bukan kuli yang cuma dibayar untuk mengajar dari jam tujuh pagi lalu pulang tengah hari. Guru adalah tonggak sebuah bangsa. Tetaplah seperti itu, jangan merendahkan martabat.

Mumpung masih di bulan yang sama, selamat Hari Guru. Semoga Allah meridai. (Arief Permadi)

Tidak ada komentar: