Sabtu, 20 Juni 2020

Demassafikasi Media Pers Dakwah

ADA paling tidak empat hal yang menentukan berhasil-tidaknya penyampaian pesan dakwah di media massa. Selain konten dakwah itu sendiri, kemasan, pemilihan jenis media, dan kesesuaiannya dengan objek dakwah yang disasar juga sangat berpengaruh. Tulisan ini akan membahas lebih dalam mengenai konten dalam kaitannya dengan manajemen media dan manajemen pers dakwah. Kita akan mulai dari fenomena demassafikasi.
 

Sekalipun objek dakwah dan pesan yang didakwahkan sejatinya tidak pernah berubah, sepanjang sejarah, dakwah selalu punya tantangan tersendiri. Ini karena perilaku manusia dan lingkungannya senantiasa dinamis. Ini pula yang membuat kajian-kajian dakwah menjadi nyaris tak terbatas. 

Selalu saja ada persoalan baru yang menarik untuk dibahas, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Dari persoalan-persoalan yang pelik dan berat yang memerlukan penelaahan dan pembahasan yang mendalam, hingga persoalan-persoalan sederhana dan terkini yang terjadi dan kerap dihadapi masyarakat sehari-hari. 

Konten tentang fiqh muamalah, misalnya. Berkembang sangat pesat dan menjadi sangat berangam dengan topik-topik yang semakin spesifik seiring dengan terus berkembangnya teknologi. Hal-hal yang dulu tak ada, seperti jual beli online atau layanan-layanan keuangan digital yang mempermudah pengguna untuk bertransaksi di merchant, hari-hari ini menjadi topik yang kerap dibahas. 

Kondisi ini pada akhirnya juga mempengaruhi manajemen konten media. Isi media mulai ditujukan untuk segmen yang lebih sempit namun diyakini masih besar jumlahnya. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai fenomena demassafikasi (sebagian ahli juga menyebutnya demasifikasi). 

Untuk menjaga "basis pasarnya" media pun pada akhirnya memilih topik yang lebih spesifik ketimbang sebelumnya. Jika dulu, bidang ekonomi, kriminal, hukum, fesyen, atau agama, sudah dianggap sebagai topik-topik yang spesifik , hari-hari ini topik-topik itu sudah dianggap umum, dan tidak tepat lagi untuk dipergunakan dalam meraih segmen-segmen yang khusus. 

Media ekonomi, misalnya, kini mulai mengerucutkan segmentasi mereka dengan konten yang lebih mikro seperti financial technology, saham, riba, dan sebagainya. Media kriminalitas dan hukum mengerucutkan konten ke topik yang lebih khusus seperti kriminalitas ekonomi di dunia siber. Fesyen juga menyempit menjadi topik-topik yang lebih khusus seperti fesyen remaja milenial, fesyen akhir, tahun, atau unsur-unsur fesyen yang lebih mikro lagi seperti tren sepatu, rambut, bahkan alis mata. Ini semata untuk menjaring segmen-segmen yang lebih khusus.

Pola demassafikasi yang menjadi kecenderungan media hari-hari ini, belakangan juga terjadi pada media-media massa Islam. Media, kecuali media-media tertentu yang sudah mapan, cenderung memilih topik tertentu untuk meraih segmentasi pasarnya. Ada yang khusus membahas soal waris beserta segala seluk beluknya, transaksi-transaksi jual-beli di era siber lengkap dengan tinjauan syariah dan kisah-kisah menarik di sekitarnya, atau khusus soal perkawinan sesuai syariah berikut beragam permasalahan serta solusi-solusi yang ditawarkan. 

Kecenderungan demassafikasi media, terutama mulai lebih terasa di media-media daring (dalam jaringan). Kecenderungan ini membuat struktur organisasi media pada umumnya menjadi jauh lebih ramping. Bagian redaksi tak lagi diisi oleh terlalu banyak redaktur atau wartawan. Dalam kondisi ekstrem, pekerjaan redaksi, mulai dari merencanakan topik, meliput, membuat berita, menyunting, hingga pekerjaan mem-publish konten bahkan dikerjakan oleh satu orang saja. 

Seiring kecanggihan teknologi dan tuntutan situasi, hal-hal terkait kegiatan bisnis perusahaan, juga dimungkinkan dilakukan oleh orang yang sama, sekalipun hal itu tentu saja bukan kondisi yang ideal. 

Dari sisi bisnis, demassafikasi jelas sangat menguntungkan. Semakin sedikit tenaga yang dipekerjakan, tentu juga berarti semakin sedikit cost yang dikeluarhan. Sedikitnya tenaga kerja juga memperkecil risiko konflik, dan dengan kecilnya risiko konflik, semakin kecil pula kemungkinan terjadinya sengketa atau perselisihan antara bawahan dengan atasan di perusahaan, terlebih ketika rekrutmen karyawan dilakukan dengan sistem kontrak atau outsosrcing. 

Kembali ke soal demassafikasi, selain sangat menentukan sampai atau tidaknya pesan pada masyarakat, demassafikasi pada saatnya juga berpengaruh pada kelangsungan hidup perusahaan media, terutama dari sisi finansial. Para pemasang iklan umumnya menyambut baik kecenderungan demassafikasi ini. Adanya  demassafikasi membuat mereka dapat dengan mudah melihat segmentasi media dan menyesuaikannya dengan kelompok konsumen yang mereka sasar. 

Hari-hari di mana teknologi informasi semakin canggih sehingga beragam informasi berseliweran bebas di media sosial, demassafikasi menjadi keniscayaan. Demassafikasi menjadi salah satu upaya media untuk bertahan dan memenangi persaingan, termasuk untuk media-media pers Islam. (*)

Rabu, 29 Oktober 2014

Selter Paratag

PENGHUJUNG Oktober. Hujan terlambat datang di bagian timur Bandung. Pucuk-pucuk daun, dan atap rumah penuh dengan debu. Cuaca panas sekali meski baru pukul sembilan pagi.

Musim panen sudah usai sejak dua bulanan lalu. Selter kopi di Kampung Paratag tak lagi ramai. Hanya Mang Jaka yang masih setiap hari datang merawat tiga ribuan bibit kopi usia satu bulanan yang rencananya akan ditanam saat musim hujan tiba.

Di ketinggian 1.200 meteran di bawah permukaan laut (mdpl), Desa Melatiwangi, tempat selter Paratag berada, hanya berjarak 20 menitan dari Alun-alun Ujungberung, Kota Bandung. Tapi, itu juga tergantung siapa yang berada di balik kemudi. Memakai sepeda motor trail, selter ini bahkan bisa ditempuh kurang dari sepuluh menit.

"Ke kebun masih harus ke atas lagi. Hanya beberapa menit, tergantung siapa yang nyetir," ujar Don Yadi (43) renyah. Don adalah pengurus Klasik Beans, koperasi para petani yang mengelola selter kopi di Paratag ini.

Don bercerita, perkebunan kopi di kawasan ini membentang hingga jauh ke Bukit Tunggul, Cibodas, Lembang.  "Sebagian di antaranya, kami yang mengelola," kata Yadi.

Di antara sejumlah selter kopi yang dikelola oleh Koperasi Klasik Beans, selter Paratag di Bandung Timur adalah yang paling bontot. Selter ini belum setahun berdiri.

"Kami membangunnya awal tahun lalu," ujar Yadi.


Seperti selter-selter kopi lainnya yang dikelola Klasik Beans, selter kopi Paratag juga sangat asri. Bahan bangunan didominasi bambu. Di selter ini, Yadi bahkan melengkapinya dengan gazebo cantik, kolam ikan, dan fasilitas TV kabel.

"Biar ada hiburan. Di sini sepi sekali kalau malam," cetusnya.
 

Jika tak ada Mang Jaka, Yadi hanya ditemani Meri, anjing kampung lucu yang selalu menggoyang-goyangkan ekornya dan melompat-lompat jika Yadi datang. Dani Banon, petani lainnya, belakangan juga kerap mengisi kegembiraan di selter ini. Sayang, waktu kami berkunjung, ia sedang ke kota.

Sekalipun berada di antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, secara administratif, Kecamatan Cilengkrang berada di wilayah Kabupaten Bandung. Ini mendatangkan kesulitan tersendiri bagi warga di sana. Untuk mengurus surat-surat dan administrasi kependudukan, warga harus ke Soreang, nun jauh di sana, di Bandung Selatan. Padahal, ketimbang ke Soreang, jarak ke pusat pemerintahan Kota Bandung jauh lebih dekat.

 Hal serupa juga terjadi di wilayah-wilayah Kabupaten Bandung lainnya yang ada di timur. Tak heran, riak-riak keinginan pemekaran wilayah juga kerap terdengar, meski seringnya samar-samar.


                                                                     ***

Dari selter, perjalanan ke kebun kopi hanya ditempuh dalam waktu sekitar 15 atau 20 menitan. Andai saja jalannya bagus, waktu tempuh pasti lebih cepat. Selain terjal, jalan tanah menuju kebun juga berliku, penuh lubang dan batu.

Tapi, bagi Yadi, ini pekarangan rumahnya. Ia tertawa-tawa saja meski tubuh gempalnya berguncang-guncang di balik kemudi. "Di sebelah sana jalannya rata. Tenang saja," kata Yadi seraya melambaikan tangan pada orang-orang di tepi jalan yang berterak menyapanya.

Benar saja, tak lama setelah lepas dari jalan berliku di antara rimbunnya hutan, kondisi jalan membaik, sekalipun belum bagus-bagus amat. "Ini Perhutani yang bikin," ujarnya.

Seperti di sebagian besar kebun-kebun kopi lainnya yang dikelola Klasik Beans di Jawa barat, kebun kopi di Bandung Timur juga berada di lahan milik Perhutani. Pengelolaan dilakukan berdasar perjanjian bagi hasil yang disepakati. "Perhutani mendapatkan 20 persen dari keuntungan," ujarnya.

Meski Klasik Beans baru mengelolanya sejak beberapa tahun lalu, perkebunan kopi di kawasan Bandung Timur ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Belanda dulu. Itu sebabnya, sejak lama, orang juga mengenal kawasan ini dengan nama Baru Kopi. Sayang, karena serangan penyakit, perkebunan kopi ini ditutup dan diganti dengan tanaman teh.

"Setelah kemerdekaan, Perhutani menanaminya dengan tanaman pinus. Kini, di antara tanaman pinus, kami tanami lagi pohon-pohon kopi," kata Yadi.

Ada ribuan pohon kopi yang telah dipanen Yadi bersama teman-temannya di kawasan ini. Sepanjang jalan, bekas-bekasnya masih terlihat. Saat kami lewat, untaian cantik ceri merah masih sekali-kali menyembul malu-malu di antara daun.

"Itu buah-buah kopi yang tak terpetik saat panen lalu. Jika musim panen tiba, buah-buah kopi itu akan memenuhi dahannya. Dahan jadi seperti berwarna merah, menjuntai karena dipenuhi ceri," sebut Yadi. Dalam hati, saya menyesal, kenapa dua bulanan lalu tak bisa memenuhi ajakannya ikut memanen kopi.

"Semua hasil panen akan diproses di selter sebelum kemudian dibawa ke gudang penyimpanan," katanya. Sekalipun panen telah usai, kata Yadi, pekerjaan jauh dari kata selesai. Setelah memroses hasil panen dan mengirimnya ke gudang, mereka kembali mempersiapkan penanaman mulai dari menyemai benih, merawat, menanam, dan menjaganya hingga musim panen kembali tiba. Semua mereka lakukan dengan tulus dan penuh cinta.

"Tahun depan, kami panen lagi. Jangan lupa datang. Ajak keluarga," cetus Yadi saat kami berpisah di Alun-alun Ujungberung. ***

Kamis, 02 Mei 2013

Cascara, Sulit Melupakan Rasanya

Teh Sunda Hejo (Dokumentasi Klasik Beans)
MENYERUPUTNYA perlahan membuat rasa buahnya yang samar seperti berlari-larian, datang dan pergi di dinding mulut. Menyenangkan sekali.

Saya jadi teringat suasana di pedesaan di Pasir Angling, Cibodas, kaki Gunung Bukit Tunggul, tempat saya bermain 20 tahunan silam.
Entahlah. Mungkin karena aroma manisnya yang terasa amat bersahaja.

Malam itu, saya beruntung, teh dari kulit biji kopi itu masih ada. Yadi Mulyadi (41), pengelola kedai kopi Klasik Beans Sunda Hejo di Pasar Bunga Tegallega, masih menyisakannya sedikit untuk saya cicipi. Kami membahasnya sejak dua bulanan lalu. Namun, baru Jumat malam lalu kesempatan mencicipinya kesampaian.

Di kalangan petani kopi, teh dari kulit biji kopi bukan sesuatu yang asing. Para petani di Ethiopia sudah mengenalnya sejak lama sekali. Kabarnya, awalnya itu karena keterpaksaan karena di sana memang tak ada daun teh biasa.

Namun, belakangan, citarasa yang unik dari teh kulit biji kopi itu menyebar ke mana-mana. Orang-orang pun mulai memproduksinya secara khusus. Namanya pun beragam. Ada yang menyebutnya cascara. Namun, ada pula yang menyebut teh ini dengan istilah qishr, seperti yang dikenal di tempat asal terciptanya, di Abyssinia (Ethopia modern), abad 9 silam.

"Saya sendiri lebih suka menyebutnya teh Sunda Hejo. Kami mengolahnya sendiri dengan cara-cara yang khusus agar cita rasanya juga khusus. Coba saja. Sulit melupakan rasanya," kata Yadi.

Di luar negeri, kata Yadi, teh seperti ini sudah lebih dahulu populer. Banyak perusahaan kopi bahkan sengaja mengemasnya sedemikian rupa dalam kemasan yang cantik, lengkap dengan segala khasiat, yang intinya bahwa selain punya cita rasa yang unik, teh ini punya segudang manfaat. Mulai dari kandungan antioksidannya yang kuat yang dipercaya mampu menghambat pertumbuhan sel-sel kanker, atau kandungan kolagennya yang diyakini sanggup meremajakan kulit dan menghambat penuaan dini.

"Tapi yang pasti, teh ini lezat, dan tentu saja aman untuk dikonsumsi," ujarnya.br />
Seperti teh pada umumnya, menyajikan tek dari kulit biji kopi yang dikeringkan ini juga tidak terlalu rumit. Cukup dengan menyeduh sejumput teh ini di cangkir dengan air panas. Tunggu beberapa menit, dan teh kulit biji kopi ini pun siap dinikmati.

Seorang teman bilang, ada rasa anggur yang samar yang langsung terasa saat menyeruput teh ini. Saya rasa benar. Bahkan saya pikir tak samar, melainkan dominan.

Seperti halnya menyeduh kopi, Anda pun dapat bereksperimen untuk menemukan cita rasa terbaik yang sesuai dengan selera Anda. Anda bisa bermain di pola penyeduhan, suhu air yang diseduhkan, atau hal lainnya, seperti menambahkan madu, atau sedikit tetesan lemon jika Anda mau. 


Saya sendiri lebih suka menyeduhnya dengan air yang suhunya kira-kira 80-85-an derajat celcius. Mendiamkannya 5-8 menit sebelum menyeruputnya dan mendapatkan rasa yang terindah.

Tertarik untuk mencoba? Datang saja ke Tegallega. Siapa tahu masih ada..

Kamis, 20 Desember 2012

Hypothenemus Hampei

HYPOTHENEMUS hampei, bukan nama yang asing bagi para petani kopi. Serangga kecil berwarna hitam kecokelat-cokelatan ini masuk dalam famili Scolitydae, ordo Coleoptera. Para petani juga mengenalnya dengan nama broca, atau serangga penggerek buah.

Karena ukurannya yang teramat kecil, sebagian petani juga menyebutnya dengan sebutan kutu kopi. Ukuran jantan dewasa paling hanya 1,3 milimeter. Sementara betina dewasa, hanya sekitar 2 milimeter.

Meski ukurannya kira-kira hanya sebesar pentul korek api, Hypothenemus hampei adalah hantu bagi para petani kopi. Kedatangannya berarti bencana, duka berkepanjangan, dan hancurnya mimpi-mimpi. Sebab, dibanding hama-hama lainnya yang kerap melanda perkebunan kopi, Hypothenemus hampei, memang, yang paling dahsyat.

Pada umumnya, Hypothenemus hampei menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras. Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras ini akan membuat produksi "terjun bebas", mutu kopi menurun, dan harganya anjlok karena biji berlubang.

Namun buah yang bijinya belum mengeras pun, tidak jarang mendapat serangan. Tapi, buah kopi yang bijinya lunak ini umumnya hanya digerek sebagai bahan makanan, lalu ditinggalkan. Buah muda yang telah terserang tentu tak akan berkembang, menjadi kuning kemerahan, dan akhirnya gugur. Tapi, bukan karena itu serangan Hypothenemus hampei menjadi begitu menakutkan.

Serangan Hypothenemus hampei menjadi begitu menakutkan karena siklusnya yang luar biasa. Seekor kumbang betina dewasa yang masuk ke biji kopi dapat bertelur antara 30 hingga 60 butir setiap kalinya. Hanya butuh waktu 5 hingga 9 hari bagi telur-telur itu untuk menetas menjadi larva, untuk kemudian menjadi dewasa dan siap bereproduksi, 3-4 mingguan berikutnya. Hewan-hewan ini bahkan melakukan perkawinannya di dalam biji, tempat induk mereka dulu bersarang dan meletakkan telur-telurnya.

Yang juga patut dijadikan catatan adalah perbandingan Hypothenemus hampei jantan dan betina yang pada umumnya 1 berbanding sepuluh. Namun, usia jantan yang lebih singkat (maksimal 103 hari) dibanding betina (rata-rata 156 hari) membuat perbandingan tersebut bisa berubah tajam. Pada puncak perkembangannya perbandingan jantan dan betina ini bahkan bisa begitu besarnya. Perbandingannya bisa mencapai 1 berbanding 500.

Padahal, berbeda dengan Hypothenemus hampei jantan yang tak bisa terbang, Hypothenemus hampei betina mampu terbang hingga sejauh ratusan meter. Karena itu, setelah kawin, Hypothenemus hampei betina akan terbang menuju buah kopi lainnya, membuat lubang dan meletakkan telur-telurnya. Serangan meluas dan akan terus menerus meluas.

Yang juga luarbiasa adalah perkembangbiakan terbaik Hypothenemus hampei yang terjadi justru pada buah kopi setelah pemetikan. Dalam kondisi terbaik itu, dapat ditemukan sampai 75 ekor Hypothenemus hampei untuk setiap bijinya. Kumbang ini bahkan diperkirakan dapat bertahan hidup selama sekitar satu tahunan pada biji kopi kering yang disimpan di dalam sebuah kontainer yang tertutup.

Dengan siklus hidupnya yang menakjubkan ini, Hypothenemus hampei menjadi hama yang sulit sekali diberantas karena terbukti, biji kering di tempat yang tertutup rapat pun tak menghalangi kumbang ini meneruskan hidupnya. Satu saja pohon kopi terkena, maka satu perkebunan bisa terancam. Seperti yang pernah terjadi di Lintongnihuta, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu, atau di Pulau Jawa tahun 1926 silam, di mana produksi kopi menurun hingga lebih dari separuhnya.
***

Wabah korupsi di negeri ini sekarang, juga tak ubahnya Hypothenemus hampei di hamparan perkebunan kopi yang sangat luas. Di negeri ini korupsi sudah berevolusi dari cara-cara yang sangat sederhana, konservatif, dan ortodoks, menjadi sistematis, canggih, atau extra ordinary crime. Pemberantasan menjadi begitu sulitnya, bahkan seolah-olah tak mungkin. Kecuali memangkasnya habis, dan tentu saja tak akan pernah mudah.

Hingga semester pertama tahun 2012 saja, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 285 kasus korupsi di Indonesia sudah merugikan negara sebesar Rp 1,22 triliun. Itu belum termasuk yang kecil-kecil, yang karena terlalu biasanya sudah tak dianggap lagi sebagai korupsi hingga tak tercatat.

Negeri yang indah ini sedang sakit parah. Kita harus peduli. (*)

Tribun Jabar, 19 Desember 2012

Kopi Kelas Dunia di Sudut Tegallega

DISPLAY KLASIK BEANS SUNDA HEJO, TEGALLEGA
BAHKAN sekalipun kita bukanlah seorang ahli kopi, sensasi keasaman yang menyegarkan seperti kesegaran buah-buahan itu pasti akan bisa kita rasakan. Sensasi rasa yang memang sulit sekali diungkapkan dengan kata-kata. Sesulit kita melupakannya sejak pertama kali mencoba.

"PARA ahli kopi menyebut itu dengan istilah acidity, satu dari empat atribut penting dalam communicating about coffee, selain body, aroma, dan flavors. Tapi, jangan terlalu memusingkan istilah-istilah itu, suka-suka saja. Yang penting happy," ujar Yadi Mulyadi (40) ringan, saat ditemui di tempatnya yang asri, Klasik Beans Sunda Hejo Coffee di Pasar Bunga Kav 6 Tegallega, Jalan Mochamad Toha, Bandung, belum lama ini.

Seperti biasa, malam itu pun Yadi terlihat sibuk. Bukan hanya melayani pesanan kopi yang dari tamu-tamunya yang silih berganti datang hingga larut, tapi juga menemani para sahabatnya itu mengobrol, menjawab beragam pertanyaan mereka tentang seluk beluk kopi, mulai dari yang sederhana soal macam-macam rasanya, hingga urusan yang rumit seperti soal budidaya, pengolahan, dan prospek bisnisnya, termasuk perjalanan panjang kopi yang ia sajikan itu menembus pasar kopi dunia.

Yadi mengaku, sekalipun tak semua tamu yang datang ke tempatnya ia kenal secara pribadi, semua penyuka kopi adalah sahabat dalam kecintaan mereka pada kopi. "Itu sebabnya, semua yang datang kemari selalu kami perlakukan sebagai sahabat. Di sini ada kopi bagus yang bisa kita nikmati sepuasnya," tutur Yadi.

Disambut dua kolam kecil yang memanjang di pintu masuk, ketentraman memang langsung terasa saat datang ke Klasik Beans Sunda Hejo, tempat Yadi setiap hari memusatkan kegiatannya selama lima bulan terakhir. Selain pohon-pohon bunga dan tanaman hias yang tertata rapi, meja dan kursi-kursi batu juga ditata menyebar di antara hijaunya dedaunan.

Di situlah, kata Yadi, para sahabatnya biasanya menghabiskan waktu. "Mereka tak hanya berasal dari Bandung, tapi banyak pula yang sengaja datang dari luar kota."

Berbeda dengan di tepian kolam, ornamen bambu menjadi bagian yang sangat dominan saat masuk ke ruangan. Di dalam nyaris tak ada sekat yang menghalangi pandangan. Hanya kursi-kursi panjang dan meja, serta semacam meja bar kecil yang manis tempat Yadi meracik dan menyeduh kopi, serta menyimpan layar komputer online yang selalu menyala hampir sepanjang hari.

Satu-satunya yang barangkali terasa tak lazim, mungkin adalah tiadanya daftar menu dan harga yang membuat orang tahu apa saja yang ada, atau harus seberapa dalam merogoh kocek untuk secangkir kopi arabica lezat di tempat tersebut.

"Hahahahahaha. Ini memang bukan kafe. Tapi, siapa pun pencinta kopi, dapat datang kemari dan merasakan nikmatnya kopi Sunda Hejo, satu-satunya kopi arabika yang disajikan di sini," kata Yadi. Dan, karena bukan kafe inilah, lanjutnya, tak perlu membayar untuk menikmati kopi di tempatnya. "Tapi, kalau memaksa mau membayar karena tak terbiasa menikmati secangkir kopi secara gratis, masukkan saja uangnya ke kencleng yang tertutup itu. Berapa saja, sesukanya."

Tempat yang ia kelola ini, kata Yadi, memang lebih menjadi semacam display untuk pasar lokal dari kopi Sunda Hejo, yang pembudidayaan, pengolahan, bahkan hingga pendistribusinya ke mancanegara, kini ditangani koperasi Klasik Beans, yang didirikan di Rancasalak, Kabupaten Garut, 2010 lalu.

"Kopi yang diberi nama Sunda Hejo ini adalah salah satu kopi arabika terbaik yang pernah ada. Kopi Sunda yang sesungguhnya, yang telah lama sekali hilang karena kebun-kebunnya musnah oleh bencana alam."

Tapi, lantas, bagaimana kopi tersebut akhirnya bisa kembali ditemukan bahkan kembali dibudidayakan hingga ribuan tonnya sudah berhasil diekspor ke Amerika, Jepang, bahkan banyak negara lainnya di Eropa? Semua itu, kisah Yadi, berawal dari pertemuan mereka dengan dua ahli kopi dunia, Darius Lewandowski dan rekannya Eko Purnomowidi yang tengah melakukan penelusuran tentang kopi di tanah Sunda tahun 2008 silam. Bersama anggota tim lainnya, riset pun mereka lakukan. Dari hasil penelusuran, mereka temukan sebanyak 15 pohon tua yang mereka percaya adalah varietas old java yang tersisa dari varietas induk yang sudah lama mengawali kebun-kebun arabika di Indonesia yaitu typica.

"Dari 15 pohon induk itulah budidaya dilakukan. Risetnya sendiri kami lakukan di kawasan Pacet, Pangauban dan Ciparay," kata Yadi.

Selain melakukan riset, kata Yadi, mereka juga terus membina para petani, dan memberi mereka benih kopi unggulan hasil pemuliaan dari 15 pohon induk tadi. "Ada ratusan petani yang kami bina untuk menanam kopi specialty ini. Mereka tersebar di sejumlah wilayah, termasuk Kabupaten Bandung dan Garut," ujarnya.

Namun, pada 2010, lanjut Yadi, riset yang sudah berjalan hampir selama dua tahunan ini dihentikan karena suatu alasan. Padahal ketika itu, para petani sudah telanjur menanam. Bahkan, semua yang diharapkan juga mulai terlihat memberikan hasilnya.

"Karena itulah, pada 2011, kami pun akhirnya mendirikan koperasi Klasik Beans agar apa yang telah dimulai dulu bisa terus berlanjut dan memberikan hasil. Alhamdulillah, sejauh ini semuanya berjalan sesuai harapan. Kopi specialty yang kami budidayakan kembali itu sudah menembus pasar dunia dengan volume ekspor tak kurang dari 7.000 ton per tahun. Kopi dengan brand Sunda Hejo ini sudah sampai ke Jepang, Amerika, dan Eropa. Mencuri perhatian trader-trader ternama dunia seperti Sweet Maria Coffee dan beberapa trader asal Australia," ujarnya.

Namun, selain membina para petani, setiap anggota Koperasi Klasika Beans juga menanam kopi sendiri di kebun-kebun mereka yang tersebar di sejumlah tempat, antara lain di Puntang seluas 15 hektare, di Garut 40 hektare, Ciwidey 15 hektare, dan Bandung Utara 25 hektare.

"Akhir tahun, atau awal tahun nanti, pohon-pohon itu akan panen perdana. Jika jadi nanti, kami akan melakukan wisata kopi, mengajak para penikmat kopi untuk ikut menikmati suasana panen, menghirup aroma kopi langsung di kebunnya. Itu luarbiasa," pungkas Yadi.(*)

Dimuat di Harian Tribun Jabar, Selasa 4 Desember 2012

Senin, 11 Juni 2012

Tuhan Sembilan Senti

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,


Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU, murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan, ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok, Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok, bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita di sebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, Bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok, Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.

Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.

Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal? Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.

Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.

Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i. Kalau tak tahan, Di luar itu sajalah merokok.

Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.

Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.

Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

(Sajak Karya Taufiq Ismail, Semoga Menjadi Inspirasi)

Senin, 29 November 2010

Guru Tak Boleh Menyerah

SERANGKAIAN kabar menyentak kembali melukai dunia pendidikan kita sepanjang November ini. Kabar yang tak lagi menjadi tamparan bagi dunia pendidikan, melainkan pukulan bertubi- tubi yang datang beruntun, seolah tak akan berhenti.


Selasa, 16 November 2010, hanya berselang beberapa hari sebelum Hari Guru, Imelda Rahayu, siswi terpandai di kelas XII IPS 1 SMAN 2 Majalengka, tak lagi diperkenankan bersekolah. Pihak sekolah mengeluarkannya menyusul perkelahian Imelda dengan seorang mahasiswi. Anak seorang pejabat, gara-gara "rebutan" lelaki.

Menurut Wakil Kepala SMAN 2 Majalengka, Ridwan, sebagaimana dikutip harian Tribun Jabar, beberapa waktu lalu, Imelda telah melakukan penganiayaan yang bisa mereka buktikan dengan hasil visum.

"Yang bersangkutan tidak boleh belajar lagi di sekolah kami karena tersangkut kasus kriminal. Dia telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Silakan cari sekolah yang lain saja," katanya.

Namun, versi berbeda bahwa yang terjadi hanyalah perkelahian biasa dari dua remaja itu terkuak, saat Imelda menceritakannya kepada Sekretaris Daerah Majalengka, Ade Rachmat Ali, di Kantor Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata setempat, Sabtu (20/11).

"Kami memang berkelahi. Tapi, saya tak pernah menganiaya," kata Imelda sendu. Di Majalengka, Imelda tercatat sebagai siswi yang sangat pandai. Siswi yang ingin sekali menjadi guru itu tak diperkenankan sekolah. Padahal, ujian nasional hanya empat bulanan lagi, dan sekolah negeri, yang para gurunya digaji dengan pajak yang kita bayar, tak mau tahu, tak mau menunggu.

Beruntung, setelah berita "luka" ini tersiar, Bupati Majalengka, Sutrisno, segera bertindak tegas. Imelda kembali sekolah seski dengan catatan: tak lagi mengulang kasus serupa.

"Pendidikan adalah faktor penentu kemajuan bangsa. Kita harus memberi ruang yang leluasa bagi siapa pun yang ingin mengenyam pendidikan. Karena itu, tidak manusiawi jika sekolah melarang siswanya atau siapa pun untuk belajar," ujar Sutrisno saat ditemui wartawan Tribun Jabar, di Pendopo Majalengka, Senin (22/11) pagi.

Langkah tegas Sutrisno, sungguh seperti oase di tengah luka-luka menganga pendidikan kita.
Benar, bahwa tak siapa pun berhak melarang seorang anak untuk bersekolah. Jika para guru maunya cuma mengajar anak yang baik, penurut, rajin, sopan, dan pintar, bagaimana dengan mereka yang bodoh, malas, pembangkang, dan nakal? Padahal, mereka adalah juga tunas-tunas bangsa yang juga berhak mendapat perlakuan yang benar. Para guru tak seharusnya menyerah dengan apa pun keadaan siswa-siswinya, bukannya menghindar dari tanggung jawab mendidik, dan lantas berdalih bahwa siswa telah berbuat kriminal, hingga harus dikeluarkan. Padahal, di negara ini, aturan tentang kriminalitas begitu terangnya. Seseorang dinyatakan bersalah telah melakukan tindakan kriminal, hanya bila pengadilan memutuskannya bersalah. Bukan para guru, bukan saya, bukan juga Anda.

Itu sebabnya, tindakan Bupati Majalengka meminta Imelda kembali diizinkan sekolah adalah tepat, namun tak cukup. Sebab, jika memang tindakan SMAN 2 Majalengka ini keliru, sanksi yang sama tegasnya harusnya juga diberikan kepada penanggung jawab sekolah tersebut. Tak hanya demi tegaknya keadilan, melainkan demi adanya kepastian bahwa tindakan serupa tak lagi terjadi. Bukan saja di SMAN 2, tapi di semua sekolah di Majalengka, di tanah air ini.

Guru adalah pahlawan, bukan kuli yang cuma dibayar untuk mengajar dari jam tujuh pagi lalu pulang tengah hari. Guru adalah tonggak sebuah bangsa. Tetaplah seperti itu, jangan merendahkan martabat.

Mumpung masih di bulan yang sama, selamat Hari Guru. Semoga Allah meridai. (Arief Permadi)

Kamis, 28 Oktober 2010

Mari Kita Ambil Hikmahnya


KORBAN tewas akibat semburan awan panas (wedhus gembel) yang dimuntahkan Gunung Merapi terus bertambah. Hingga pukul 14.30 WIB, jumlah korban tewas yang dibawa ke RS Sardjito mencapai 29 orang. Hampir semuanya warga Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, yang jaraknya hanya sekitar 4 kilometer dari kubah lava gunung tersebut.


Lepas dari kematian itu adalah takdir, korban jiwa pada musibah letusan Gunung Merapi seharusnya bisa dikelak seandainya warga yang tinggal di daerah bahaya menaati imbauan untuk mengungsi. Peningkatan status gunung dari normal menjadi awas, toh, tak terjadi mendadak. Peningkatannya bertahap, mulai ke status waspada (20 September), meningkat menjadi siaga (21 Oktober), dan terakhir awas (25 Oktober).

Pada status terakhir ini, protap yang seharusnya diberlakukan tegas adalah mengevakuasi warga dari daerah-daerah bahaya, tanpa kecuali. Termasuk, katakanlah itu Mbah Maridjan, tokoh sepuh yang jadi panutan di Kinahrejo.
Namun, yang kemudian terjadi, sebagian warga di Kinahrejo seolah tak terlalu peduli, dan tetap saja menjalankan aktivitasnya biasa, termasuk Mbah Maridjan. Bahkan, beberapa menit sebelum wedhus gembel melalap habis Kinahrejo, Mbah Maridjan dan beberapa orang lainnya masih berada di sana, padahal pintu kemungkinan untuk selamat itu secara kausalitas jelas sudah tertutup.

Benar, sekali lagi, kematian memanglah takdir yang tak seorang pun mampu memastikan saatnya. Jika waktunya tiba, tak akan ada yang bisa mengulur, atau mempercepatnya, kecuali Tuhan. Zat yang tidak ada lagi selain Dia, yang memiliki otoritas untuk itu.

Namun, tawakal bukanlah kesombongan sekalipun batas di antaranya hanya terpisah tipis, bahkan kadang samar. Tawakal adalah kondisi yang hanya ada ketika semua usaha telah diupayakan. Bukan menentang maut, padahal kesempatan untuk selamat cukup tersedia, bahkan lebih dari cukup. Wallaahualam bisawab.
Gunung yang gagah itu, akhirnya meletus, Selasa (26/10) sore. Kinahrejo luluh-lantak.

Pada sisi yang lain, banyaknya korban tewas akibat letusan Merapi kali ini barangkali juga menjadi gambaran bahwa para pemimpin kita sudah tak lagi "cukup" untuk menjadi panutan. Warga tak lagi menjadikan mereka teladan karena lagi-lagi mereka tak "cukup" untuk diteladani.

Tidak tegasnya tindakan pemerintah mengevakuasi warga saat status gunung menjadi awas, dalam sudut yang lain, juga menjadi sebab, kenapa warga tak lagi manut. Padahal, seandainya sejak status itu menjadi awas, pemerintah secara tegas melarang dan mengevakuasi paksa semua orang yang berada di daerah bahaya, tindakan itu mungkin akan menyelamatkan banyak sekali nyawa, meski secara temporer, pasti akan dibenci sebagian pihak.

Dalam beberapa hal, pemimpin memang harus membuat pilihan secara cepat, dan memastikannya berjalan demi menyelamatkan gerbong yang dipimpinnya. Ia mungkin harus mengambil risiko dibenci, bahkan dicopot karena upayanya yang begitu rupa untuk kebaikan gerbongnya. Tapi, seperti itulah seorang pemimpin seharusnya bertindak.

Apa yang terjadi pada musibah Merapi kembali memberi kita pelajaran. Sekarang bukan saatnya lagi menyesal, sebab yang mati tak kan kembali.

Allah Mahapemurah. Mari kita ambil hikmahnya.(*)

Senin, 18 Oktober 2010

Kita Tak Pernah Tahu

JIKA bukan satu-satunya, Yoga Santosa, mungkin adalah satu dari sedikit sekali orang yang menggunakan buaya untuk menjaga rumahnya. Tapi, seperti umumnya kita, anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi Golkar ini pun cemas saat buaya tersebut mengamuk. Lepas dari kandangnya, berkeliaran di atap rumah orang.

Tak kurang dari 15 tahun memelihara buaya, memang baru Jumat (15/10) sore itulah lepasnya buaya muara sepanjang dua meteran dengan berat sekitar 100 kilogram itu membuat kehebohan. Jumat lalu, buaya tersebut kedapatan sedang bertengger di atap rumah tetangga Yoga di Jalan Lobak RT 02/09, Kelurahan Malabar, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung. Selama hampir satu jam buaya tersebut nongkrong seperti berjemur.

Lepasnya buaya milik angota DPRD tersebut jelas seketika itu pula menimbulkan kegemparan. Empat lelaki dewasa yang datang untuk mengandangkannya harus berupaya keras. Buaya itu berontak, mengibas-kibaskan ekor seraya mempertunjukkan gigigiginya yang tajam, hendak menyerang.
Beruntung upaya keras itu akhirnya berhasil. Buaya muara ditangkap sebelum hari telanjur gelap.

Meski peristiwa ini sudah beberapa hari berlalu, heboh buaya ngamuk di atap tetangga, masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Rata-rata bergumam, "Untung tak sampai masuk ke rumah warga. Bagaimana kalau gentingnya ambrol, sementara di bawah ada anak atau bayi yang sedang tidur?"

Saya, Pak Yoga, dan mungkin juga Anda, barangkali tak akan kuasa membayangkannya jika itu terjadi. Kisahnya pasti menjadi headlines, tak cuma sehari, tapi berhari-hari.

Kepada harian ini, Yoga mengaku, buaya dengan panggilan Koing tersebut, adalah kesayangan keluarga mereka. Buaya tersebut mereka pelihara sejak panjang tubuhnya masih satu jengkal. Baik keluarga maupun para tetangganya, sudah sangat akrab dengan keberadaan buaya yang hingga kini ia pelihara itu.

Sebagai anggota dewan, Yoga pasti bukan tak paham bahwa buaya adalah hewan yang dilindungi, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta PP 8 tahun 1999.

Namun, karena sudah telanjur sayang, ia lebih memilih tetap mengurusnya. Sekalipun, sempat terpikir pula untuk menyerahkannya ke kebun binatang karena ukurannya yang semakin besar.

Bicara soal ukuran, buaya muara terpanjang yang sejauh ini pernah diketahui ada adalah 7,1 meter di Suaka Margasatwa Bhitarkanika, Orissa, India. The Guinness Book of World Records mencatatnya sebagai buaya muara terpanjang, sekalipun di habitat aslinya, mungkin saja ada yang lebih panjang.

Binatang ini juga dikenal memiliki rahang yang luar biasa kuat. Ia dapat menggigit dengan kekuatan yang sangat hebat. Tekanan gigitannya tak pernah kurang dari 5.000 pounds per square inch (psi), atau setara dengan 315 kilogram per centimeter. Kekuatan gigitan ini akan ketahuan dahsyatnya jika kita membandingkannya dengan gigitan hewan lainnya seperti anjing rottweiler, hiu putih, atau hyena. Rottweiler hanya punya 335 psi, sementara hiu putih raksasa dan hyna, hanya 400 psi dan 800-an psi.
Buaya ini juga dapat bergerak dengan sangat cepat pada jarak pendek, bahkan ketika dia berada di luar air, di atas genting, misalnya. Berat tubuhnya bisa mencapai 1,2 ton atau lebih. Sementara panjangnya, rata-rata bisa mencapai lebih dari lima meteran.

Buaya muara yang kini masih dipelihara di rumah salah seorang anggota DPRD kita, tubuhnya memang belum sepanjang buaya muara yang kini ada di Bhitarkanika, Orissa, India. Tapi, mengingat, sejauh ini buaya tersebut selalu mendapat pasokan makanan yang cukup baik, tubuhnya pasti akan semakin besar dan semakin kuat.
Buaya tersebut mungkin saja kembali lepas, dan para tetangga Yoga, boleh jadi juga tak kembali seberuntung kemarin. Bisa saja buaya itu mendadak lepas, masuk ke rumah-rumah warga, menyantap apa saja yang ada termasuk Anda, atau anak-anak Anda. Kita tak pernah tahu.

Senin, 04 Oktober 2010

Seharusnya Bisa Lebih Berhemat

PERCAYA atau tidak, hampir 60 persen dari seluruh penghasilan kita dalam sebulan, sebenarnya telah diambil oleh negara tanpa kita sadari. Tak perlu hitung-hitungan rumit untuk menyetujui bahwa pernyataan tersebut masuk di akal. Cukup dengan menjawab pertanyaan berikut: hal apa saja selain bernapas, yang dapat kita lakukan tanpa harus membayarnya pada negara?

Jika Anda dapat segera menyebutkan lima saja di antaranya dalam waktu kurang dari semenit sejak pertanyaan tersebut selesai Anda baca, angka 60 persen di atas, mungkin dengan segera harus kita koreksi. Sebagai bandingan, jawab pula pertanyaan sejenis akan tetapi topiknya sebaliknya: pajak apa saja yang harus selalu kita bayar kepada negara, setiap harinya, setiap bulannya, setiap tahunnya?

Seumur hidup, kita memang bekerja untuk negara. Pakaian yang kita pakai, air yang kita minum, beras yang kita makan, listrik yang kita nikmati, susu untuk anak-anak kita, semua dikenai pajak. Daftar semua hal yang kena pajak mungkin akan mencapai berlembar-lembar halaman buku harian kita. Negara bahkan telah memotong penghasilan rakyatnya sebelum mereka sendiri bisa menikmatinya.

Kita, tak pernah sekalipun mengeluh dengan kondisi yang telah kita alami itu, karena selain memang tak bisa berbuat banyak untuk mengubahnya, kita pun telah biasa hingga semua tak lagi terasa sebagai beban, tapi kebiasaan.

Kebiasaan membayar pajak sendiri, tentu bukan kebiasaan buruk. Jalan-jalan negara, aneka infrastuktur, para aparat yang menjalankan pemerintahan, termasuk para aparat hukum dibiayai dengan pajak yang kita bayar. Negara ini terus berdiri karena ketaatan rakyatnya membayar pajak.

Rakyat yang membayar pajak, juga bukan cuma rakyat yang secara finansial tajir, hidup di rumah-rumah mewah, dengan bidang usaha yang seperti gurita. Rakyat yang hidup miskin, tak memiliki pekerjaan tetap, bahkan anak-anak jalanan juga tak luput dari kewajiban itu. Sedikitnya mereka juga ikut menyumbang untuk pembangunan negara.

Karena itu, ketika roda pemerintahan tak dijalankan secara benar, pelayanan publik tersendat, atau ketika uang negara sengaja dikorup, dipakai untuk sesuatu yang tidak- tidak demi kesenangan pribadi, rakyat di negeri ini seharusnya murka. Sebab, mereka itulah, sesungguhnya, para penjahat yang harus diburu!

Belum lama ini kita mendengar, tak kurang dari Rp 170 miliar yang dihabiskan legislatif di tingkat pusat untuk biaya perjalanan dinas mereka ke luar negeri. Judul kunjunganya sendiri sangat beragam. Namun, hampir sebagian besar bertajuk studi banding.

Saat kunjungan ke luar negeri tersebut, selain semuanya serba dibayari negara, uang saku para anggota dewan selama di sana, juga dibiayai dari uang negara. Uang satu untuk satu harinya antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Belum termasuk uang representasi Rp 20 juta. Padahal, pada setiap studi banding ke luar negeri yang ikut biasanya berjumlah belasan. Jika lama studi banding tersebut satu minggu saja, bayangkan saja, berapa uang yang diperoleh dari tetesan rakyat itu mereka habiskan.

Akan tetapi, bukan cuma DPR yang memanfaatkan uang rakyat untuk aneka perjalanan dinas mereka ke luar negeri ini. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mencatat, jumlah yang dihabiskan para pejabat negara, mulai dari presiden, 13 kementerian atau lembaga, dan DPR di tahun ini mencapai Rp 19,5 triliun. Sementara jaminan kesehatan masyarakat, hanya seperempatnya, sekitar Rp 4,5 triliun per tahun.

Padahal, sekali lagi, itu semua uang yang kita semua kumpulkan setiap harinya dengan tetesan keringat. Seharusnya, mereka bisa lebih berhemat. (arief permadi)