HYPOTHENEMUS hampei, bukan nama yang asing bagi para petani kopi. Serangga kecil berwarna hitam kecokelat-cokelatan ini masuk dalam famili Scolitydae, ordo Coleoptera. Para petani juga mengenalnya dengan nama broca, atau serangga penggerek buah.
Karena ukurannya yang teramat kecil, sebagian petani juga menyebutnya dengan sebutan kutu kopi. Ukuran jantan dewasa paling hanya 1,3 milimeter. Sementara betina dewasa, hanya sekitar 2 milimeter.
Meski ukurannya kira-kira hanya sebesar pentul korek api, Hypothenemus hampei adalah hantu bagi para petani kopi. Kedatangannya berarti bencana, duka berkepanjangan, dan hancurnya mimpi-mimpi. Sebab, dibanding hama-hama lainnya yang kerap melanda perkebunan kopi, Hypothenemus hampei, memang, yang paling dahsyat.
Pada umumnya, Hypothenemus hampei menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras. Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras ini akan membuat produksi "terjun bebas", mutu kopi menurun, dan harganya anjlok karena biji berlubang.
Namun buah yang bijinya belum mengeras pun, tidak jarang mendapat serangan. Tapi, buah kopi yang bijinya lunak ini umumnya hanya digerek sebagai bahan makanan, lalu ditinggalkan. Buah muda yang telah terserang tentu tak akan berkembang, menjadi kuning kemerahan, dan akhirnya gugur. Tapi, bukan karena itu serangan Hypothenemus hampei menjadi begitu menakutkan.
Serangan Hypothenemus hampei menjadi begitu menakutkan karena siklusnya yang luar biasa. Seekor kumbang betina dewasa yang masuk ke biji kopi dapat bertelur antara 30 hingga 60 butir setiap kalinya. Hanya butuh waktu 5 hingga 9 hari bagi telur-telur itu untuk menetas menjadi larva, untuk kemudian menjadi dewasa dan siap bereproduksi, 3-4 mingguan berikutnya. Hewan-hewan ini bahkan melakukan perkawinannya di dalam biji, tempat induk mereka dulu bersarang dan meletakkan telur-telurnya.
Yang juga patut dijadikan catatan adalah perbandingan Hypothenemus hampei jantan dan betina yang pada umumnya 1 berbanding sepuluh. Namun, usia jantan yang lebih singkat (maksimal 103 hari) dibanding betina (rata-rata 156 hari) membuat perbandingan tersebut bisa berubah tajam. Pada puncak perkembangannya perbandingan jantan dan betina ini bahkan bisa begitu besarnya. Perbandingannya bisa mencapai 1 berbanding 500.
Padahal, berbeda dengan Hypothenemus hampei jantan yang tak bisa terbang, Hypothenemus hampei betina mampu terbang hingga sejauh ratusan meter. Karena itu, setelah kawin, Hypothenemus hampei betina akan terbang menuju buah kopi lainnya, membuat lubang dan meletakkan telur-telurnya. Serangan meluas dan akan terus menerus meluas.
Yang juga luarbiasa adalah perkembangbiakan terbaik Hypothenemus hampei yang terjadi justru pada buah kopi setelah pemetikan. Dalam kondisi terbaik itu, dapat ditemukan sampai 75 ekor Hypothenemus hampei untuk setiap bijinya. Kumbang ini bahkan diperkirakan dapat bertahan hidup selama sekitar satu tahunan pada biji kopi kering yang disimpan di dalam sebuah kontainer yang tertutup.
Dengan siklus hidupnya yang menakjubkan ini, Hypothenemus hampei menjadi hama yang sulit sekali diberantas karena terbukti, biji kering di tempat yang tertutup rapat pun tak menghalangi kumbang ini meneruskan hidupnya. Satu saja pohon kopi terkena, maka satu perkebunan bisa terancam. Seperti yang pernah terjadi di Lintongnihuta, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu, atau di Pulau Jawa tahun 1926 silam, di mana produksi kopi menurun hingga lebih dari separuhnya.
***
Wabah korupsi di negeri ini sekarang, juga tak ubahnya Hypothenemus hampei di hamparan perkebunan kopi yang sangat luas. Di negeri ini korupsi sudah berevolusi dari cara-cara yang sangat sederhana, konservatif, dan ortodoks, menjadi sistematis, canggih, atau extra ordinary crime. Pemberantasan menjadi begitu sulitnya, bahkan seolah-olah tak mungkin. Kecuali memangkasnya habis, dan tentu saja tak akan pernah mudah.
Hingga semester pertama tahun 2012 saja, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 285 kasus korupsi di Indonesia sudah merugikan negara sebesar Rp 1,22 triliun. Itu belum termasuk yang kecil-kecil, yang karena terlalu biasanya sudah tak dianggap lagi sebagai korupsi hingga tak tercatat.
Negeri yang indah ini sedang sakit parah. Kita harus peduli. (*)
Tribun Jabar, 19 Desember 2012
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Kamis, 20 Desember 2012
Senin, 29 November 2010
Guru Tak Boleh Menyerah
SERANGKAIAN kabar menyentak kembali melukai dunia pendidikan kita sepanjang November ini. Kabar yang tak lagi menjadi tamparan bagi dunia pendidikan, melainkan pukulan bertubi- tubi yang datang beruntun, seolah tak akan berhenti.
Selasa, 16 November 2010, hanya berselang beberapa hari sebelum Hari Guru, Imelda Rahayu, siswi terpandai di kelas XII IPS 1 SMAN 2 Majalengka, tak lagi diperkenankan bersekolah. Pihak sekolah mengeluarkannya menyusul perkelahian Imelda dengan seorang mahasiswi. Anak seorang pejabat, gara-gara "rebutan" lelaki.
Menurut Wakil Kepala SMAN 2 Majalengka, Ridwan, sebagaimana dikutip harian Tribun Jabar, beberapa waktu lalu, Imelda telah melakukan penganiayaan yang bisa mereka buktikan dengan hasil visum.
"Yang bersangkutan tidak boleh belajar lagi di sekolah kami karena tersangkut kasus kriminal. Dia telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Silakan cari sekolah yang lain saja," katanya.
Namun, versi berbeda bahwa yang terjadi hanyalah perkelahian biasa dari dua remaja itu terkuak, saat Imelda menceritakannya kepada Sekretaris Daerah Majalengka, Ade Rachmat Ali, di Kantor Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata setempat, Sabtu (20/11).
"Kami memang berkelahi. Tapi, saya tak pernah menganiaya," kata Imelda sendu. Di Majalengka, Imelda tercatat sebagai siswi yang sangat pandai. Siswi yang ingin sekali menjadi guru itu tak diperkenankan sekolah. Padahal, ujian nasional hanya empat bulanan lagi, dan sekolah negeri, yang para gurunya digaji dengan pajak yang kita bayar, tak mau tahu, tak mau menunggu.
Beruntung, setelah berita "luka" ini tersiar, Bupati Majalengka, Sutrisno, segera bertindak tegas. Imelda kembali sekolah seski dengan catatan: tak lagi mengulang kasus serupa.
"Pendidikan adalah faktor penentu kemajuan bangsa. Kita harus memberi ruang yang leluasa bagi siapa pun yang ingin mengenyam pendidikan. Karena itu, tidak manusiawi jika sekolah melarang siswanya atau siapa pun untuk belajar," ujar Sutrisno saat ditemui wartawan Tribun Jabar, di Pendopo Majalengka, Senin (22/11) pagi.
Langkah tegas Sutrisno, sungguh seperti oase di tengah luka-luka menganga pendidikan kita.
Benar, bahwa tak siapa pun berhak melarang seorang anak untuk bersekolah. Jika para guru maunya cuma mengajar anak yang baik, penurut, rajin, sopan, dan pintar, bagaimana dengan mereka yang bodoh, malas, pembangkang, dan nakal? Padahal, mereka adalah juga tunas-tunas bangsa yang juga berhak mendapat perlakuan yang benar. Para guru tak seharusnya menyerah dengan apa pun keadaan siswa-siswinya, bukannya menghindar dari tanggung jawab mendidik, dan lantas berdalih bahwa siswa telah berbuat kriminal, hingga harus dikeluarkan. Padahal, di negara ini, aturan tentang kriminalitas begitu terangnya. Seseorang dinyatakan bersalah telah melakukan tindakan kriminal, hanya bila pengadilan memutuskannya bersalah. Bukan para guru, bukan saya, bukan juga Anda.
Itu sebabnya, tindakan Bupati Majalengka meminta Imelda kembali diizinkan sekolah adalah tepat, namun tak cukup. Sebab, jika memang tindakan SMAN 2 Majalengka ini keliru, sanksi yang sama tegasnya harusnya juga diberikan kepada penanggung jawab sekolah tersebut. Tak hanya demi tegaknya keadilan, melainkan demi adanya kepastian bahwa tindakan serupa tak lagi terjadi. Bukan saja di SMAN 2, tapi di semua sekolah di Majalengka, di tanah air ini.
Guru adalah pahlawan, bukan kuli yang cuma dibayar untuk mengajar dari jam tujuh pagi lalu pulang tengah hari. Guru adalah tonggak sebuah bangsa. Tetaplah seperti itu, jangan merendahkan martabat.
Mumpung masih di bulan yang sama, selamat Hari Guru. Semoga Allah meridai. (Arief Permadi)
Selasa, 16 November 2010, hanya berselang beberapa hari sebelum Hari Guru, Imelda Rahayu, siswi terpandai di kelas XII IPS 1 SMAN 2 Majalengka, tak lagi diperkenankan bersekolah. Pihak sekolah mengeluarkannya menyusul perkelahian Imelda dengan seorang mahasiswi. Anak seorang pejabat, gara-gara "rebutan" lelaki.
Menurut Wakil Kepala SMAN 2 Majalengka, Ridwan, sebagaimana dikutip harian Tribun Jabar, beberapa waktu lalu, Imelda telah melakukan penganiayaan yang bisa mereka buktikan dengan hasil visum.
"Yang bersangkutan tidak boleh belajar lagi di sekolah kami karena tersangkut kasus kriminal. Dia telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Silakan cari sekolah yang lain saja," katanya.
Namun, versi berbeda bahwa yang terjadi hanyalah perkelahian biasa dari dua remaja itu terkuak, saat Imelda menceritakannya kepada Sekretaris Daerah Majalengka, Ade Rachmat Ali, di Kantor Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata setempat, Sabtu (20/11).
"Kami memang berkelahi. Tapi, saya tak pernah menganiaya," kata Imelda sendu. Di Majalengka, Imelda tercatat sebagai siswi yang sangat pandai. Siswi yang ingin sekali menjadi guru itu tak diperkenankan sekolah. Padahal, ujian nasional hanya empat bulanan lagi, dan sekolah negeri, yang para gurunya digaji dengan pajak yang kita bayar, tak mau tahu, tak mau menunggu.
Beruntung, setelah berita "luka" ini tersiar, Bupati Majalengka, Sutrisno, segera bertindak tegas. Imelda kembali sekolah seski dengan catatan: tak lagi mengulang kasus serupa.
"Pendidikan adalah faktor penentu kemajuan bangsa. Kita harus memberi ruang yang leluasa bagi siapa pun yang ingin mengenyam pendidikan. Karena itu, tidak manusiawi jika sekolah melarang siswanya atau siapa pun untuk belajar," ujar Sutrisno saat ditemui wartawan Tribun Jabar, di Pendopo Majalengka, Senin (22/11) pagi.
Langkah tegas Sutrisno, sungguh seperti oase di tengah luka-luka menganga pendidikan kita.
Benar, bahwa tak siapa pun berhak melarang seorang anak untuk bersekolah. Jika para guru maunya cuma mengajar anak yang baik, penurut, rajin, sopan, dan pintar, bagaimana dengan mereka yang bodoh, malas, pembangkang, dan nakal? Padahal, mereka adalah juga tunas-tunas bangsa yang juga berhak mendapat perlakuan yang benar. Para guru tak seharusnya menyerah dengan apa pun keadaan siswa-siswinya, bukannya menghindar dari tanggung jawab mendidik, dan lantas berdalih bahwa siswa telah berbuat kriminal, hingga harus dikeluarkan. Padahal, di negara ini, aturan tentang kriminalitas begitu terangnya. Seseorang dinyatakan bersalah telah melakukan tindakan kriminal, hanya bila pengadilan memutuskannya bersalah. Bukan para guru, bukan saya, bukan juga Anda.
Itu sebabnya, tindakan Bupati Majalengka meminta Imelda kembali diizinkan sekolah adalah tepat, namun tak cukup. Sebab, jika memang tindakan SMAN 2 Majalengka ini keliru, sanksi yang sama tegasnya harusnya juga diberikan kepada penanggung jawab sekolah tersebut. Tak hanya demi tegaknya keadilan, melainkan demi adanya kepastian bahwa tindakan serupa tak lagi terjadi. Bukan saja di SMAN 2, tapi di semua sekolah di Majalengka, di tanah air ini.
Guru adalah pahlawan, bukan kuli yang cuma dibayar untuk mengajar dari jam tujuh pagi lalu pulang tengah hari. Guru adalah tonggak sebuah bangsa. Tetaplah seperti itu, jangan merendahkan martabat.
Mumpung masih di bulan yang sama, selamat Hari Guru. Semoga Allah meridai. (Arief Permadi)
Kamis, 28 Oktober 2010
Mari Kita Ambil Hikmahnya
KORBAN tewas akibat semburan awan panas (wedhus gembel) yang dimuntahkan Gunung Merapi terus bertambah. Hingga pukul 14.30 WIB, jumlah korban tewas yang dibawa ke RS Sardjito mencapai 29 orang. Hampir semuanya warga Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, yang jaraknya hanya sekitar 4 kilometer dari kubah lava gunung tersebut.
Lepas dari kematian itu adalah takdir, korban jiwa pada musibah letusan Gunung Merapi seharusnya bisa dikelak seandainya warga yang tinggal di daerah bahaya menaati imbauan untuk mengungsi. Peningkatan status gunung dari normal menjadi awas, toh, tak terjadi mendadak. Peningkatannya bertahap, mulai ke status waspada (20 September), meningkat menjadi siaga (21 Oktober), dan terakhir awas (25 Oktober).
Pada status terakhir ini, protap yang seharusnya diberlakukan tegas adalah mengevakuasi warga dari daerah-daerah bahaya, tanpa kecuali. Termasuk, katakanlah itu Mbah Maridjan, tokoh sepuh yang jadi panutan di Kinahrejo.
Namun, yang kemudian terjadi, sebagian warga di Kinahrejo seolah tak terlalu peduli, dan tetap saja menjalankan aktivitasnya biasa, termasuk Mbah Maridjan. Bahkan, beberapa menit sebelum wedhus gembel melalap habis Kinahrejo, Mbah Maridjan dan beberapa orang lainnya masih berada di sana, padahal pintu kemungkinan untuk selamat itu secara kausalitas jelas sudah tertutup.
Benar, sekali lagi, kematian memanglah takdir yang tak seorang pun mampu memastikan saatnya. Jika waktunya tiba, tak akan ada yang bisa mengulur, atau mempercepatnya, kecuali Tuhan. Zat yang tidak ada lagi selain Dia, yang memiliki otoritas untuk itu.
Namun, tawakal bukanlah kesombongan sekalipun batas di antaranya hanya terpisah tipis, bahkan kadang samar. Tawakal adalah kondisi yang hanya ada ketika semua usaha telah diupayakan. Bukan menentang maut, padahal kesempatan untuk selamat cukup tersedia, bahkan lebih dari cukup. Wallaahualam bisawab.
Gunung yang gagah itu, akhirnya meletus, Selasa (26/10) sore. Kinahrejo luluh-lantak.
Pada sisi yang lain, banyaknya korban tewas akibat letusan Merapi kali ini barangkali juga menjadi gambaran bahwa para pemimpin kita sudah tak lagi "cukup" untuk menjadi panutan. Warga tak lagi menjadikan mereka teladan karena lagi-lagi mereka tak "cukup" untuk diteladani.
Tidak tegasnya tindakan pemerintah mengevakuasi warga saat status gunung menjadi awas, dalam sudut yang lain, juga menjadi sebab, kenapa warga tak lagi manut. Padahal, seandainya sejak status itu menjadi awas, pemerintah secara tegas melarang dan mengevakuasi paksa semua orang yang berada di daerah bahaya, tindakan itu mungkin akan menyelamatkan banyak sekali nyawa, meski secara temporer, pasti akan dibenci sebagian pihak.
Dalam beberapa hal, pemimpin memang harus membuat pilihan secara cepat, dan memastikannya berjalan demi menyelamatkan gerbong yang dipimpinnya. Ia mungkin harus mengambil risiko dibenci, bahkan dicopot karena upayanya yang begitu rupa untuk kebaikan gerbongnya. Tapi, seperti itulah seorang pemimpin seharusnya bertindak.
Apa yang terjadi pada musibah Merapi kembali memberi kita pelajaran. Sekarang bukan saatnya lagi menyesal, sebab yang mati tak kan kembali.
Allah Mahapemurah. Mari kita ambil hikmahnya.(*)
Senin, 18 Oktober 2010
Kita Tak Pernah Tahu
JIKA bukan satu-satunya, Yoga Santosa, mungkin adalah satu dari sedikit sekali orang yang menggunakan buaya untuk menjaga rumahnya. Tapi, seperti umumnya kita, anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi Golkar ini pun cemas saat buaya tersebut mengamuk. Lepas dari kandangnya, berkeliaran di atap rumah orang.
Tak kurang dari 15 tahun memelihara buaya, memang baru Jumat (15/10) sore itulah lepasnya buaya muara sepanjang dua meteran dengan berat sekitar 100 kilogram itu membuat kehebohan. Jumat lalu, buaya tersebut kedapatan sedang bertengger di atap rumah tetangga Yoga di Jalan Lobak RT 02/09, Kelurahan Malabar, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung. Selama hampir satu jam buaya tersebut nongkrong seperti berjemur.
Lepasnya buaya milik angota DPRD tersebut jelas seketika itu pula menimbulkan kegemparan. Empat lelaki dewasa yang datang untuk mengandangkannya harus berupaya keras. Buaya itu berontak, mengibas-kibaskan ekor seraya mempertunjukkan gigigiginya yang tajam, hendak menyerang.
Beruntung upaya keras itu akhirnya berhasil. Buaya muara ditangkap sebelum hari telanjur gelap.
Meski peristiwa ini sudah beberapa hari berlalu, heboh buaya ngamuk di atap tetangga, masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Rata-rata bergumam, "Untung tak sampai masuk ke rumah warga. Bagaimana kalau gentingnya ambrol, sementara di bawah ada anak atau bayi yang sedang tidur?"
Saya, Pak Yoga, dan mungkin juga Anda, barangkali tak akan kuasa membayangkannya jika itu terjadi. Kisahnya pasti menjadi headlines, tak cuma sehari, tapi berhari-hari.
Kepada harian ini, Yoga mengaku, buaya dengan panggilan Koing tersebut, adalah kesayangan keluarga mereka. Buaya tersebut mereka pelihara sejak panjang tubuhnya masih satu jengkal. Baik keluarga maupun para tetangganya, sudah sangat akrab dengan keberadaan buaya yang hingga kini ia pelihara itu.
Sebagai anggota dewan, Yoga pasti bukan tak paham bahwa buaya adalah hewan yang dilindungi, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta PP 8 tahun 1999.
Namun, karena sudah telanjur sayang, ia lebih memilih tetap mengurusnya. Sekalipun, sempat terpikir pula untuk menyerahkannya ke kebun binatang karena ukurannya yang semakin besar.
Bicara soal ukuran, buaya muara terpanjang yang sejauh ini pernah diketahui ada adalah 7,1 meter di Suaka Margasatwa Bhitarkanika, Orissa, India. The Guinness Book of World Records mencatatnya sebagai buaya muara terpanjang, sekalipun di habitat aslinya, mungkin saja ada yang lebih panjang.
Binatang ini juga dikenal memiliki rahang yang luar biasa kuat. Ia dapat menggigit dengan kekuatan yang sangat hebat. Tekanan gigitannya tak pernah kurang dari 5.000 pounds per square inch (psi), atau setara dengan 315 kilogram per centimeter. Kekuatan gigitan ini akan ketahuan dahsyatnya jika kita membandingkannya dengan gigitan hewan lainnya seperti anjing rottweiler, hiu putih, atau hyena. Rottweiler hanya punya 335 psi, sementara hiu putih raksasa dan hyna, hanya 400 psi dan 800-an psi.
Buaya ini juga dapat bergerak dengan sangat cepat pada jarak pendek, bahkan ketika dia berada di luar air, di atas genting, misalnya. Berat tubuhnya bisa mencapai 1,2 ton atau lebih. Sementara panjangnya, rata-rata bisa mencapai lebih dari lima meteran.
Buaya muara yang kini masih dipelihara di rumah salah seorang anggota DPRD kita, tubuhnya memang belum sepanjang buaya muara yang kini ada di Bhitarkanika, Orissa, India. Tapi, mengingat, sejauh ini buaya tersebut selalu mendapat pasokan makanan yang cukup baik, tubuhnya pasti akan semakin besar dan semakin kuat.
Buaya tersebut mungkin saja kembali lepas, dan para tetangga Yoga, boleh jadi juga tak kembali seberuntung kemarin. Bisa saja buaya itu mendadak lepas, masuk ke rumah-rumah warga, menyantap apa saja yang ada termasuk Anda, atau anak-anak Anda. Kita tak pernah tahu.
Tak kurang dari 15 tahun memelihara buaya, memang baru Jumat (15/10) sore itulah lepasnya buaya muara sepanjang dua meteran dengan berat sekitar 100 kilogram itu membuat kehebohan. Jumat lalu, buaya tersebut kedapatan sedang bertengger di atap rumah tetangga Yoga di Jalan Lobak RT 02/09, Kelurahan Malabar, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung. Selama hampir satu jam buaya tersebut nongkrong seperti berjemur.
Lepasnya buaya milik angota DPRD tersebut jelas seketika itu pula menimbulkan kegemparan. Empat lelaki dewasa yang datang untuk mengandangkannya harus berupaya keras. Buaya itu berontak, mengibas-kibaskan ekor seraya mempertunjukkan gigigiginya yang tajam, hendak menyerang.
Beruntung upaya keras itu akhirnya berhasil. Buaya muara ditangkap sebelum hari telanjur gelap.
Meski peristiwa ini sudah beberapa hari berlalu, heboh buaya ngamuk di atap tetangga, masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Rata-rata bergumam, "Untung tak sampai masuk ke rumah warga. Bagaimana kalau gentingnya ambrol, sementara di bawah ada anak atau bayi yang sedang tidur?"
Saya, Pak Yoga, dan mungkin juga Anda, barangkali tak akan kuasa membayangkannya jika itu terjadi. Kisahnya pasti menjadi headlines, tak cuma sehari, tapi berhari-hari.
Kepada harian ini, Yoga mengaku, buaya dengan panggilan Koing tersebut, adalah kesayangan keluarga mereka. Buaya tersebut mereka pelihara sejak panjang tubuhnya masih satu jengkal. Baik keluarga maupun para tetangganya, sudah sangat akrab dengan keberadaan buaya yang hingga kini ia pelihara itu.
Sebagai anggota dewan, Yoga pasti bukan tak paham bahwa buaya adalah hewan yang dilindungi, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta PP 8 tahun 1999.
Namun, karena sudah telanjur sayang, ia lebih memilih tetap mengurusnya. Sekalipun, sempat terpikir pula untuk menyerahkannya ke kebun binatang karena ukurannya yang semakin besar.
Bicara soal ukuran, buaya muara terpanjang yang sejauh ini pernah diketahui ada adalah 7,1 meter di Suaka Margasatwa Bhitarkanika, Orissa, India. The Guinness Book of World Records mencatatnya sebagai buaya muara terpanjang, sekalipun di habitat aslinya, mungkin saja ada yang lebih panjang.
Binatang ini juga dikenal memiliki rahang yang luar biasa kuat. Ia dapat menggigit dengan kekuatan yang sangat hebat. Tekanan gigitannya tak pernah kurang dari 5.000 pounds per square inch (psi), atau setara dengan 315 kilogram per centimeter. Kekuatan gigitan ini akan ketahuan dahsyatnya jika kita membandingkannya dengan gigitan hewan lainnya seperti anjing rottweiler, hiu putih, atau hyena. Rottweiler hanya punya 335 psi, sementara hiu putih raksasa dan hyna, hanya 400 psi dan 800-an psi.
Buaya ini juga dapat bergerak dengan sangat cepat pada jarak pendek, bahkan ketika dia berada di luar air, di atas genting, misalnya. Berat tubuhnya bisa mencapai 1,2 ton atau lebih. Sementara panjangnya, rata-rata bisa mencapai lebih dari lima meteran.
Buaya muara yang kini masih dipelihara di rumah salah seorang anggota DPRD kita, tubuhnya memang belum sepanjang buaya muara yang kini ada di Bhitarkanika, Orissa, India. Tapi, mengingat, sejauh ini buaya tersebut selalu mendapat pasokan makanan yang cukup baik, tubuhnya pasti akan semakin besar dan semakin kuat.
Buaya tersebut mungkin saja kembali lepas, dan para tetangga Yoga, boleh jadi juga tak kembali seberuntung kemarin. Bisa saja buaya itu mendadak lepas, masuk ke rumah-rumah warga, menyantap apa saja yang ada termasuk Anda, atau anak-anak Anda. Kita tak pernah tahu.
Senin, 04 Oktober 2010
Seharusnya Bisa Lebih Berhemat
PERCAYA atau tidak, hampir 60 persen dari seluruh penghasilan kita dalam sebulan, sebenarnya telah diambil oleh negara tanpa kita sadari. Tak perlu hitung-hitungan rumit untuk menyetujui bahwa pernyataan tersebut masuk di akal. Cukup dengan menjawab pertanyaan berikut: hal apa saja selain bernapas, yang dapat kita lakukan tanpa harus membayarnya pada negara?
Jika Anda dapat segera menyebutkan lima saja di antaranya dalam waktu kurang dari semenit sejak pertanyaan tersebut selesai Anda baca, angka 60 persen di atas, mungkin dengan segera harus kita koreksi. Sebagai bandingan, jawab pula pertanyaan sejenis akan tetapi topiknya sebaliknya: pajak apa saja yang harus selalu kita bayar kepada negara, setiap harinya, setiap bulannya, setiap tahunnya?
Seumur hidup, kita memang bekerja untuk negara. Pakaian yang kita pakai, air yang kita minum, beras yang kita makan, listrik yang kita nikmati, susu untuk anak-anak kita, semua dikenai pajak. Daftar semua hal yang kena pajak mungkin akan mencapai berlembar-lembar halaman buku harian kita. Negara bahkan telah memotong penghasilan rakyatnya sebelum mereka sendiri bisa menikmatinya.
Kita, tak pernah sekalipun mengeluh dengan kondisi yang telah kita alami itu, karena selain memang tak bisa berbuat banyak untuk mengubahnya, kita pun telah biasa hingga semua tak lagi terasa sebagai beban, tapi kebiasaan.
Kebiasaan membayar pajak sendiri, tentu bukan kebiasaan buruk. Jalan-jalan negara, aneka infrastuktur, para aparat yang menjalankan pemerintahan, termasuk para aparat hukum dibiayai dengan pajak yang kita bayar. Negara ini terus berdiri karena ketaatan rakyatnya membayar pajak.
Rakyat yang membayar pajak, juga bukan cuma rakyat yang secara finansial tajir, hidup di rumah-rumah mewah, dengan bidang usaha yang seperti gurita. Rakyat yang hidup miskin, tak memiliki pekerjaan tetap, bahkan anak-anak jalanan juga tak luput dari kewajiban itu. Sedikitnya mereka juga ikut menyumbang untuk pembangunan negara.
Karena itu, ketika roda pemerintahan tak dijalankan secara benar, pelayanan publik tersendat, atau ketika uang negara sengaja dikorup, dipakai untuk sesuatu yang tidak- tidak demi kesenangan pribadi, rakyat di negeri ini seharusnya murka. Sebab, mereka itulah, sesungguhnya, para penjahat yang harus diburu!
Belum lama ini kita mendengar, tak kurang dari Rp 170 miliar yang dihabiskan legislatif di tingkat pusat untuk biaya perjalanan dinas mereka ke luar negeri. Judul kunjunganya sendiri sangat beragam. Namun, hampir sebagian besar bertajuk studi banding.
Saat kunjungan ke luar negeri tersebut, selain semuanya serba dibayari negara, uang saku para anggota dewan selama di sana, juga dibiayai dari uang negara. Uang satu untuk satu harinya antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Belum termasuk uang representasi Rp 20 juta. Padahal, pada setiap studi banding ke luar negeri yang ikut biasanya berjumlah belasan. Jika lama studi banding tersebut satu minggu saja, bayangkan saja, berapa uang yang diperoleh dari tetesan rakyat itu mereka habiskan.
Akan tetapi, bukan cuma DPR yang memanfaatkan uang rakyat untuk aneka perjalanan dinas mereka ke luar negeri ini. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mencatat, jumlah yang dihabiskan para pejabat negara, mulai dari presiden, 13 kementerian atau lembaga, dan DPR di tahun ini mencapai Rp 19,5 triliun. Sementara jaminan kesehatan masyarakat, hanya seperempatnya, sekitar Rp 4,5 triliun per tahun.
Padahal, sekali lagi, itu semua uang yang kita semua kumpulkan setiap harinya dengan tetesan keringat. Seharusnya, mereka bisa lebih berhemat. (arief permadi)
Jika Anda dapat segera menyebutkan lima saja di antaranya dalam waktu kurang dari semenit sejak pertanyaan tersebut selesai Anda baca, angka 60 persen di atas, mungkin dengan segera harus kita koreksi. Sebagai bandingan, jawab pula pertanyaan sejenis akan tetapi topiknya sebaliknya: pajak apa saja yang harus selalu kita bayar kepada negara, setiap harinya, setiap bulannya, setiap tahunnya?
Seumur hidup, kita memang bekerja untuk negara. Pakaian yang kita pakai, air yang kita minum, beras yang kita makan, listrik yang kita nikmati, susu untuk anak-anak kita, semua dikenai pajak. Daftar semua hal yang kena pajak mungkin akan mencapai berlembar-lembar halaman buku harian kita. Negara bahkan telah memotong penghasilan rakyatnya sebelum mereka sendiri bisa menikmatinya.
Kita, tak pernah sekalipun mengeluh dengan kondisi yang telah kita alami itu, karena selain memang tak bisa berbuat banyak untuk mengubahnya, kita pun telah biasa hingga semua tak lagi terasa sebagai beban, tapi kebiasaan.
Kebiasaan membayar pajak sendiri, tentu bukan kebiasaan buruk. Jalan-jalan negara, aneka infrastuktur, para aparat yang menjalankan pemerintahan, termasuk para aparat hukum dibiayai dengan pajak yang kita bayar. Negara ini terus berdiri karena ketaatan rakyatnya membayar pajak.
Rakyat yang membayar pajak, juga bukan cuma rakyat yang secara finansial tajir, hidup di rumah-rumah mewah, dengan bidang usaha yang seperti gurita. Rakyat yang hidup miskin, tak memiliki pekerjaan tetap, bahkan anak-anak jalanan juga tak luput dari kewajiban itu. Sedikitnya mereka juga ikut menyumbang untuk pembangunan negara.
Karena itu, ketika roda pemerintahan tak dijalankan secara benar, pelayanan publik tersendat, atau ketika uang negara sengaja dikorup, dipakai untuk sesuatu yang tidak- tidak demi kesenangan pribadi, rakyat di negeri ini seharusnya murka. Sebab, mereka itulah, sesungguhnya, para penjahat yang harus diburu!
Belum lama ini kita mendengar, tak kurang dari Rp 170 miliar yang dihabiskan legislatif di tingkat pusat untuk biaya perjalanan dinas mereka ke luar negeri. Judul kunjunganya sendiri sangat beragam. Namun, hampir sebagian besar bertajuk studi banding.
Saat kunjungan ke luar negeri tersebut, selain semuanya serba dibayari negara, uang saku para anggota dewan selama di sana, juga dibiayai dari uang negara. Uang satu untuk satu harinya antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Belum termasuk uang representasi Rp 20 juta. Padahal, pada setiap studi banding ke luar negeri yang ikut biasanya berjumlah belasan. Jika lama studi banding tersebut satu minggu saja, bayangkan saja, berapa uang yang diperoleh dari tetesan rakyat itu mereka habiskan.
Akan tetapi, bukan cuma DPR yang memanfaatkan uang rakyat untuk aneka perjalanan dinas mereka ke luar negeri ini. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mencatat, jumlah yang dihabiskan para pejabat negara, mulai dari presiden, 13 kementerian atau lembaga, dan DPR di tahun ini mencapai Rp 19,5 triliun. Sementara jaminan kesehatan masyarakat, hanya seperempatnya, sekitar Rp 4,5 triliun per tahun.
Padahal, sekali lagi, itu semua uang yang kita semua kumpulkan setiap harinya dengan tetesan keringat. Seharusnya, mereka bisa lebih berhemat. (arief permadi)
Sabtu, 04 September 2010
Silaturahim
SILATURAHIM berasal dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti menyambungkan kasih sayang. Kata shilah berasal dari kata washala yang memiliki makna sampai atau menyambung. Sementara rahim berasal dari akar kata rahima yang memiliki arti kasih sayang, saling berlaku lemah lembut, kekerabatan, atau kekeluargaan.
Islam, menempatkan silaturahim sebagai sesuatu yang penting yang menjadi kunci dari keberhasilan manusia dalam tugasnya menjadi khalifah. Silaturahim bahkan juga menjadi kunci, apakah seseorang berhak menjadi penghuni surga atau tidak.
Dalam praktiknya sehari-hari, ada banyak sekali cara yang bisa kita lakukan untuk menjalin silaturahmi. Mulai dari senantiasa mengucapkan salam saat bertemu sesama muslim, menafkahi anak-anak yatim, menjalankan aturan muamalah secara benar, hingga saling mengucapkan maaf seperti yang umum kita lakukan menjelang Idul Fitri.
Terkait yang terakhir, kita juga mengenal banyak sekali cara yang biasa ditempuh untuk menyampaikannya. Yang ideal, tentu dengan bertemu dan secara langsung bermaaf- maafan. Namun cara yang lain juga tak kalah baik, misalnya melalui telepon, pesan singkat di telepon seluler, surat elektronik, atau kartu lebaran, terutama jika kesempatan bertemu sedikit sulit karena jarak atau kesibukan.
Sebagian beranggapan, menyampaikan pesan secara tertulis melalui kartu lebaran adalah cara yang paling menyenangkan hati karena punya banyak sekali kelebihan.
Kekuatan berkomunikasi dengan kartu lebaran jauh lebih bermakna karena panjang usianya. Visualisasi dan nilai kedekatan yang ada pada kartu lebaran, menjadi hal lebih yang tidak terdapat pada pesan-pesan serupa yang disampaikan melalui SMS. Sentuhan personal kartu lebaran dinilai mampu mewakili kehadiran seseorang, mewakili ungkapan hatinya, sekaligus dapat mengobati kerinduan.
Namun, kembali kepada makna silaturahim, apa pun cara yang kemudian kita jadikan pilihan, sungguh bukanlah masalah selama nilai yang esensial dari silaturahim tersebut ada, tak terabaikan.
Mengirim SMS, email, atau kartu lebaran hanya akan bermakna jika mengirimkannya dengan kesungguhan, ketulusan meminta maaf seraya berharap bahwa pesan itu sampai.
Itu sebabnya, keindahan kata serta bagus tidaknya kartu, kemudian tak pernah bisa kita jadikan ukuran dari kualitas silaturahim yang diharapkan. Banyaknya kartu yang kemudian dikirim juga bukan ukuran bahwa silaturahim terbina. Itu sebabnya pula, silaturahim jadi sulit dicerna ketika kita mengirimannya secara mekanik, sekadar mengirim, sekadar membalas pesan.
Silaturahim melalui surat, SMS atau email hanya akan berarti jika yang kita kirimkan itu adalah sebuah kejujuran. Kejujuran yang kita kirimkan sendiri, kita tulis sendiri, dan tentu saja dengan uang sendiri.
Minal aidin wal faidzin. Semoga Allah senantiasa merahmati kita semua.
Islam, menempatkan silaturahim sebagai sesuatu yang penting yang menjadi kunci dari keberhasilan manusia dalam tugasnya menjadi khalifah. Silaturahim bahkan juga menjadi kunci, apakah seseorang berhak menjadi penghuni surga atau tidak.
Dalam praktiknya sehari-hari, ada banyak sekali cara yang bisa kita lakukan untuk menjalin silaturahmi. Mulai dari senantiasa mengucapkan salam saat bertemu sesama muslim, menafkahi anak-anak yatim, menjalankan aturan muamalah secara benar, hingga saling mengucapkan maaf seperti yang umum kita lakukan menjelang Idul Fitri.
Terkait yang terakhir, kita juga mengenal banyak sekali cara yang biasa ditempuh untuk menyampaikannya. Yang ideal, tentu dengan bertemu dan secara langsung bermaaf- maafan. Namun cara yang lain juga tak kalah baik, misalnya melalui telepon, pesan singkat di telepon seluler, surat elektronik, atau kartu lebaran, terutama jika kesempatan bertemu sedikit sulit karena jarak atau kesibukan.
Sebagian beranggapan, menyampaikan pesan secara tertulis melalui kartu lebaran adalah cara yang paling menyenangkan hati karena punya banyak sekali kelebihan.
Kekuatan berkomunikasi dengan kartu lebaran jauh lebih bermakna karena panjang usianya. Visualisasi dan nilai kedekatan yang ada pada kartu lebaran, menjadi hal lebih yang tidak terdapat pada pesan-pesan serupa yang disampaikan melalui SMS. Sentuhan personal kartu lebaran dinilai mampu mewakili kehadiran seseorang, mewakili ungkapan hatinya, sekaligus dapat mengobati kerinduan.
Namun, kembali kepada makna silaturahim, apa pun cara yang kemudian kita jadikan pilihan, sungguh bukanlah masalah selama nilai yang esensial dari silaturahim tersebut ada, tak terabaikan.
Mengirim SMS, email, atau kartu lebaran hanya akan bermakna jika mengirimkannya dengan kesungguhan, ketulusan meminta maaf seraya berharap bahwa pesan itu sampai.
Itu sebabnya, keindahan kata serta bagus tidaknya kartu, kemudian tak pernah bisa kita jadikan ukuran dari kualitas silaturahim yang diharapkan. Banyaknya kartu yang kemudian dikirim juga bukan ukuran bahwa silaturahim terbina. Itu sebabnya pula, silaturahim jadi sulit dicerna ketika kita mengirimannya secara mekanik, sekadar mengirim, sekadar membalas pesan.
Silaturahim melalui surat, SMS atau email hanya akan berarti jika yang kita kirimkan itu adalah sebuah kejujuran. Kejujuran yang kita kirimkan sendiri, kita tulis sendiri, dan tentu saja dengan uang sendiri.
Minal aidin wal faidzin. Semoga Allah senantiasa merahmati kita semua.
Kamis, 26 Agustus 2010
Nasionalisme Bukan Barang Jadi
SEBERAPA kuat, sih, militer Indonesia jika dibanding negara-negara lainnya di dunia? Jawaban dari pertanyaan tersebut ternyata sangat mengejutkan. Paling tidak jika kita merujuknya pada pemeringkatan yang dilakukan situs www.globalfirepower.com, sebuah situs pribadi yang kini banyak sekali diakses karena secara rutin menganalisa kekuatan militer setiap negara di dunia.
Pada world military strength ranking terakhir berdasar data yang di-update situs tersebut, Mei 2009, Indonesia berada pada posisi 14, di bawah Italia (peringkat 13), Korea Selatan (peringkat 12) dan Israel (peringkat 11).
Australia yang kabarnya kuat di kawasan Asia Pasifik hanya menempati peringkat 26 versi Global Fire Power. Sementara Malaysia, yang dalam beberapa waktu terakhir selalu bersikap congkak, malah tak masuk hitungan, namanya tak tercantum.
Peringkat Indonesia sendiri sebenarnya sedikit melemah jika dibanding pemeringkatan sebelumnya, tahun 2007. Saat itu RI berada pada posisi ke-13 di bawah United Kindom (peringkat 10), di bawah Italia (peringkat 11), di bawah dan Korea Selatan (peringkat 12). Namun, seperti pada pemeringkatan terbaru, Australia tak masuk dalam 20 besar, apalagi Malaysia, sama sekali tak disebut-sebut.
Tak hanya itu, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) milik Indonesia yang sudah berdiri sejak April 1952 silam, ternyata juga berada pada peringkat tiga pasukan elit terbaik dunia di bawah England Special Air Service (SAS) dan Mossad Israeli yang berada pada posisi pertama dan kedua. Pasukan khusus Rusia dan Prancis yang terkenal juga bahkan tak bisa menandingi Kopassus). Pasukan khusus Malaysia? Lagi-lagi tak disebut-sebut.
Itu sebabnya, barangkali, bahwa akademi militer di Indonesia kemudian menjadi salah satu tujuan favorit pendidikan militer dunia yang sering dituju oleh para perwira dari negara lain untuk mengikuti pelatihan kemiliteran.
Hampir 80 persen negara-negara di Afrika juga menggunakan jasa pasukan khusus dari Indonesia untuk melatih pasukan perang mereka di Afrika. Sementara buku yang berjudul "Strategy of Guerrilla Warfare" karangan Jenderal AH Nasution yang berisi tentang taktik dan strategi perang gerilya terus menjadi rujukan pengajaran militer utama di negara-negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.
Di bidang persenjataan, Indonesia juga patut berbangga hati karena PT Pindad yang merupakan pabrik persenjataan militer milik Indonesia mulai dipercaya memasok peluru dan tank ke negara- negara berkembang, seperti Filipina, Malaysia, dan lain-lain. Militer Amerika Serikat bahkan kabarnya membeli pasokan peluru dari Pindad. Sementara helikopter tempur jenis EC 725/225 buatan PT Dirgantara Indonesia ternyata juga dipesan negara-negara Eropa, termasuk Prancis.
Dengan semua fakta di atas, memang menjadi sedikit mengherankan jika dalam satu dekade terakhir negara tetangga Malaysia begitu percaya dirinya. Termasuk saat menangkap tiga pejabat RI di wilayah Indonesia karena menangkap basah nelayan Malaysia yang mencuri ikan, belum lama ini. Padahal, sekali lagi, kekuatan militer Malaysia bahkan tak masuk hitungan. Tapi, pertanyaannya, maukah kita berangkat perang jika negara kita memintanya sekarang?
(Nasionalisme bukan barang jadi yang begitu saja bisa diminta, tapi harus dipupuk, dirawat, terus diperjuangkan).
Pada world military strength ranking terakhir berdasar data yang di-update situs tersebut, Mei 2009, Indonesia berada pada posisi 14, di bawah Italia (peringkat 13), Korea Selatan (peringkat 12) dan Israel (peringkat 11).
Australia yang kabarnya kuat di kawasan Asia Pasifik hanya menempati peringkat 26 versi Global Fire Power. Sementara Malaysia, yang dalam beberapa waktu terakhir selalu bersikap congkak, malah tak masuk hitungan, namanya tak tercantum.
Peringkat Indonesia sendiri sebenarnya sedikit melemah jika dibanding pemeringkatan sebelumnya, tahun 2007. Saat itu RI berada pada posisi ke-13 di bawah United Kindom (peringkat 10), di bawah Italia (peringkat 11), di bawah dan Korea Selatan (peringkat 12). Namun, seperti pada pemeringkatan terbaru, Australia tak masuk dalam 20 besar, apalagi Malaysia, sama sekali tak disebut-sebut.
Tak hanya itu, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) milik Indonesia yang sudah berdiri sejak April 1952 silam, ternyata juga berada pada peringkat tiga pasukan elit terbaik dunia di bawah England Special Air Service (SAS) dan Mossad Israeli yang berada pada posisi pertama dan kedua. Pasukan khusus Rusia dan Prancis yang terkenal juga bahkan tak bisa menandingi Kopassus). Pasukan khusus Malaysia? Lagi-lagi tak disebut-sebut.
Itu sebabnya, barangkali, bahwa akademi militer di Indonesia kemudian menjadi salah satu tujuan favorit pendidikan militer dunia yang sering dituju oleh para perwira dari negara lain untuk mengikuti pelatihan kemiliteran.
Hampir 80 persen negara-negara di Afrika juga menggunakan jasa pasukan khusus dari Indonesia untuk melatih pasukan perang mereka di Afrika. Sementara buku yang berjudul "Strategy of Guerrilla Warfare" karangan Jenderal AH Nasution yang berisi tentang taktik dan strategi perang gerilya terus menjadi rujukan pengajaran militer utama di negara-negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.
Di bidang persenjataan, Indonesia juga patut berbangga hati karena PT Pindad yang merupakan pabrik persenjataan militer milik Indonesia mulai dipercaya memasok peluru dan tank ke negara- negara berkembang, seperti Filipina, Malaysia, dan lain-lain. Militer Amerika Serikat bahkan kabarnya membeli pasokan peluru dari Pindad. Sementara helikopter tempur jenis EC 725/225 buatan PT Dirgantara Indonesia ternyata juga dipesan negara-negara Eropa, termasuk Prancis.
Dengan semua fakta di atas, memang menjadi sedikit mengherankan jika dalam satu dekade terakhir negara tetangga Malaysia begitu percaya dirinya. Termasuk saat menangkap tiga pejabat RI di wilayah Indonesia karena menangkap basah nelayan Malaysia yang mencuri ikan, belum lama ini. Padahal, sekali lagi, kekuatan militer Malaysia bahkan tak masuk hitungan. Tapi, pertanyaannya, maukah kita berangkat perang jika negara kita memintanya sekarang?
(Nasionalisme bukan barang jadi yang begitu saja bisa diminta, tapi harus dipupuk, dirawat, terus diperjuangkan).
Jumat, 23 Juli 2010
Cepat Tak Selalu Baik
TAK perlu menjadi seorang ahli untuk tahu bahwa penggunaan gas sebagai bahan bakar lebih berbahaya dibanding minyak tanah. Itu sebabnya, perlakuan untuk bahan bakar gas ini lebih ketat dibanding minyak tanah. Mulai dari masalah perangkat, perawatan, sampai penggunaannya.
Penggunaan gas sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah sebenarnya bukan sesuatu yang baru di negeri ini. Belasan tahun lalu, jauh sebelum konversi minyak tanah ke gas diberlakukan pemerintah, gas dalam tabung sudah banyak dipakai. Banyak rumah tangga, terutama di kompleks-kompleks di kota besar, termasuk Bandung, menggunakannya. Dan sejauh itu, aman- aman saja.
Ledakan baru sering terjadi memang setelah konversi. Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) bahkan mencatat, terdapat 189 kasus kebocoran gas yang menimbulkan ledakan, dan 78 di antaranya terjadi pada tahun 2010 hingga pekan pertama bulan Juli.
Dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang total kasusnya hanya 50, jumlah tersebut jelas meningkat lebih dari dua kali lipatnya. Padahal, logika sederhana, jika semua kasus tersebut disebabkan keteledoran para penggunanya, jumlahnya pasti lebih sedikit karena orang pasti akan semakin mahir seiring berjalannya waktu. Terlebih, jauh sebelum konversi minyak tanah ke gas ini diberlakukan, sosialisasinya juga telah dilakukan.
Konversi bahkan sempat dulu diuji coba di hanya sebatas satu kelurahan, meningkat ke satu kecamatan, kota, dan kabupaten, dan kemudian provinsi, sebelum akhirnya diberlakukan nasional.
Dengan asumsi di atas, tak bisa tidak bahwa sebab yang paling logis adalah pasti adanya masalah dengan perangkat. Masalah baik pada tabung tiga kilogramnya, karet pengamannya, selangnya, atau bisa juga regulatornya.
Belakangan ini terbukti setelah Badan Standarisasi Nasional (BSN) melakukan survei, yang hasilnya, 63 persen ledakan terjadi karena tabungnya bermasalah. Masalah tidak hanya karena tabungnya memang tak layak pakai dalam waktu yang lama, tapi juga karena pola penyimpanannya sekaligus distribusinya yang tidak hati-hati.
Pemerintah tentu adalah pihak yang paling harus bertanggung jawab terkait terus terjadinya ledakan dari tabung-tabung gas murah tiga kilograman itu. Sebab, apa yang terjadi sekarang bukan sebuah kecelakaan, melainkan keteledoran dari sebuah program yang sebenarnya sangat brilian di tengah terpuruknya ekonomi bangsa.
Sebagai awal dari bentuk pertanggungjawaban itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjamin bahwa semua korban ledakan tabung gas diobati secara gratis dengan pengobatan terbaik yang dimiliki negara. Keluarga dari korban meninggal diberi santunan. Dibangunkan kembali rumah agar mereka bisa hidup layak.
Sambil langkah pertama berjalan, kebijakan tegas diberlakukan kepada produsen, agen, dan pengecer tabung, kompor, slang dan regulator, serta aneka peralatan vital lainnya.
Tegur yang keras, disertai sanksi berat kepada mereka yang melanggar. Jangan sampai terdengar cerita miring bahwa pabrik yang ketahuan menyimpan puluhan ribu tabung gas tak layak hanya diperingatkan tanpa ada jaminan bahwa tabung-tabung tersebut tidak diedarkan.
Langkah lain yang juga harus dilakukan adalah membuka posko pengaduan yang dapat bereaksi cepat di setiap kelurahan atau kecamatan. Dengan demikian, distribusi gas hingga ke tingkat warung terawasi. Warung yang kedapatan menjual gas dalam tabung tak laik dikenai hukuman denda berat dalam proses pengadilan yang cepat seperti halnya pengadilan tindak pidana ringan.
Untuk di tingkat agen, tentu hukuman yang dijatuhkan harus berkali-kali lipat lebih berat. Begitu seterusnya hingga ke tingkat produsen.
Hal lain yang juga mungkin harus segera dilakukan adalah menarik semua tabung yang tak layak dari setidaknya di tingkat agen dan menggantinya dengan tabung yang baru. Buka penukaran slang dan regulator di sebanyak-banyaknya tempat penukaran tanpa biaya tambahan. Jangan bebani warga karena ini, ledakan demi ledakan yang terus terjadi ini, adalah salah pemerintah.
Pemerintah, tak bisa tidak, harus kembali bertindak cepat. Namun tentu dengan baik karena sekadar cepat terbukti tak selalu baik. (*)
Oleh Arief Permadi
Senin, 19 April 2010
Pembubaran Satpol PP Bukan Solusi yang Tepat
Bagi para aparatur negara, tragedi di Tanjung Priok jelas harus menjadi sebuah pelajaran. Sebab seragam kini tak angker lagi, rasa hormat terkikis, dan orang mulai tak segan.
GESEKAN berujung kekerasan antara aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan masyarakat bukan hal baru di negeri ini.
Jauh, ketika satuan ini masih bernama Tibum (Ketertiban Umum), yang kemudian berganti Trantib seperti yang ada di DKI Jakarta, gesekan seperti itu juga sudah terasa. Posisinya sebagai garda terdepan "pengaman" kebijakan daerah membuat itu tak terhindarkan.
Dalam sejumlah kasusnya, gesekan berakhir manis di mana kedua pihak akhirnya menerima hingga penertiban berlangsung lancar. Tapi dalam banyak lainnya, gesekan berbuah rusuh. Menelan korban jiwa seperti apa yang akhirnya terjadi saat rusuh meletus di kawasan makam Mbah Priuk, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (14/4).
Untuk kesekian kali di mana upaya penertiban yang dilakukan aparat Satpol PP berbuah duka. Sementara kita yang jauh dari lokasi hanya bisa terpana, sulit percaya bahwa warga yang santun itu ternyata bisa mendadak jadi beringas, gelap mata, dan haus darah. Tercatat tiga anggota Satpol PP tewas, 146 lainnya terluka di mana 69 di antaranya adalah anggota Satpol PP.
Seperti dikatakan Presiden, rusuh di Tanjung Priok ini sebenarnya tak harus terjadi jika sedari awal permasalahan yang ada diselesaikan secara baik. Tujuan-tujuan baik, kata Presiden, tak selamanya berujung baik. Terlebih ketika cara yang dilakukan tak dipikirkan matang, melainkan dipaksakan.
Pada kasus di Priok, jelas sekali apa yang dilakukan Satpol bahkan tak cuma dipaksakan, tapi juga serampangan.
Sehari sebelum rusuh terjadi warga setempat sudah bersiap-siap. Tapi Satpol tetap merangsek karena hingga di hari kerusuhan, tak ada perintah bagi mereka untuk membatalkan penertiban. Padahal, jika melihat kondisinya, perlawanan warga yang luar biasa ini seharusnya terduga karena tempat yang akan ditertibkan itu bukan tempat biasa, melainkan tempat dengan nuansa spiritual yang tinggi, yang dikeramatkan. Semangat warga akan otomatis bergeser: Tak cuma soal sengketa tanah, tapi soal agama, soal memerangi yang bathil, berjihad di mana mati adalah syahid.
Bahwa dalam perkembangannya rusuh meluas dan melibatkan warga lainnya di luar yang tinggal di Jakarta Utara, ini pun bisa kita pahami karena sekali lagi, citra buruk kadung menempel di tubuh Satpol PP. Gejolak yang luar biasa kemarin seolah menjadi letusan kemarahan yang selama ini terpendam. Dampak akumulatif yang seharusnya sedari awal sudah dihitung kemungkinannya.
Akan tetapi, tentu saja, adalah juga tak adil ketika semua kesalahan tersebut lalu kita timpakan kepada Satpol PP. Sebab, sekalipun benar bahwa pada beberapa sisinya ada banyak tindakan anggota Satpol PP ini yang jelas melanggar, tapi secara keseluruhan Satpol PP hanyalah alat yang cuma bekerja berdasar perintah, dalam hal ini dari kepala daerah.
Itu sebabnya, pembubaran satuan seperti yang langsung kembali mengemuka saat tragedi Priok terjadi, bukanlah penyelesaian karena masalah ini jelas tak berdiri sendiri. Adanya persengketaan tanah seperti yang terjadi di Priok adalah satu dari sekian banyak rantai akibat atas karut-marutnya sistem administrasi yang sudah terjadi puluhan tahun silam. Dampak warisan dari semua perkeliruan pejabat terdahulu, ketika demokrasi belum sebaik sekarang di negeri ini.
Itu sebabnya, apa pun yang kemudian baru terasa masalahnya di waktu sekarang, hendaknya diselesaikan secara arif, tak melulu hitam putih. Apalagi mengedepankan sikap represif.
Bagi para aparatur negara, tragedi di Tanjung Priok jelas harus menjadi sebuah pelajaran. Sebab seragam kini tak angker lagi, rasa hormat terkikis, dan orang mulai tak segan.
Hati-hatilah dalam bersikap dan bertindak. Rusuh berdarah seperti di Priok, bisa saja terjadi di tempat lain, termasuk di Jawa Barat yang selama ini dikenal sangat kondusif. (arief permadi)
GESEKAN berujung kekerasan antara aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan masyarakat bukan hal baru di negeri ini.
Jauh, ketika satuan ini masih bernama Tibum (Ketertiban Umum), yang kemudian berganti Trantib seperti yang ada di DKI Jakarta, gesekan seperti itu juga sudah terasa. Posisinya sebagai garda terdepan "pengaman" kebijakan daerah membuat itu tak terhindarkan.
Dalam sejumlah kasusnya, gesekan berakhir manis di mana kedua pihak akhirnya menerima hingga penertiban berlangsung lancar. Tapi dalam banyak lainnya, gesekan berbuah rusuh. Menelan korban jiwa seperti apa yang akhirnya terjadi saat rusuh meletus di kawasan makam Mbah Priuk, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (14/4).
Untuk kesekian kali di mana upaya penertiban yang dilakukan aparat Satpol PP berbuah duka. Sementara kita yang jauh dari lokasi hanya bisa terpana, sulit percaya bahwa warga yang santun itu ternyata bisa mendadak jadi beringas, gelap mata, dan haus darah. Tercatat tiga anggota Satpol PP tewas, 146 lainnya terluka di mana 69 di antaranya adalah anggota Satpol PP.
Seperti dikatakan Presiden, rusuh di Tanjung Priok ini sebenarnya tak harus terjadi jika sedari awal permasalahan yang ada diselesaikan secara baik. Tujuan-tujuan baik, kata Presiden, tak selamanya berujung baik. Terlebih ketika cara yang dilakukan tak dipikirkan matang, melainkan dipaksakan.
Pada kasus di Priok, jelas sekali apa yang dilakukan Satpol bahkan tak cuma dipaksakan, tapi juga serampangan.
Sehari sebelum rusuh terjadi warga setempat sudah bersiap-siap. Tapi Satpol tetap merangsek karena hingga di hari kerusuhan, tak ada perintah bagi mereka untuk membatalkan penertiban. Padahal, jika melihat kondisinya, perlawanan warga yang luar biasa ini seharusnya terduga karena tempat yang akan ditertibkan itu bukan tempat biasa, melainkan tempat dengan nuansa spiritual yang tinggi, yang dikeramatkan. Semangat warga akan otomatis bergeser: Tak cuma soal sengketa tanah, tapi soal agama, soal memerangi yang bathil, berjihad di mana mati adalah syahid.
Bahwa dalam perkembangannya rusuh meluas dan melibatkan warga lainnya di luar yang tinggal di Jakarta Utara, ini pun bisa kita pahami karena sekali lagi, citra buruk kadung menempel di tubuh Satpol PP. Gejolak yang luar biasa kemarin seolah menjadi letusan kemarahan yang selama ini terpendam. Dampak akumulatif yang seharusnya sedari awal sudah dihitung kemungkinannya.
Akan tetapi, tentu saja, adalah juga tak adil ketika semua kesalahan tersebut lalu kita timpakan kepada Satpol PP. Sebab, sekalipun benar bahwa pada beberapa sisinya ada banyak tindakan anggota Satpol PP ini yang jelas melanggar, tapi secara keseluruhan Satpol PP hanyalah alat yang cuma bekerja berdasar perintah, dalam hal ini dari kepala daerah.
Itu sebabnya, pembubaran satuan seperti yang langsung kembali mengemuka saat tragedi Priok terjadi, bukanlah penyelesaian karena masalah ini jelas tak berdiri sendiri. Adanya persengketaan tanah seperti yang terjadi di Priok adalah satu dari sekian banyak rantai akibat atas karut-marutnya sistem administrasi yang sudah terjadi puluhan tahun silam. Dampak warisan dari semua perkeliruan pejabat terdahulu, ketika demokrasi belum sebaik sekarang di negeri ini.
Itu sebabnya, apa pun yang kemudian baru terasa masalahnya di waktu sekarang, hendaknya diselesaikan secara arif, tak melulu hitam putih. Apalagi mengedepankan sikap represif.
Bagi para aparatur negara, tragedi di Tanjung Priok jelas harus menjadi sebuah pelajaran. Sebab seragam kini tak angker lagi, rasa hormat terkikis, dan orang mulai tak segan.
Hati-hatilah dalam bersikap dan bertindak. Rusuh berdarah seperti di Priok, bisa saja terjadi di tempat lain, termasuk di Jawa Barat yang selama ini dikenal sangat kondusif. (arief permadi)
Selasa, 13 April 2010
Jalan Panjang Sebulir Nasi
Seandainya pernah kita menatap mata kosong petani saat melihat pucuk-pucuk padinya layu di sawahnya yang terendam, maka sungguh akan kita rasakan betapa beratnya apa yang terjadi ini.
HUJAN dan banjir besar seolah menjadi kata yang saling terkait akhir-akhir ini. Bencana rutin, begitu orang menyebutnya. Banjir yang selalu datang setiap tahun, di tempat yang sama setiap kali musim hujan tiba. Dan, seperti di tahun-tahun sebelumnya, sejumlah wilayah di Kota dan Kabupaten Bandung juga dilanda banjir di musim penghujan tahun ini.
Di sebagian Rancaekek, Cieunteung, Gedebage, dan Panyileukan banjir seolah menjadi bagian dari hidup warganya. Ruas jalan protokol di depan Gedebage, Kota Bandung, bahkan berubah menjadi sungai setiap hujan turun deras.
Berbagai penanganan, seperti biasa juga dilakukan di lokasi-lokasi "basah" ini. Di titik-titik banjir yang parah seperti di Cieunteung, Kabupaten Bandung, posko-posko darurat jadi pemandangan tahunan. Perahu-perahu karet dalam jumlah terbatas dikirim untuk distribusi bantuan serta evakuasi warga.
Berbagai surat kabar harian juga "menghias" halaman korannya dengan kisah-kisah banjir. Di awal-awal musim, beritanya biasanya cukup besar. Tapi, tak lama, berita banjir diam-diam mengecil dan dimuat terpencil, itu pun di halaman dalam. Toh, tahun lalu juga begitu. Apa yang baru? Cieunteung banjir tak aneh, itu bukan berita.
Sikap pemerintah yang cenderung reaktif selama ini juga jadi cerminan tentang bagaimana persoalan banjir tahunan ini telah dianggap hal biasa hingga penanganannya pun biasa saja: evakuasi warga, beri bantuan, dirikan posko-posko. Padahal, justru karena banjir ini telah menjadi biasa penanganannya seharusnya luar biasa. Tak cuma terencana matang, tapi terintegrasi, berkesinambungan, dan melibatkan semua unsur dengan pasokan dana yang sebisa mungkin dianggarkan secara pantas dan menjadi prioritas.
Bagi yang hidup di daerah kering, derita warga di lokasi banjir mungkin tak terlalu terasa karena di musim hujan yang parah sekalipun ranjang dan lantai kita selalu kering, bersih, dan wangi.
Hujan membuat banjir mungkin baru terasa dan disadari saat jalan-jalan yang akan kita lalui tergenang. Saat gambar mereka menyelamatkan barangnya di antara banjir terlihat di koran-koran pagi, di layar kaca sore hari. Tapi, empati cuma sesaat. Setelah itu lupa, banjir sudah biasa.
Dalam hitung-hitungan statistik, dampak banjir terhadap tanaman padi secara nasional sebenarnya juga tak perlu begitu dicemaskan. Pertama, karena areal sawah yang terkena banjir ataupun tanaman padi yang dinyatakan puso masih begitu kecil dibanding dengan areal tanam secara nasional yang rata-rata mencapai 12 juta ha/tahun. Kedua, karena jumlah areal yang terendam (34.220 ha) dan puso (8.577 ha) di musih hujan tahun ini masih terpaut jauh dengan angka rata-rata per lima tahunan (85.665 ha terkena banjir, 28.084 puso) maupun dengan angka pada periode yang sama tahun sebelumnya (129.212 ha terendam, 24.128 ha puso).
Di Jabar, dari total 4.219 ha sawah terkena banjir (per 20 Januari), areal yang dinyatakan puso mencapai
277 ha. Jumlah itu dipastikan bertambah karena berdasar catatan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kab Bandung, akibat banjir dua pekan lalu sebanyak 168 ha sawah di Majalaya (15 ha), Rancaekek (64 ha), Ibun (16 ha), Cikancung (36 ha), dan Paseh (37 ha) sudah dipastikan puso. Ini belum terhitung lahan di delapan kecamatan yang hingga kini masih terendam banjir, yakni Ciparay (38 ha), Majalaya (42 ha), Rancaekek (209 ha), Ibun (16 ha), Baleendah (23 ha), Cikancung (64 ha), Paseh (188 ha), dan Cileunyi (65 ha). Akan tetapi, sekali lagi, bahwa secara statistik, dampak banjir di musim hujan di tahun ini belum begitu besar, kecuali kita juga memahaminya dari kaca mata petani.
Seandainya pernah kita menatap mata kosong petani saat melihat pucuk-pucuk padinya layu di sawahnya yang terendam, maka sungguh akan kita rasakan betapa beratnya apa yang terjadi ini.
Betapa tidak, setelah membajak sawah dan menyemai benih, perlu tiga hingga empat bulan sebelum padi bisa
dipanen. Selama masa menanti, para petani harus bisa berhemat, memendam banyak sekali keinginan demi kegembiraan yang terbayang mereka rasakan saat panen tiba.
Cita-cita dan mimpi indah inilah yang menjadi energi yang tak pernah habis bagi mereka untuk bertahan. Itu sebabnya, akan begitu berat saat semua letih dan pengorbanan ini pupus dalam sekejap. Padahal kemarin, semingguan lalu, semua masih biasa, baik-baik saja.
Sungguh, bagi petani, sekecil apa pun sawah yang mereka punya, sawah adalah kehidupan. Perjuangan mereka menjadi potret tentang panjangnya perjalanan sebulir nasi, yang kerap tersisa di piring makan kita, dan tanpa sadar juga terasa biasa. (arief permadi)
HUJAN dan banjir besar seolah menjadi kata yang saling terkait akhir-akhir ini. Bencana rutin, begitu orang menyebutnya. Banjir yang selalu datang setiap tahun, di tempat yang sama setiap kali musim hujan tiba. Dan, seperti di tahun-tahun sebelumnya, sejumlah wilayah di Kota dan Kabupaten Bandung juga dilanda banjir di musim penghujan tahun ini.
Di sebagian Rancaekek, Cieunteung, Gedebage, dan Panyileukan banjir seolah menjadi bagian dari hidup warganya. Ruas jalan protokol di depan Gedebage, Kota Bandung, bahkan berubah menjadi sungai setiap hujan turun deras.
Berbagai penanganan, seperti biasa juga dilakukan di lokasi-lokasi "basah" ini. Di titik-titik banjir yang parah seperti di Cieunteung, Kabupaten Bandung, posko-posko darurat jadi pemandangan tahunan. Perahu-perahu karet dalam jumlah terbatas dikirim untuk distribusi bantuan serta evakuasi warga.
Berbagai surat kabar harian juga "menghias" halaman korannya dengan kisah-kisah banjir. Di awal-awal musim, beritanya biasanya cukup besar. Tapi, tak lama, berita banjir diam-diam mengecil dan dimuat terpencil, itu pun di halaman dalam. Toh, tahun lalu juga begitu. Apa yang baru? Cieunteung banjir tak aneh, itu bukan berita.
Sikap pemerintah yang cenderung reaktif selama ini juga jadi cerminan tentang bagaimana persoalan banjir tahunan ini telah dianggap hal biasa hingga penanganannya pun biasa saja: evakuasi warga, beri bantuan, dirikan posko-posko. Padahal, justru karena banjir ini telah menjadi biasa penanganannya seharusnya luar biasa. Tak cuma terencana matang, tapi terintegrasi, berkesinambungan, dan melibatkan semua unsur dengan pasokan dana yang sebisa mungkin dianggarkan secara pantas dan menjadi prioritas.
Bagi yang hidup di daerah kering, derita warga di lokasi banjir mungkin tak terlalu terasa karena di musim hujan yang parah sekalipun ranjang dan lantai kita selalu kering, bersih, dan wangi.
Hujan membuat banjir mungkin baru terasa dan disadari saat jalan-jalan yang akan kita lalui tergenang. Saat gambar mereka menyelamatkan barangnya di antara banjir terlihat di koran-koran pagi, di layar kaca sore hari. Tapi, empati cuma sesaat. Setelah itu lupa, banjir sudah biasa.
Dalam hitung-hitungan statistik, dampak banjir terhadap tanaman padi secara nasional sebenarnya juga tak perlu begitu dicemaskan. Pertama, karena areal sawah yang terkena banjir ataupun tanaman padi yang dinyatakan puso masih begitu kecil dibanding dengan areal tanam secara nasional yang rata-rata mencapai 12 juta ha/tahun. Kedua, karena jumlah areal yang terendam (34.220 ha) dan puso (8.577 ha) di musih hujan tahun ini masih terpaut jauh dengan angka rata-rata per lima tahunan (85.665 ha terkena banjir, 28.084 puso) maupun dengan angka pada periode yang sama tahun sebelumnya (129.212 ha terendam, 24.128 ha puso).
Di Jabar, dari total 4.219 ha sawah terkena banjir (per 20 Januari), areal yang dinyatakan puso mencapai
277 ha. Jumlah itu dipastikan bertambah karena berdasar catatan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kab Bandung, akibat banjir dua pekan lalu sebanyak 168 ha sawah di Majalaya (15 ha), Rancaekek (64 ha), Ibun (16 ha), Cikancung (36 ha), dan Paseh (37 ha) sudah dipastikan puso. Ini belum terhitung lahan di delapan kecamatan yang hingga kini masih terendam banjir, yakni Ciparay (38 ha), Majalaya (42 ha), Rancaekek (209 ha), Ibun (16 ha), Baleendah (23 ha), Cikancung (64 ha), Paseh (188 ha), dan Cileunyi (65 ha). Akan tetapi, sekali lagi, bahwa secara statistik, dampak banjir di musim hujan di tahun ini belum begitu besar, kecuali kita juga memahaminya dari kaca mata petani.
Seandainya pernah kita menatap mata kosong petani saat melihat pucuk-pucuk padinya layu di sawahnya yang terendam, maka sungguh akan kita rasakan betapa beratnya apa yang terjadi ini.
Betapa tidak, setelah membajak sawah dan menyemai benih, perlu tiga hingga empat bulan sebelum padi bisa
dipanen. Selama masa menanti, para petani harus bisa berhemat, memendam banyak sekali keinginan demi kegembiraan yang terbayang mereka rasakan saat panen tiba.
Cita-cita dan mimpi indah inilah yang menjadi energi yang tak pernah habis bagi mereka untuk bertahan. Itu sebabnya, akan begitu berat saat semua letih dan pengorbanan ini pupus dalam sekejap. Padahal kemarin, semingguan lalu, semua masih biasa, baik-baik saja.
Sungguh, bagi petani, sekecil apa pun sawah yang mereka punya, sawah adalah kehidupan. Perjuangan mereka menjadi potret tentang panjangnya perjalanan sebulir nasi, yang kerap tersisa di piring makan kita, dan tanpa sadar juga terasa biasa. (arief permadi)
Beli Saja Semua Tanahnya
…selain posisi kampung yang memang berada jauh lebih rendah dari sungai, Cieunteung adalah satu di antara empat daerah penampungan air bagi Sungai Citarum di Kabupaten Bandung selain Citepus, Andir, dan Parunghalang. Ini berarti banjir tahunan selamanya memang akan menyergap di Cieunteung…
RELOKASI warga Kampung Cieunteung, Kelurahan/Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung sebenarnya pernah dilakukan pascabanjir tahun 1986-an silam. Saat itu, warga, khususnya yang tinggal di bantaran Sungai Citarum direlokasi ke Kelurahan Manggahang, di kecamatan yang sama. Sayang, relokasi yang sudah diupayakan dengan susah payah itu akhirnya gagal total. Warga kembali ke rumah mereka di Cieunteung.
Tahun 2007 ketika banjir lagi-lagi menyergap kawasan ini seperti di tahun-tahun sebelumnya, "perintah" relokasi juga kembali disuarakan Danny Setiawan, Gubernur Jabar, saat itu. Menurut Danny, relokasi adalah cara yang paling cepat untuk menghindarkan warga dari banjir tahunan. Normalisasi Citarum tak akan banyak membantu karena selain posisi kampung yang memang berada jauh lebih rendah dari sungai, Cieunteung adalah satu di antara empat daerah penampungan air bagi Sungai Citarum di Kabupaten Bandung selain Citepus, Andir, dan Parunghalang. Ini berarti banjir tahunan selamanya memang akan menyergap di Cieunteung. Dan, itu berarti pilihanya hanya dua: menyelaraskan hidup dengan terjangan banjir, atau sekali lagi harus mau direlokasi.
Namun, berkaca dari apa yang sudah terjadi di awal tahun 1990-an lalu, penyelarasan hidup dengan banjir dan lumpur tampaknya memang menjadi pilihan warga Cieunteung. Akan tetapi, tentu saja, pilihan itu bukan tanpa alasan.
Ketika direlokasi ke Manggahang tahun 1990-an silam, warga korban banjir ini masih memiliki tanah dan rumah di wilayah Cieunteung. Terlebih setelah banjir yang besar tahun 1986 itu, Cieunteung tak pernah lagi dilanda banjir yang besar hingga tahun 2005-an, saat hulu Citarum kembali rusak parah.
Dengan kondisi yang sudah serba telanjur seperti yang saat ini terjadi, relokasi harus kita akui menjadi hal yang sangat pelik kelihatannya. Perlu upaya yang luarbiasa jika pemerintah memang memilih ini sebagai opsi yang akan ditempuh. Hingga setidaknya diperlukan dua langkah yang harus segera direalisasikan untuk mewujudkannya.
Agar warga tak lagi pindah ke rumah lamanya setelah direlokasi, dana yang cukup harus disediakan pemerintah untuk membeli semua tanah dan rumah warga yang ada di Cieunteung dengan nilai yang cukup agar warga bisa membeli tanah dan rumah kembali di daerah yang dipilihnya. Kecuali total nominalnya yang mungkin cukup besar, langkah tersebut memiliki keuntungan ganda hingga layak untuk dipilih. Pertama, proses relokasi yang dilakukan akan menjadi sangat bermartabat. Kedua, pemerintah tak perlu pusing lagi memikirkan ke mana warga Cieunteung harus pindah karena mereka sudah dibekali uang yang cukup untuk memilih sendiri lokasi rumah yang akan dibelinya.
Pembelian rumah dan tanah di Kampung Cieunteung oleh pemerintah tersebut juga akan menjadi dasar yang kuat bagi pemda setempat untuk menegakkan peraturan di hari-hari berikutnya. Setelah rumah dan tanah Cieunteung milik negara tak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk tinggal di tempat ini. Dengan begitu tak ada lagi berita banjir di Cieunteung yang selalu menghias halaman muka surat kabar setiap kali musim hujan tiba. Sisi lainnya, pemerintah pun bisa lebih fokus menormalisasi kembali Sungai Citarum dari hulu ke hilirnya, seperti yang baru-baru ini kembali diniatkan Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan.
Sungguh, dibanding masalah relokasi PKL yang keterkaitannya bercabang ke mana-mana, relokasi warga Cieunteung sebenarnya tak begitu rumit. Jika sebuah rumah yang ada dipukul rata senilai Rp 150 juta saja, yang diperlukan hanya Rp 150 juta kali 533 kepala keluarga, yakni 79.950.000.000, atau sekitar 0,08 persen dari Rp 10 triliun yang dianggarkan untuk normalisasi Sungai Citarum.
Meski tak cukup besar, Rp 150 juta adalah harga yang cukup pantas, adil, dan manusiawi untuk penggantian rumah dan tanah warga. Termasuk mungkin untuk warga yang sudah tinggal di tempat lain namun tak juga menjual tanahnya di Cieunteung karena harganya kelewat turun.(arief permadi)
RELOKASI warga Kampung Cieunteung, Kelurahan/Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung sebenarnya pernah dilakukan pascabanjir tahun 1986-an silam. Saat itu, warga, khususnya yang tinggal di bantaran Sungai Citarum direlokasi ke Kelurahan Manggahang, di kecamatan yang sama. Sayang, relokasi yang sudah diupayakan dengan susah payah itu akhirnya gagal total. Warga kembali ke rumah mereka di Cieunteung.
Tahun 2007 ketika banjir lagi-lagi menyergap kawasan ini seperti di tahun-tahun sebelumnya, "perintah" relokasi juga kembali disuarakan Danny Setiawan, Gubernur Jabar, saat itu. Menurut Danny, relokasi adalah cara yang paling cepat untuk menghindarkan warga dari banjir tahunan. Normalisasi Citarum tak akan banyak membantu karena selain posisi kampung yang memang berada jauh lebih rendah dari sungai, Cieunteung adalah satu di antara empat daerah penampungan air bagi Sungai Citarum di Kabupaten Bandung selain Citepus, Andir, dan Parunghalang. Ini berarti banjir tahunan selamanya memang akan menyergap di Cieunteung. Dan, itu berarti pilihanya hanya dua: menyelaraskan hidup dengan terjangan banjir, atau sekali lagi harus mau direlokasi.
Namun, berkaca dari apa yang sudah terjadi di awal tahun 1990-an lalu, penyelarasan hidup dengan banjir dan lumpur tampaknya memang menjadi pilihan warga Cieunteung. Akan tetapi, tentu saja, pilihan itu bukan tanpa alasan.
Ketika direlokasi ke Manggahang tahun 1990-an silam, warga korban banjir ini masih memiliki tanah dan rumah di wilayah Cieunteung. Terlebih setelah banjir yang besar tahun 1986 itu, Cieunteung tak pernah lagi dilanda banjir yang besar hingga tahun 2005-an, saat hulu Citarum kembali rusak parah.
Dengan kondisi yang sudah serba telanjur seperti yang saat ini terjadi, relokasi harus kita akui menjadi hal yang sangat pelik kelihatannya. Perlu upaya yang luarbiasa jika pemerintah memang memilih ini sebagai opsi yang akan ditempuh. Hingga setidaknya diperlukan dua langkah yang harus segera direalisasikan untuk mewujudkannya.
Agar warga tak lagi pindah ke rumah lamanya setelah direlokasi, dana yang cukup harus disediakan pemerintah untuk membeli semua tanah dan rumah warga yang ada di Cieunteung dengan nilai yang cukup agar warga bisa membeli tanah dan rumah kembali di daerah yang dipilihnya. Kecuali total nominalnya yang mungkin cukup besar, langkah tersebut memiliki keuntungan ganda hingga layak untuk dipilih. Pertama, proses relokasi yang dilakukan akan menjadi sangat bermartabat. Kedua, pemerintah tak perlu pusing lagi memikirkan ke mana warga Cieunteung harus pindah karena mereka sudah dibekali uang yang cukup untuk memilih sendiri lokasi rumah yang akan dibelinya.
Pembelian rumah dan tanah di Kampung Cieunteung oleh pemerintah tersebut juga akan menjadi dasar yang kuat bagi pemda setempat untuk menegakkan peraturan di hari-hari berikutnya. Setelah rumah dan tanah Cieunteung milik negara tak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk tinggal di tempat ini. Dengan begitu tak ada lagi berita banjir di Cieunteung yang selalu menghias halaman muka surat kabar setiap kali musim hujan tiba. Sisi lainnya, pemerintah pun bisa lebih fokus menormalisasi kembali Sungai Citarum dari hulu ke hilirnya, seperti yang baru-baru ini kembali diniatkan Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan.
Sungguh, dibanding masalah relokasi PKL yang keterkaitannya bercabang ke mana-mana, relokasi warga Cieunteung sebenarnya tak begitu rumit. Jika sebuah rumah yang ada dipukul rata senilai Rp 150 juta saja, yang diperlukan hanya Rp 150 juta kali 533 kepala keluarga, yakni 79.950.000.000, atau sekitar 0,08 persen dari Rp 10 triliun yang dianggarkan untuk normalisasi Sungai Citarum.
Meski tak cukup besar, Rp 150 juta adalah harga yang cukup pantas, adil, dan manusiawi untuk penggantian rumah dan tanah warga. Termasuk mungkin untuk warga yang sudah tinggal di tempat lain namun tak juga menjual tanahnya di Cieunteung karena harganya kelewat turun.(arief permadi)
Langganan:
Postingan (Atom)