Seandainya pernah kita menatap mata kosong petani saat melihat pucuk-pucuk padinya layu di sawahnya yang terendam, maka sungguh akan kita rasakan betapa beratnya apa yang terjadi ini.
HUJAN dan banjir besar seolah menjadi kata yang saling terkait akhir-akhir ini. Bencana rutin, begitu orang menyebutnya. Banjir yang selalu datang setiap tahun, di tempat yang sama setiap kali musim hujan tiba. Dan, seperti di tahun-tahun sebelumnya, sejumlah wilayah di Kota dan Kabupaten Bandung juga dilanda banjir di musim penghujan tahun ini.
Di sebagian Rancaekek, Cieunteung, Gedebage, dan Panyileukan banjir seolah menjadi bagian dari hidup warganya. Ruas jalan protokol di depan Gedebage, Kota Bandung, bahkan berubah menjadi sungai setiap hujan turun deras.
Berbagai penanganan, seperti biasa juga dilakukan di lokasi-lokasi "basah" ini. Di titik-titik banjir yang parah seperti di Cieunteung, Kabupaten Bandung, posko-posko darurat jadi pemandangan tahunan. Perahu-perahu karet dalam jumlah terbatas dikirim untuk distribusi bantuan serta evakuasi warga.
Berbagai surat kabar harian juga "menghias" halaman korannya dengan kisah-kisah banjir. Di awal-awal musim, beritanya biasanya cukup besar. Tapi, tak lama, berita banjir diam-diam mengecil dan dimuat terpencil, itu pun di halaman dalam. Toh, tahun lalu juga begitu. Apa yang baru? Cieunteung banjir tak aneh, itu bukan berita.
Sikap pemerintah yang cenderung reaktif selama ini juga jadi cerminan tentang bagaimana persoalan banjir tahunan ini telah dianggap hal biasa hingga penanganannya pun biasa saja: evakuasi warga, beri bantuan, dirikan posko-posko. Padahal, justru karena banjir ini telah menjadi biasa penanganannya seharusnya luar biasa. Tak cuma terencana matang, tapi terintegrasi, berkesinambungan, dan melibatkan semua unsur dengan pasokan dana yang sebisa mungkin dianggarkan secara pantas dan menjadi prioritas.
Bagi yang hidup di daerah kering, derita warga di lokasi banjir mungkin tak terlalu terasa karena di musim hujan yang parah sekalipun ranjang dan lantai kita selalu kering, bersih, dan wangi.
Hujan membuat banjir mungkin baru terasa dan disadari saat jalan-jalan yang akan kita lalui tergenang. Saat gambar mereka menyelamatkan barangnya di antara banjir terlihat di koran-koran pagi, di layar kaca sore hari. Tapi, empati cuma sesaat. Setelah itu lupa, banjir sudah biasa.
Dalam hitung-hitungan statistik, dampak banjir terhadap tanaman padi secara nasional sebenarnya juga tak perlu begitu dicemaskan. Pertama, karena areal sawah yang terkena banjir ataupun tanaman padi yang dinyatakan puso masih begitu kecil dibanding dengan areal tanam secara nasional yang rata-rata mencapai 12 juta ha/tahun. Kedua, karena jumlah areal yang terendam (34.220 ha) dan puso (8.577 ha) di musih hujan tahun ini masih terpaut jauh dengan angka rata-rata per lima tahunan (85.665 ha terkena banjir, 28.084 puso) maupun dengan angka pada periode yang sama tahun sebelumnya (129.212 ha terendam, 24.128 ha puso).
Di Jabar, dari total 4.219 ha sawah terkena banjir (per 20 Januari), areal yang dinyatakan puso mencapai
277 ha. Jumlah itu dipastikan bertambah karena berdasar catatan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kab Bandung, akibat banjir dua pekan lalu sebanyak 168 ha sawah di Majalaya (15 ha), Rancaekek (64 ha), Ibun (16 ha), Cikancung (36 ha), dan Paseh (37 ha) sudah dipastikan puso. Ini belum terhitung lahan di delapan kecamatan yang hingga kini masih terendam banjir, yakni Ciparay (38 ha), Majalaya (42 ha), Rancaekek (209 ha), Ibun (16 ha), Baleendah (23 ha), Cikancung (64 ha), Paseh (188 ha), dan Cileunyi (65 ha). Akan tetapi, sekali lagi, bahwa secara statistik, dampak banjir di musim hujan di tahun ini belum begitu besar, kecuali kita juga memahaminya dari kaca mata petani.
Seandainya pernah kita menatap mata kosong petani saat melihat pucuk-pucuk padinya layu di sawahnya yang terendam, maka sungguh akan kita rasakan betapa beratnya apa yang terjadi ini.
Betapa tidak, setelah membajak sawah dan menyemai benih, perlu tiga hingga empat bulan sebelum padi bisa
dipanen. Selama masa menanti, para petani harus bisa berhemat, memendam banyak sekali keinginan demi kegembiraan yang terbayang mereka rasakan saat panen tiba.
Cita-cita dan mimpi indah inilah yang menjadi energi yang tak pernah habis bagi mereka untuk bertahan. Itu sebabnya, akan begitu berat saat semua letih dan pengorbanan ini pupus dalam sekejap. Padahal kemarin, semingguan lalu, semua masih biasa, baik-baik saja.
Sungguh, bagi petani, sekecil apa pun sawah yang mereka punya, sawah adalah kehidupan. Perjuangan mereka menjadi potret tentang panjangnya perjalanan sebulir nasi, yang kerap tersisa di piring makan kita, dan tanpa sadar juga terasa biasa. (arief permadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar