Bagi para aparatur negara, tragedi di Tanjung Priok jelas harus menjadi sebuah pelajaran. Sebab seragam kini tak angker lagi, rasa hormat terkikis, dan orang mulai tak segan.
GESEKAN berujung kekerasan antara aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan masyarakat bukan hal baru di negeri ini.
Jauh, ketika satuan ini masih bernama Tibum (Ketertiban Umum), yang kemudian berganti Trantib seperti yang ada di DKI Jakarta, gesekan seperti itu juga sudah terasa. Posisinya sebagai garda terdepan "pengaman" kebijakan daerah membuat itu tak terhindarkan.
Dalam sejumlah kasusnya, gesekan berakhir manis di mana kedua pihak akhirnya menerima hingga penertiban berlangsung lancar. Tapi dalam banyak lainnya, gesekan berbuah rusuh. Menelan korban jiwa seperti apa yang akhirnya terjadi saat rusuh meletus di kawasan makam Mbah Priuk, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (14/4).
Untuk kesekian kali di mana upaya penertiban yang dilakukan aparat Satpol PP berbuah duka. Sementara kita yang jauh dari lokasi hanya bisa terpana, sulit percaya bahwa warga yang santun itu ternyata bisa mendadak jadi beringas, gelap mata, dan haus darah. Tercatat tiga anggota Satpol PP tewas, 146 lainnya terluka di mana 69 di antaranya adalah anggota Satpol PP.
Seperti dikatakan Presiden, rusuh di Tanjung Priok ini sebenarnya tak harus terjadi jika sedari awal permasalahan yang ada diselesaikan secara baik. Tujuan-tujuan baik, kata Presiden, tak selamanya berujung baik. Terlebih ketika cara yang dilakukan tak dipikirkan matang, melainkan dipaksakan.
Pada kasus di Priok, jelas sekali apa yang dilakukan Satpol bahkan tak cuma dipaksakan, tapi juga serampangan.
Sehari sebelum rusuh terjadi warga setempat sudah bersiap-siap. Tapi Satpol tetap merangsek karena hingga di hari kerusuhan, tak ada perintah bagi mereka untuk membatalkan penertiban. Padahal, jika melihat kondisinya, perlawanan warga yang luar biasa ini seharusnya terduga karena tempat yang akan ditertibkan itu bukan tempat biasa, melainkan tempat dengan nuansa spiritual yang tinggi, yang dikeramatkan. Semangat warga akan otomatis bergeser: Tak cuma soal sengketa tanah, tapi soal agama, soal memerangi yang bathil, berjihad di mana mati adalah syahid.
Bahwa dalam perkembangannya rusuh meluas dan melibatkan warga lainnya di luar yang tinggal di Jakarta Utara, ini pun bisa kita pahami karena sekali lagi, citra buruk kadung menempel di tubuh Satpol PP. Gejolak yang luar biasa kemarin seolah menjadi letusan kemarahan yang selama ini terpendam. Dampak akumulatif yang seharusnya sedari awal sudah dihitung kemungkinannya.
Akan tetapi, tentu saja, adalah juga tak adil ketika semua kesalahan tersebut lalu kita timpakan kepada Satpol PP. Sebab, sekalipun benar bahwa pada beberapa sisinya ada banyak tindakan anggota Satpol PP ini yang jelas melanggar, tapi secara keseluruhan Satpol PP hanyalah alat yang cuma bekerja berdasar perintah, dalam hal ini dari kepala daerah.
Itu sebabnya, pembubaran satuan seperti yang langsung kembali mengemuka saat tragedi Priok terjadi, bukanlah penyelesaian karena masalah ini jelas tak berdiri sendiri. Adanya persengketaan tanah seperti yang terjadi di Priok adalah satu dari sekian banyak rantai akibat atas karut-marutnya sistem administrasi yang sudah terjadi puluhan tahun silam. Dampak warisan dari semua perkeliruan pejabat terdahulu, ketika demokrasi belum sebaik sekarang di negeri ini.
Itu sebabnya, apa pun yang kemudian baru terasa masalahnya di waktu sekarang, hendaknya diselesaikan secara arif, tak melulu hitam putih. Apalagi mengedepankan sikap represif.
Bagi para aparatur negara, tragedi di Tanjung Priok jelas harus menjadi sebuah pelajaran. Sebab seragam kini tak angker lagi, rasa hormat terkikis, dan orang mulai tak segan.
Hati-hatilah dalam bersikap dan bertindak. Rusuh berdarah seperti di Priok, bisa saja terjadi di tempat lain, termasuk di Jawa Barat yang selama ini dikenal sangat kondusif. (arief permadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar