Senin, 04 Oktober 2010

Seharusnya Bisa Lebih Berhemat

PERCAYA atau tidak, hampir 60 persen dari seluruh penghasilan kita dalam sebulan, sebenarnya telah diambil oleh negara tanpa kita sadari. Tak perlu hitung-hitungan rumit untuk menyetujui bahwa pernyataan tersebut masuk di akal. Cukup dengan menjawab pertanyaan berikut: hal apa saja selain bernapas, yang dapat kita lakukan tanpa harus membayarnya pada negara?

Jika Anda dapat segera menyebutkan lima saja di antaranya dalam waktu kurang dari semenit sejak pertanyaan tersebut selesai Anda baca, angka 60 persen di atas, mungkin dengan segera harus kita koreksi. Sebagai bandingan, jawab pula pertanyaan sejenis akan tetapi topiknya sebaliknya: pajak apa saja yang harus selalu kita bayar kepada negara, setiap harinya, setiap bulannya, setiap tahunnya?

Seumur hidup, kita memang bekerja untuk negara. Pakaian yang kita pakai, air yang kita minum, beras yang kita makan, listrik yang kita nikmati, susu untuk anak-anak kita, semua dikenai pajak. Daftar semua hal yang kena pajak mungkin akan mencapai berlembar-lembar halaman buku harian kita. Negara bahkan telah memotong penghasilan rakyatnya sebelum mereka sendiri bisa menikmatinya.

Kita, tak pernah sekalipun mengeluh dengan kondisi yang telah kita alami itu, karena selain memang tak bisa berbuat banyak untuk mengubahnya, kita pun telah biasa hingga semua tak lagi terasa sebagai beban, tapi kebiasaan.

Kebiasaan membayar pajak sendiri, tentu bukan kebiasaan buruk. Jalan-jalan negara, aneka infrastuktur, para aparat yang menjalankan pemerintahan, termasuk para aparat hukum dibiayai dengan pajak yang kita bayar. Negara ini terus berdiri karena ketaatan rakyatnya membayar pajak.

Rakyat yang membayar pajak, juga bukan cuma rakyat yang secara finansial tajir, hidup di rumah-rumah mewah, dengan bidang usaha yang seperti gurita. Rakyat yang hidup miskin, tak memiliki pekerjaan tetap, bahkan anak-anak jalanan juga tak luput dari kewajiban itu. Sedikitnya mereka juga ikut menyumbang untuk pembangunan negara.

Karena itu, ketika roda pemerintahan tak dijalankan secara benar, pelayanan publik tersendat, atau ketika uang negara sengaja dikorup, dipakai untuk sesuatu yang tidak- tidak demi kesenangan pribadi, rakyat di negeri ini seharusnya murka. Sebab, mereka itulah, sesungguhnya, para penjahat yang harus diburu!

Belum lama ini kita mendengar, tak kurang dari Rp 170 miliar yang dihabiskan legislatif di tingkat pusat untuk biaya perjalanan dinas mereka ke luar negeri. Judul kunjunganya sendiri sangat beragam. Namun, hampir sebagian besar bertajuk studi banding.

Saat kunjungan ke luar negeri tersebut, selain semuanya serba dibayari negara, uang saku para anggota dewan selama di sana, juga dibiayai dari uang negara. Uang satu untuk satu harinya antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Belum termasuk uang representasi Rp 20 juta. Padahal, pada setiap studi banding ke luar negeri yang ikut biasanya berjumlah belasan. Jika lama studi banding tersebut satu minggu saja, bayangkan saja, berapa uang yang diperoleh dari tetesan rakyat itu mereka habiskan.

Akan tetapi, bukan cuma DPR yang memanfaatkan uang rakyat untuk aneka perjalanan dinas mereka ke luar negeri ini. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mencatat, jumlah yang dihabiskan para pejabat negara, mulai dari presiden, 13 kementerian atau lembaga, dan DPR di tahun ini mencapai Rp 19,5 triliun. Sementara jaminan kesehatan masyarakat, hanya seperempatnya, sekitar Rp 4,5 triliun per tahun.

Padahal, sekali lagi, itu semua uang yang kita semua kumpulkan setiap harinya dengan tetesan keringat. Seharusnya, mereka bisa lebih berhemat. (arief permadi)

Tidak ada komentar: