Sabtu, 20 Juni 2020

Demassafikasi Media Pers Dakwah

ADA paling tidak empat hal yang menentukan berhasil-tidaknya penyampaian pesan dakwah di media massa. Selain konten dakwah itu sendiri, kemasan, pemilihan jenis media, dan kesesuaiannya dengan objek dakwah yang disasar juga sangat berpengaruh. Tulisan ini akan membahas lebih dalam mengenai konten dalam kaitannya dengan manajemen media dan manajemen pers dakwah. Kita akan mulai dari fenomena demassafikasi.
 

Sekalipun objek dakwah dan pesan yang didakwahkan sejatinya tidak pernah berubah, sepanjang sejarah, dakwah selalu punya tantangan tersendiri. Ini karena perilaku manusia dan lingkungannya senantiasa dinamis. Ini pula yang membuat kajian-kajian dakwah menjadi nyaris tak terbatas. 

Selalu saja ada persoalan baru yang menarik untuk dibahas, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Dari persoalan-persoalan yang pelik dan berat yang memerlukan penelaahan dan pembahasan yang mendalam, hingga persoalan-persoalan sederhana dan terkini yang terjadi dan kerap dihadapi masyarakat sehari-hari. 

Konten tentang fiqh muamalah, misalnya. Berkembang sangat pesat dan menjadi sangat berangam dengan topik-topik yang semakin spesifik seiring dengan terus berkembangnya teknologi. Hal-hal yang dulu tak ada, seperti jual beli online atau layanan-layanan keuangan digital yang mempermudah pengguna untuk bertransaksi di merchant, hari-hari ini menjadi topik yang kerap dibahas. 

Kondisi ini pada akhirnya juga mempengaruhi manajemen konten media. Isi media mulai ditujukan untuk segmen yang lebih sempit namun diyakini masih besar jumlahnya. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai fenomena demassafikasi (sebagian ahli juga menyebutnya demasifikasi). 

Untuk menjaga "basis pasarnya" media pun pada akhirnya memilih topik yang lebih spesifik ketimbang sebelumnya. Jika dulu, bidang ekonomi, kriminal, hukum, fesyen, atau agama, sudah dianggap sebagai topik-topik yang spesifik , hari-hari ini topik-topik itu sudah dianggap umum, dan tidak tepat lagi untuk dipergunakan dalam meraih segmen-segmen yang khusus. 

Media ekonomi, misalnya, kini mulai mengerucutkan segmentasi mereka dengan konten yang lebih mikro seperti financial technology, saham, riba, dan sebagainya. Media kriminalitas dan hukum mengerucutkan konten ke topik yang lebih khusus seperti kriminalitas ekonomi di dunia siber. Fesyen juga menyempit menjadi topik-topik yang lebih khusus seperti fesyen remaja milenial, fesyen akhir, tahun, atau unsur-unsur fesyen yang lebih mikro lagi seperti tren sepatu, rambut, bahkan alis mata. Ini semata untuk menjaring segmen-segmen yang lebih khusus.

Pola demassafikasi yang menjadi kecenderungan media hari-hari ini, belakangan juga terjadi pada media-media massa Islam. Media, kecuali media-media tertentu yang sudah mapan, cenderung memilih topik tertentu untuk meraih segmentasi pasarnya. Ada yang khusus membahas soal waris beserta segala seluk beluknya, transaksi-transaksi jual-beli di era siber lengkap dengan tinjauan syariah dan kisah-kisah menarik di sekitarnya, atau khusus soal perkawinan sesuai syariah berikut beragam permasalahan serta solusi-solusi yang ditawarkan. 

Kecenderungan demassafikasi media, terutama mulai lebih terasa di media-media daring (dalam jaringan). Kecenderungan ini membuat struktur organisasi media pada umumnya menjadi jauh lebih ramping. Bagian redaksi tak lagi diisi oleh terlalu banyak redaktur atau wartawan. Dalam kondisi ekstrem, pekerjaan redaksi, mulai dari merencanakan topik, meliput, membuat berita, menyunting, hingga pekerjaan mem-publish konten bahkan dikerjakan oleh satu orang saja. 

Seiring kecanggihan teknologi dan tuntutan situasi, hal-hal terkait kegiatan bisnis perusahaan, juga dimungkinkan dilakukan oleh orang yang sama, sekalipun hal itu tentu saja bukan kondisi yang ideal. 

Dari sisi bisnis, demassafikasi jelas sangat menguntungkan. Semakin sedikit tenaga yang dipekerjakan, tentu juga berarti semakin sedikit cost yang dikeluarhan. Sedikitnya tenaga kerja juga memperkecil risiko konflik, dan dengan kecilnya risiko konflik, semakin kecil pula kemungkinan terjadinya sengketa atau perselisihan antara bawahan dengan atasan di perusahaan, terlebih ketika rekrutmen karyawan dilakukan dengan sistem kontrak atau outsosrcing. 

Kembali ke soal demassafikasi, selain sangat menentukan sampai atau tidaknya pesan pada masyarakat, demassafikasi pada saatnya juga berpengaruh pada kelangsungan hidup perusahaan media, terutama dari sisi finansial. Para pemasang iklan umumnya menyambut baik kecenderungan demassafikasi ini. Adanya  demassafikasi membuat mereka dapat dengan mudah melihat segmentasi media dan menyesuaikannya dengan kelompok konsumen yang mereka sasar. 

Hari-hari di mana teknologi informasi semakin canggih sehingga beragam informasi berseliweran bebas di media sosial, demassafikasi menjadi keniscayaan. Demassafikasi menjadi salah satu upaya media untuk bertahan dan memenangi persaingan, termasuk untuk media-media pers Islam. (*)

Tidak ada komentar: