Rabu, 29 Oktober 2014

Selter Paratag

PENGHUJUNG Oktober. Hujan terlambat datang di bagian timur Bandung. Pucuk-pucuk daun, dan atap rumah penuh dengan debu. Cuaca panas sekali meski baru pukul sembilan pagi.

Musim panen sudah usai sejak dua bulanan lalu. Selter kopi di Kampung Paratag tak lagi ramai. Hanya Mang Jaka yang masih setiap hari datang merawat tiga ribuan bibit kopi usia satu bulanan yang rencananya akan ditanam saat musim hujan tiba.

Di ketinggian 1.200 meteran di bawah permukaan laut (mdpl), Desa Melatiwangi, tempat selter Paratag berada, hanya berjarak 20 menitan dari Alun-alun Ujungberung, Kota Bandung. Tapi, itu juga tergantung siapa yang berada di balik kemudi. Memakai sepeda motor trail, selter ini bahkan bisa ditempuh kurang dari sepuluh menit.

"Ke kebun masih harus ke atas lagi. Hanya beberapa menit, tergantung siapa yang nyetir," ujar Don Yadi (43) renyah. Don adalah pengurus Klasik Beans, koperasi para petani yang mengelola selter kopi di Paratag ini.

Don bercerita, perkebunan kopi di kawasan ini membentang hingga jauh ke Bukit Tunggul, Cibodas, Lembang.  "Sebagian di antaranya, kami yang mengelola," kata Yadi.

Di antara sejumlah selter kopi yang dikelola oleh Koperasi Klasik Beans, selter Paratag di Bandung Timur adalah yang paling bontot. Selter ini belum setahun berdiri.

"Kami membangunnya awal tahun lalu," ujar Yadi.


Seperti selter-selter kopi lainnya yang dikelola Klasik Beans, selter kopi Paratag juga sangat asri. Bahan bangunan didominasi bambu. Di selter ini, Yadi bahkan melengkapinya dengan gazebo cantik, kolam ikan, dan fasilitas TV kabel.

"Biar ada hiburan. Di sini sepi sekali kalau malam," cetusnya.
 

Jika tak ada Mang Jaka, Yadi hanya ditemani Meri, anjing kampung lucu yang selalu menggoyang-goyangkan ekornya dan melompat-lompat jika Yadi datang. Dani Banon, petani lainnya, belakangan juga kerap mengisi kegembiraan di selter ini. Sayang, waktu kami berkunjung, ia sedang ke kota.

Sekalipun berada di antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, secara administratif, Kecamatan Cilengkrang berada di wilayah Kabupaten Bandung. Ini mendatangkan kesulitan tersendiri bagi warga di sana. Untuk mengurus surat-surat dan administrasi kependudukan, warga harus ke Soreang, nun jauh di sana, di Bandung Selatan. Padahal, ketimbang ke Soreang, jarak ke pusat pemerintahan Kota Bandung jauh lebih dekat.

 Hal serupa juga terjadi di wilayah-wilayah Kabupaten Bandung lainnya yang ada di timur. Tak heran, riak-riak keinginan pemekaran wilayah juga kerap terdengar, meski seringnya samar-samar.


                                                                     ***

Dari selter, perjalanan ke kebun kopi hanya ditempuh dalam waktu sekitar 15 atau 20 menitan. Andai saja jalannya bagus, waktu tempuh pasti lebih cepat. Selain terjal, jalan tanah menuju kebun juga berliku, penuh lubang dan batu.

Tapi, bagi Yadi, ini pekarangan rumahnya. Ia tertawa-tawa saja meski tubuh gempalnya berguncang-guncang di balik kemudi. "Di sebelah sana jalannya rata. Tenang saja," kata Yadi seraya melambaikan tangan pada orang-orang di tepi jalan yang berterak menyapanya.

Benar saja, tak lama setelah lepas dari jalan berliku di antara rimbunnya hutan, kondisi jalan membaik, sekalipun belum bagus-bagus amat. "Ini Perhutani yang bikin," ujarnya.

Seperti di sebagian besar kebun-kebun kopi lainnya yang dikelola Klasik Beans di Jawa barat, kebun kopi di Bandung Timur juga berada di lahan milik Perhutani. Pengelolaan dilakukan berdasar perjanjian bagi hasil yang disepakati. "Perhutani mendapatkan 20 persen dari keuntungan," ujarnya.

Meski Klasik Beans baru mengelolanya sejak beberapa tahun lalu, perkebunan kopi di kawasan Bandung Timur ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Belanda dulu. Itu sebabnya, sejak lama, orang juga mengenal kawasan ini dengan nama Baru Kopi. Sayang, karena serangan penyakit, perkebunan kopi ini ditutup dan diganti dengan tanaman teh.

"Setelah kemerdekaan, Perhutani menanaminya dengan tanaman pinus. Kini, di antara tanaman pinus, kami tanami lagi pohon-pohon kopi," kata Yadi.

Ada ribuan pohon kopi yang telah dipanen Yadi bersama teman-temannya di kawasan ini. Sepanjang jalan, bekas-bekasnya masih terlihat. Saat kami lewat, untaian cantik ceri merah masih sekali-kali menyembul malu-malu di antara daun.

"Itu buah-buah kopi yang tak terpetik saat panen lalu. Jika musim panen tiba, buah-buah kopi itu akan memenuhi dahannya. Dahan jadi seperti berwarna merah, menjuntai karena dipenuhi ceri," sebut Yadi. Dalam hati, saya menyesal, kenapa dua bulanan lalu tak bisa memenuhi ajakannya ikut memanen kopi.

"Semua hasil panen akan diproses di selter sebelum kemudian dibawa ke gudang penyimpanan," katanya. Sekalipun panen telah usai, kata Yadi, pekerjaan jauh dari kata selesai. Setelah memroses hasil panen dan mengirimnya ke gudang, mereka kembali mempersiapkan penanaman mulai dari menyemai benih, merawat, menanam, dan menjaganya hingga musim panen kembali tiba. Semua mereka lakukan dengan tulus dan penuh cinta.

"Tahun depan, kami panen lagi. Jangan lupa datang. Ajak keluarga," cetus Yadi saat kami berpisah di Alun-alun Ujungberung. ***

1 komentar:

vimax di makassar mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.