HYPOTHENEMUS hampei, bukan nama yang asing bagi para petani kopi. Serangga kecil berwarna hitam kecokelat-cokelatan ini masuk dalam famili Scolitydae, ordo Coleoptera. Para petani juga mengenalnya dengan nama broca, atau serangga penggerek buah.
Karena ukurannya yang teramat kecil, sebagian petani juga menyebutnya dengan sebutan kutu kopi. Ukuran jantan dewasa paling hanya 1,3 milimeter. Sementara betina dewasa, hanya sekitar 2 milimeter.
Meski ukurannya kira-kira hanya sebesar pentul korek api, Hypothenemus hampei adalah hantu bagi para petani kopi. Kedatangannya berarti bencana, duka berkepanjangan, dan hancurnya mimpi-mimpi. Sebab, dibanding hama-hama lainnya yang kerap melanda perkebunan kopi, Hypothenemus hampei, memang, yang paling dahsyat.
Pada umumnya, Hypothenemus hampei menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras. Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras ini akan membuat produksi "terjun bebas", mutu kopi menurun, dan harganya anjlok karena biji berlubang.
Namun buah yang bijinya belum mengeras pun, tidak jarang mendapat serangan. Tapi, buah kopi yang bijinya lunak ini umumnya hanya digerek sebagai bahan makanan, lalu ditinggalkan. Buah muda yang telah terserang tentu tak akan berkembang, menjadi kuning kemerahan, dan akhirnya gugur. Tapi, bukan karena itu serangan Hypothenemus hampei menjadi begitu menakutkan.
Serangan Hypothenemus hampei menjadi begitu menakutkan karena siklusnya yang luar biasa. Seekor kumbang betina dewasa yang masuk ke biji kopi dapat bertelur antara 30 hingga 60 butir setiap kalinya. Hanya butuh waktu 5 hingga 9 hari bagi telur-telur itu untuk menetas menjadi larva, untuk kemudian menjadi dewasa dan siap bereproduksi, 3-4 mingguan berikutnya. Hewan-hewan ini bahkan melakukan perkawinannya di dalam biji, tempat induk mereka dulu bersarang dan meletakkan telur-telurnya.
Yang juga patut dijadikan catatan adalah perbandingan Hypothenemus hampei jantan dan betina yang pada umumnya 1 berbanding sepuluh. Namun, usia jantan yang lebih singkat (maksimal 103 hari) dibanding betina (rata-rata 156 hari) membuat perbandingan tersebut bisa berubah tajam. Pada puncak perkembangannya perbandingan jantan dan betina ini bahkan bisa begitu besarnya. Perbandingannya bisa mencapai 1 berbanding 500.
Padahal, berbeda dengan Hypothenemus hampei jantan yang tak bisa terbang, Hypothenemus hampei betina mampu terbang hingga sejauh ratusan meter. Karena itu, setelah kawin, Hypothenemus hampei betina akan terbang menuju buah kopi lainnya, membuat lubang dan meletakkan telur-telurnya. Serangan meluas dan akan terus menerus meluas.
Yang juga luarbiasa adalah perkembangbiakan terbaik Hypothenemus hampei yang terjadi justru pada buah kopi setelah pemetikan. Dalam kondisi terbaik itu, dapat ditemukan sampai 75 ekor Hypothenemus hampei untuk setiap bijinya. Kumbang ini bahkan diperkirakan dapat bertahan hidup selama sekitar satu tahunan pada biji kopi kering yang disimpan di dalam sebuah kontainer yang tertutup.
Dengan siklus hidupnya yang menakjubkan ini, Hypothenemus hampei menjadi hama yang sulit sekali diberantas karena terbukti, biji kering di tempat yang tertutup rapat pun tak menghalangi kumbang ini meneruskan hidupnya. Satu saja pohon kopi terkena, maka satu perkebunan bisa terancam. Seperti yang pernah terjadi di Lintongnihuta, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu, atau di Pulau Jawa tahun 1926 silam, di mana produksi kopi menurun hingga lebih dari separuhnya.
***
Wabah korupsi di negeri ini sekarang, juga tak ubahnya Hypothenemus hampei di hamparan perkebunan kopi yang sangat luas. Di negeri ini korupsi sudah berevolusi dari cara-cara yang sangat sederhana, konservatif, dan ortodoks, menjadi sistematis, canggih, atau extra ordinary crime. Pemberantasan menjadi begitu sulitnya, bahkan seolah-olah tak mungkin. Kecuali memangkasnya habis, dan tentu saja tak akan pernah mudah.
Hingga semester pertama tahun 2012 saja, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 285 kasus korupsi di Indonesia sudah merugikan negara sebesar Rp 1,22 triliun. Itu belum termasuk yang kecil-kecil, yang karena terlalu biasanya sudah tak dianggap lagi sebagai korupsi hingga tak tercatat.
Negeri yang indah ini sedang sakit parah. Kita harus peduli. (*)
Tribun Jabar, 19 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar