ADA kesulitan yang umum terjadi di kalawan wartawan pemula. Kesulitan terjadi ketika data yang dikumpulkan wartawan ternyata teramat banyak hingga ia tak mampu lagi memilih dari mana harus memulai menulis.
Sesungguhnya, ada cara sederhana untuk mengatasi hal tersebut. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat klasifikasi topik dari semua informasi yang diperoleh.
Langkah berikutnya adalah mengelompokkan topik-topik yang masih berkaitan dalam satu kelompok.
Langkah ketiga, memilih topik-topik yang sudah dikelompokkan tadi berdasar skala kemenarikan bagi pembaca. Topik yang paling menarik ditempatkan pada urutan teratas,
Ambil contoh, ada dua atau tiga kelompok topik yang menurut Anda paling menarik. Yang harus Anda lakukan adalah memilih salah satunya, dan menyimpan dua kelompok topik lainnya sebagai "amunisi".
Setelah sebuah kelompok topik yang paling menarik terpilih, mulailah melakukan proses yang sama, yakni memilih informasi atau pernyataan yang mana saja yang paling memiliki daya jual. Tulislah paling tidak lima hal yang paling menarik. Pilih yang paling menarik, dan mulailah menulis dari sudut tersebut.
Akan tetapi, sekalipun teknik ini sudah dilakukan, dan Anda sudah berhasil membuat sebuah tulisan, kerap masih saja ada satu atau dua informasi menarik yang Anda kesulitan untuk memasukkannya dalam tulisan Anda yang pertama.
Sekali lagi, tak perlu memaksakan diri. Jadikan informasi menarik yang belum tertulis itu sebagai bahan untuk menulis berita baru yang terkait dengan berita sebelumnya. Di dalam dunia jurnalistik, ini dikenal dengan sebutan anak berita. Dan namanya juga anak, tentu bisa tak cuma satu, tapi dua, tiga atau empat.
Saat menulis anak berita inilah biasanya kelompok topik yang pada awal tadi Anda simpan sebagai "amunisi" menemukan jalurnya. Jika ini terjadi, jangan ragu untuk menuliskannya. Yakinlah bahwa Anda sudah berada pada jalan yang tepat.
Sejumlah topik menarik sebenarnya juga dapat Anda simpan untuk suatu saat Anda buat dalam bentuk feature, atau tulisan khas yang lebih mengutamakan unsur human interest, dan tak terlalu terikat oleh waktu penayangan.
Jika ini akan Anda lakukan sebaiknya lakukan eksplorasi yang lebih mendalam saat melakukan peliputan. Ini berarti, Anda memang harus sudah memiliki rencana bagaimana semua informasi yang Anda kumpulkan itu akan Anda tulis sejak Anda masih berada di lapangan. (arief permadi)
Kamis, 04 Desember 2008
Selasa, 02 Desember 2008
Lingkaran Nara Sumber di Kepolisian
ADA yang khas dalam lingkaran nara sumber di institusi kepolisian. Wartawan yang terbiasa meliput kasus-kasus kriminal pasti tahu betul. Kekhasan terletak pada penyebutan nama nara sumber secara berjenjang, di mana petugas yang menjadi nara sumber utama kerap disebut belakangan.
Kalimat berikut adalah contoh dari kekhasan yang dimaksud.
Kapolres Bandung Barat AKBP Pratikno didampingi Kasatreskrim AKP Reynold EP Hutagalung mengatakan....
Dalam pemberitaan kasus-kasus kriminal, kata didampingi seringkali bukanlah didampingi dalam pengertian yang sesungguhnya, melainkan hanya sebuah kiasan. Sebab, sangat boleh jadi yang memberikan pernyataan adalah Kasatreskrim. Penyertaan nama Kapolres dan kata didampingi lebih sebagai penegasan tentang alur koordinasi dan komando. Ini juga berarti bahwa Kapolres bertanggung jawab atas emua keterangan resmi pada institusi yang dipimpinnya.
Dalam peliputan dan penulisan kasus-kasus kriminal dengan sumber resmi kepolisian, penyebutan nama nara sumber secara berjenjang adalah hal yang nyaris wajib, kecuali ada kesepakatan sebelumnya. Namun, karena pemakaian kata didampingi seringkali tak sesuai dengan fakta di lapangan, sejumlah wartawan kemudian memilih istilah lain, seperti memakai kata melalui adat mewakili, hingga contoh kalimat di atas menjadi:
Kapolres Bandung Barat AKBP Pratikno melalui Kasatreskrim AKP Reynold EP Hutagalung mengatakan....
Berikut beberapa jabatan dan tanda kepangkatan di kepolisian.
- Jenderal untuk pejabat setingkat Kapolri.
- Irjen Pol untuk pejabat setingkat Kadiv di Mabes Polri.
- Irjen Pol untuk pejabat setingkat Kapolda.
- Kombes Pol untuk pejabat setingkat Kabid di Polda.
- Kombes Pol untuk pejabat setingkat Kapolwil.
- AKBP untuk pejabat setingkat Kasat di Polwil.
- AKBP untuk pejabat setingkat Kapolres.
- AKP untuk pejabat setingkat Kasat di Polres.
- AKP untuk pejabat setingkat Kapolsek.
- Iptu untuk pejabat setingkat Kanit di Polsek. (arief permadi)
ARTIKEL TERKAIT
- Pengertian Berita
- Teknik Peliputan
- Jenis-jenis Berita
- Ukuran Layak Berita
- Teknik Menulis Lead, dll
KLIK DI SINI
Jumat, 28 November 2008
MELIPUT dan menulis berita kriminal sebenarnya tak jauh beda dengan meliput dan menulis berita lainnya. Namun, ada sembilan prinsip dasar yang sebaiknya diketahui oleh wartawan peliput kasus-kasus kriminal. Prinsip-prinsip ini bersifat penuh dan mengikat.
Berikut sembilan prinsip yang dimaksud.
Berita kriminal adalah laporan terkini yang disiarkan kepada publik terkait peristiwa-peristiwa kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang, atau sebuah organisasi.
Sebuah peristiwa disebut peristiwa kriminal jika memenuhi tiga unsur utama, yakni pelaku, tindak kriminal, dan adanya korban. Unsur lainnya yakni keberadaan saksi, tempat kejadian perkara, barang bukti, dan modus operandi.
Pelaku, korban, dan saksi, adalah nara sumber utama dalam sebuah berita kriminal. Namun, dalam kasus kriminal dikenal pula nara sumber lain yang disebut sebagai nara sumber resmi yang data, informasi, maupun statement yang dikeluarkannya merupakan data, informasi, dan statement resmi yang dinyatakan benar secara hukum dan boleh dikutip untuk disiarkan.
Termasuk dalam katagori nara sumber resmi adalah lembaga penegakan hukum seperti kepolisian dan peradilan, pihak rumah sakit, organisasi, lembaga atau instansi terkait jika kasusnya melibatkan sakit, organisasi, lembaga atau instansi, serta pengacara dari kedua belah pihak yang berbicara atas nama pelaku atau korban. Kerap juga dimasukkan ke dalam nara sumber resmi adalah pernyataan pihak keluarga baik itu keluarga pelaku atau korban.
Untuk dapat meliput dan menulis sebuah berita kriminal dengan baik, adalah wajib bagi seorang wartawan untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum, terutama terkait dengan peristiwa yang sedang ditanganinya.
Wartawan juga harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai aturan hukum terkait apa yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan, termasuk beragam istilah atau bahasa hukum dan peradilan seperti apa itu tersangka, apa itu terdakwa, apa yang dimaksud dengan terlapor, apa yang dimaksud dengan pledoi, dakwaan, juncto, dan sebagainya.
Ini semua adalah pengetahuan wajib yang menjadi prinsip dasar liputan dan penulisan berita kriminal dan pengadilan. Sebab, apa pun output-nya, adalah haram mencederai peluang pihak mana pun untuk mendapat peradilan yang fair dan dan tak memihak, baik sengaja atau pun tak sengaja. Bagi wartawan dan media massa, kewajiban ini bersifat penuh dan mengikat.
Akurasi, adalah hal mendasar lainnya yang harus diperhatikan oleh seorang wartawan yang meliput dan menulis berita kriminal. Sajikan fakta secara tepat tanpa menambah atau menguranginya.
Memutuskan meliput dan menulis sebuah kasus kriminal berarti memutuskan untuk mengikuti dan melaporkan kasus itu hingga selesai. Jadi, sebelum menyentuh sebuah kasus, pertimbangkan benar apakah sebuah kasus layak untuk Anda liput dan Anda siarkan. Jika sebuah kasus tidak ada hal yang menariknya bagi publik Anda, sebaiknya tidak menyentuhnya sama sekali karena saat Anda melaporkannya, Anda wajib melaporkannya hingga akhir.(arief permadi)
Senin, 10 November 2008
Membuat Lead Feature
SEPERTI bentuk tulisan lain di media massa, tak ada aturan baku terkait lead atau intro dari sebuah feature. Satu-satunya aturan yang ada adalah bahwa lead tersebut haruslah berupa sesuatu yang menarik, baik dari sisi konten maupun penataan kalimatnya. Jangan bertele-tele, jangan pula membuat kalimat-kalimat yang terlalu panjang, atau penuh dengan angka-angka pada kalimat pertama.
Meski tak ada aturan baku dalam penulisan lead, ada beberapa jenis lead yang kerap digunakan oleh para penulis bisa dikenali. Beberapa ahli menamainya dengan nama yang berbeda, meski sesungguhnya isinya itu-itu juga. Berikut di antaranya. (Nama dan tempat yang dijadikan ciontoh lead, bukan peristiwa sebenarnya)
1. Lead sebab akibat atau biasa juga dikenal sebagai lead pasak. Lead ini dimulai dengan apa yang menjadi pemicu dari peristiwa yang diangkat.
Kalau saja guru dan teman-temannya tak terus mencemooahnya sepanjang hari itu, Bunga,
siswa SD Negeri 1001 Jakarta itu mungkin masih berkumpul bersama keluarganya. Pekan lalu, ia mengiris sendiri urat nadi di pergelangan tangannya dengan potongan kaca. Itu dilakukannya di depan kelas sambil menangis sesegukan.
2. Lead kontras atau kontradiktif. Sesuai namanya, lead ini menampilkan sudut yang kontradiktif terkait peristiwa yang ditulis. Penulis berupaya menyajikan ironi. Lead ini bisa sangat luarbiasa jika ditulis dengan baik.
Ketika serombongan petugas menghancurkan rumah petaknya di pinggiran Sungai Brantas, Sabtu pagi itu, Sumarni hanya mampu menangis sambil memeluk ketiga anaknya di seberang jalan di depan sebuah rumah makan. Ia sungguh tak bisa mengerti. Tangannya gemetar memegang resi pembayaran PBB yang baru dilunasinya, pekan lalu.
3. Lead pertanyaan. Seperti namanya, lead ini dimulai dengan kalimat bertanya atau kalimat retoris.
Masih adakah pintu maaf bagi Srimanu yang dengan keji telah menyiksa anak dan istrinya sendiri hingga maut menjemput mereka? Pria separo baya yang kini terbaring sakit itu hanya bisa terdiam. Kelopak matanya sembab. "Bahkan pada Tuhan pun saya malu memintanya," bisik Srimanu lirih, nyaris tak terdengar.
4. Lead deskriptif. Seperti namanya, rangkaian kalimat dalam lead ini berisi penggambaran tentang suasana, mimik, atau apa pun yang dianggap paling menarik terkait peristiwa yang ditulis.
Parasnya pucat, tubuhnya kaku, tampak seperti mayat. Hanya matanya yang berkedip. Ini sudah hari kelima. Ia masih sadar. Sejak gempa meluluh-lantakan Padang, Sabtu tengah malam lalu, petugas belum juga berhasil mengeluarkannya dari reruntuhan.
5. Lead figuratif. Ini adalah jenis lead yang menggunakan perumpamaan yang hiperbolis untuk menggambarkan fragmen yang dicuplik. Hampir sama dengan lead ini adalah lead epigram atau ungkapan khas untuk mengumpamakan sesuatu.
Bagai punguk merindukan bulan, penantian Yanti (23) selama tiga tahun ini berakhir sia-sia. Yanto (26), lelaki yang dinikahinya empat tahun lalu, ternyata memilih tinggal di Malaysia dan tak ingin kembali.
6. Lead parodi. Seperti namanya, lead ini mengambil sebuah parodi dari fragmen peristiwa yang dicuplik.
Saking sukanya pada warna putih, Jajang (24) dituntut cerai oleh isterinya sendiri. Sang isteri, Neneng (20), rupanya tak tahan karena setiap hari harus mengenakan busana serba puti oleh suaminya.
7. Lead kutipan. Lead ini menggunakan kutipan yang dianggap paling menarik sebagai awal kalimat.
"Mau bilang apa. Nasi sudah menjadi bubur," sesal Tono yang sejak pekan lalu terpasa meringkuk di sel tahanan Mapolres Sumedang karena mencuri sapi milik tetangganya.
8. Lead sapaan. Lead ini menggunakan gaya bagasa bertutur.
Sayang, pagi begitu dingin di Bukit Manoreh. Seperti kemarin, wajahmu selalu terbayang. Rindu seperti tak bertepi.
Di benak Rudi, memang hanya ada Sinta yang begitu dicintanya. Ia bahkan tetap menanti, meski Sinta tak akan pernah kembali.
9. Lead literer. Lead ini menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang dijadikan perumamaan bisa saja fiktif, tapi bisa juga peristiwa nyata yang dianggap satu napas.
Kisah Sengkon dan Karta kembali terulang. Polisi lagi-lagi salah tangkap. kali ini terjadi di Kota Banjar.
10. Lead dialog. Lead ini menggunakan cuplikan dialog yang dianggap paling menarik.
"Berapa usiamu saat menikah?"
"Lupa, Pak Lurah. Saya baru saja kelas lima SD saat Pak Ujang datang dan menemui Bapak untuk melamar."
Ina, begitu nama pengantin cilik itu. Kini ia tengah mengandung, anaknya yang kelima.
11. Lead Kumulatif. Lead ini sebenarnya masih termasuk lead deskriptif. Namun, penulis tak memilih fragmen tertentu, melainkan menuliskan rentetan peristiwa secara berurut dan membawa pembaca pada antiklimaks peristiwa.
Tak lama setelah memperoleh informasi itu, Anita pun bergegas berlari ke lantai tiga. Dalam benaknya, sesuatu telah terjadi. Yang terbayang adalah paras anaknya yang menjerit meminta pertolongan. Tapi di lantai tiga ternyata tak ada siapa pun. Hanya secarik kertas berisi tulisan anaknya.
(arief permadi)
Meski tak ada aturan baku dalam penulisan lead, ada beberapa jenis lead yang kerap digunakan oleh para penulis bisa dikenali. Beberapa ahli menamainya dengan nama yang berbeda, meski sesungguhnya isinya itu-itu juga. Berikut di antaranya. (Nama dan tempat yang dijadikan ciontoh lead, bukan peristiwa sebenarnya)
1. Lead sebab akibat atau biasa juga dikenal sebagai lead pasak. Lead ini dimulai dengan apa yang menjadi pemicu dari peristiwa yang diangkat.
Kalau saja guru dan teman-temannya tak terus mencemooahnya sepanjang hari itu, Bunga,
siswa SD Negeri 1001 Jakarta itu mungkin masih berkumpul bersama keluarganya. Pekan lalu, ia mengiris sendiri urat nadi di pergelangan tangannya dengan potongan kaca. Itu dilakukannya di depan kelas sambil menangis sesegukan.
2. Lead kontras atau kontradiktif. Sesuai namanya, lead ini menampilkan sudut yang kontradiktif terkait peristiwa yang ditulis. Penulis berupaya menyajikan ironi. Lead ini bisa sangat luarbiasa jika ditulis dengan baik.
Ketika serombongan petugas menghancurkan rumah petaknya di pinggiran Sungai Brantas, Sabtu pagi itu, Sumarni hanya mampu menangis sambil memeluk ketiga anaknya di seberang jalan di depan sebuah rumah makan. Ia sungguh tak bisa mengerti. Tangannya gemetar memegang resi pembayaran PBB yang baru dilunasinya, pekan lalu.
3. Lead pertanyaan. Seperti namanya, lead ini dimulai dengan kalimat bertanya atau kalimat retoris.
Masih adakah pintu maaf bagi Srimanu yang dengan keji telah menyiksa anak dan istrinya sendiri hingga maut menjemput mereka? Pria separo baya yang kini terbaring sakit itu hanya bisa terdiam. Kelopak matanya sembab. "Bahkan pada Tuhan pun saya malu memintanya," bisik Srimanu lirih, nyaris tak terdengar.
4. Lead deskriptif. Seperti namanya, rangkaian kalimat dalam lead ini berisi penggambaran tentang suasana, mimik, atau apa pun yang dianggap paling menarik terkait peristiwa yang ditulis.
Parasnya pucat, tubuhnya kaku, tampak seperti mayat. Hanya matanya yang berkedip. Ini sudah hari kelima. Ia masih sadar. Sejak gempa meluluh-lantakan Padang, Sabtu tengah malam lalu, petugas belum juga berhasil mengeluarkannya dari reruntuhan.
5. Lead figuratif. Ini adalah jenis lead yang menggunakan perumpamaan yang hiperbolis untuk menggambarkan fragmen yang dicuplik. Hampir sama dengan lead ini adalah lead epigram atau ungkapan khas untuk mengumpamakan sesuatu.
Bagai punguk merindukan bulan, penantian Yanti (23) selama tiga tahun ini berakhir sia-sia. Yanto (26), lelaki yang dinikahinya empat tahun lalu, ternyata memilih tinggal di Malaysia dan tak ingin kembali.
6. Lead parodi. Seperti namanya, lead ini mengambil sebuah parodi dari fragmen peristiwa yang dicuplik.
Saking sukanya pada warna putih, Jajang (24) dituntut cerai oleh isterinya sendiri. Sang isteri, Neneng (20), rupanya tak tahan karena setiap hari harus mengenakan busana serba puti oleh suaminya.
7. Lead kutipan. Lead ini menggunakan kutipan yang dianggap paling menarik sebagai awal kalimat.
"Mau bilang apa. Nasi sudah menjadi bubur," sesal Tono yang sejak pekan lalu terpasa meringkuk di sel tahanan Mapolres Sumedang karena mencuri sapi milik tetangganya.
8. Lead sapaan. Lead ini menggunakan gaya bagasa bertutur.
Sayang, pagi begitu dingin di Bukit Manoreh. Seperti kemarin, wajahmu selalu terbayang. Rindu seperti tak bertepi.
Di benak Rudi, memang hanya ada Sinta yang begitu dicintanya. Ia bahkan tetap menanti, meski Sinta tak akan pernah kembali.
9. Lead literer. Lead ini menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang dijadikan perumamaan bisa saja fiktif, tapi bisa juga peristiwa nyata yang dianggap satu napas.
Kisah Sengkon dan Karta kembali terulang. Polisi lagi-lagi salah tangkap. kali ini terjadi di Kota Banjar.
10. Lead dialog. Lead ini menggunakan cuplikan dialog yang dianggap paling menarik.
"Berapa usiamu saat menikah?"
"Lupa, Pak Lurah. Saya baru saja kelas lima SD saat Pak Ujang datang dan menemui Bapak untuk melamar."
Ina, begitu nama pengantin cilik itu. Kini ia tengah mengandung, anaknya yang kelima.
11. Lead Kumulatif. Lead ini sebenarnya masih termasuk lead deskriptif. Namun, penulis tak memilih fragmen tertentu, melainkan menuliskan rentetan peristiwa secara berurut dan membawa pembaca pada antiklimaks peristiwa.
Tak lama setelah memperoleh informasi itu, Anita pun bergegas berlari ke lantai tiga. Dalam benaknya, sesuatu telah terjadi. Yang terbayang adalah paras anaknya yang menjerit meminta pertolongan. Tapi di lantai tiga ternyata tak ada siapa pun. Hanya secarik kertas berisi tulisan anaknya.
(arief permadi)
Minggu, 09 November 2008
Menyentuh Saja, Tak Cukup
SEPERTI jenis tulisan non-fiksi lainnya di media massa, penulisan feature juga senantiasa didasarkan pada rumusan penting penulisan yang memuat informasi wajib 5 W plus 1 H (what, who, when, where, why, dan how) terkait peristiwa yang dibidik. Yang membedakan feature dan straight news hanyalah pola pendeskripsian fakta-fakta yang dibidik. Feature senantiasa lebih detail dengan penekanan kuat pada sisi kemenarikannya.
Karena itu ketika meliput sebuah peristiwa, ketelitian dalam melakukan pengamatan dari berbagai sisi adalah hal yang harus terus dibiasakan dan dilatih oleh setiap wartawan. Wartawan yang baik tak akan pernah menghentikan upayanya sebelum memperoleh jalan ceritanya secara lengkap. Dengan telaten, ia juga akan mengumpulkan detail-detail fragmen (bagian cerita) selengkap-lengkapnya, termasuk pernyataan-pernyataan narasumber yang dianggap penting atau menarik secara lebih rinci. Saat berada di lapangan, jangan pernah mengabaikan fakta apapun yang terendus, sekalipun pada saatnya harus menentukan prioritas karena keterbatasan waktu.
Hal lain yang juga tak boleh diabaikan adalah mengecek, mengecek ulang, dan mengulang lagi pengecekan jalan cerita yang telah didapat. Yang dimaksud mengecek ulang tentu bukan kembali datang ke lapangan lalu mengulang penelusuran, melainkan memastikan bahwa jalan cerita yang telah didapat adalah masuk akal, lengkap dari segala sisi. Kalau pun harus kembali ke lapangan, itu hanya untuk melengkapi kembali data-data atau deskripsi cerita yang setelah dicek ternyata masih sangat kurang hingga perlu diperdalam.
Proses peliputan dan pengerjaan sebah naskah feature akan jauh menjadi lebih mudah ketika wartawan telah menemukan sudut berita yang dipilihnya (point of view) ketika ia masih berada di lapangan. Ini akan sangat membantu wartawan untuk fokus pada informasi yang dicarinya. Ini juga akan mendorong wartawan untuk mulai memikirkan lead, intro, atau pembuka tulisan sejak masih di lapangan.
Sebuah deskripsi yang cukup baik tentang feature ditulis Giantrangkong di www.journalist-adventure.com, September 2007. Menurutnya, sebuah feature yang baik adalah laporan yang disusun berdasarkan konsep untuk memperkuat appeal terhadap pembaca. Sentuhan terhadap perasaan pembaca ini sebaiknya telah dimulai sejaki kalimat pertama.
Namun sebuah feature yang menyentuh saja, belum dapat disebut sebagai feature yang baik tanpa fakta-fakta yang detail dalam konteks yang kuat. Ini berarti wartawan harus pula mencari cantelan yang kuat terhadap peristiwa yang lebih besar, atau data-data statistik yang membuat feature tersebut menjadi bernilai tinggi.
Misalnya, ketika Anda akan menulis feature tentang seorang siswa SD yang tewas tertabrak saat menyeberang jalan, akan sangat bagus jika Anda melengkapinya dengan data-data tentang berapa banyak jumlah jembatan penyeberangan di kota tersebut, berapa jumlah SD yang berada di pinggir jalan raya, dan berapa banyak SD di pinggir jalan raya itu yang saat ini telah dilengkapi dengan jembatan penyeberangan. Ada baiknya Anda juga melakukan riset dan pencarian data terkait berapa banyak peristiwa kecelakaan serupa yang terjadi sepanjang tahun, Anda juga sebaiknya mewawancara dinas terkait tentang kenapa banyak sekali titik di mana banyak anak SD menyeberang yang tidak dilengkapi dengan jembatan penyeberangan.
Selain menempatkan kasus dalam konteks lebih luas, feature juga sebaiknya penuh dengan warna. Mengutip Giantrangkong, percakapan, cerita dan penuturan yang mengalir merupakan kunci penting menuangkan sebuah karya jurnalistik dalam bentuk feature. Dalam kasus anak SD yang meninggal tadi, jika penulisnya turun ke jalan berbincang dengan keluarga dan kerabat serta rekan-rekannya, maka percakapan itu akan berarti banyak dalam mengekspresikan kesedihan mereka. Bisa jadi kemudian bahkan ditemukan fakta baru, misalnya siswa yang meninggal ternyata berulang tahun pada hari yang sama ketika sebuah mobil menabraknya.
Hal lain yang juga sangat penting, adalah merancang skenario tulisan sebelum mulai menulis. Skenario tulisan yang dimaksud tentu bukan skenario fakta. Skenario tulisan memudahkan wartawan menjalin rangkaian cerita dengan sangat menarik yang mampu memaksa pembacanya mengikuti cerita yang Anda tulis sampai akhir.
Ditambah dengan lead yang sangat kuat dan penutup yang "mengguncang", feature yang Anda tulis tak cuma menarik tapi bernilai tinggi. (arief permadi)
Karena itu ketika meliput sebuah peristiwa, ketelitian dalam melakukan pengamatan dari berbagai sisi adalah hal yang harus terus dibiasakan dan dilatih oleh setiap wartawan. Wartawan yang baik tak akan pernah menghentikan upayanya sebelum memperoleh jalan ceritanya secara lengkap. Dengan telaten, ia juga akan mengumpulkan detail-detail fragmen (bagian cerita) selengkap-lengkapnya, termasuk pernyataan-pernyataan narasumber yang dianggap penting atau menarik secara lebih rinci. Saat berada di lapangan, jangan pernah mengabaikan fakta apapun yang terendus, sekalipun pada saatnya harus menentukan prioritas karena keterbatasan waktu.
Hal lain yang juga tak boleh diabaikan adalah mengecek, mengecek ulang, dan mengulang lagi pengecekan jalan cerita yang telah didapat. Yang dimaksud mengecek ulang tentu bukan kembali datang ke lapangan lalu mengulang penelusuran, melainkan memastikan bahwa jalan cerita yang telah didapat adalah masuk akal, lengkap dari segala sisi. Kalau pun harus kembali ke lapangan, itu hanya untuk melengkapi kembali data-data atau deskripsi cerita yang setelah dicek ternyata masih sangat kurang hingga perlu diperdalam.
Proses peliputan dan pengerjaan sebah naskah feature akan jauh menjadi lebih mudah ketika wartawan telah menemukan sudut berita yang dipilihnya (point of view) ketika ia masih berada di lapangan. Ini akan sangat membantu wartawan untuk fokus pada informasi yang dicarinya. Ini juga akan mendorong wartawan untuk mulai memikirkan lead, intro, atau pembuka tulisan sejak masih di lapangan.
Sebuah deskripsi yang cukup baik tentang feature ditulis Giantrangkong di www.journalist-adventure.com, September 2007. Menurutnya, sebuah feature yang baik adalah laporan yang disusun berdasarkan konsep untuk memperkuat appeal terhadap pembaca. Sentuhan terhadap perasaan pembaca ini sebaiknya telah dimulai sejaki kalimat pertama.
Namun sebuah feature yang menyentuh saja, belum dapat disebut sebagai feature yang baik tanpa fakta-fakta yang detail dalam konteks yang kuat. Ini berarti wartawan harus pula mencari cantelan yang kuat terhadap peristiwa yang lebih besar, atau data-data statistik yang membuat feature tersebut menjadi bernilai tinggi.
Misalnya, ketika Anda akan menulis feature tentang seorang siswa SD yang tewas tertabrak saat menyeberang jalan, akan sangat bagus jika Anda melengkapinya dengan data-data tentang berapa banyak jumlah jembatan penyeberangan di kota tersebut, berapa jumlah SD yang berada di pinggir jalan raya, dan berapa banyak SD di pinggir jalan raya itu yang saat ini telah dilengkapi dengan jembatan penyeberangan. Ada baiknya Anda juga melakukan riset dan pencarian data terkait berapa banyak peristiwa kecelakaan serupa yang terjadi sepanjang tahun, Anda juga sebaiknya mewawancara dinas terkait tentang kenapa banyak sekali titik di mana banyak anak SD menyeberang yang tidak dilengkapi dengan jembatan penyeberangan.
Selain menempatkan kasus dalam konteks lebih luas, feature juga sebaiknya penuh dengan warna. Mengutip Giantrangkong, percakapan, cerita dan penuturan yang mengalir merupakan kunci penting menuangkan sebuah karya jurnalistik dalam bentuk feature. Dalam kasus anak SD yang meninggal tadi, jika penulisnya turun ke jalan berbincang dengan keluarga dan kerabat serta rekan-rekannya, maka percakapan itu akan berarti banyak dalam mengekspresikan kesedihan mereka. Bisa jadi kemudian bahkan ditemukan fakta baru, misalnya siswa yang meninggal ternyata berulang tahun pada hari yang sama ketika sebuah mobil menabraknya.
Hal lain yang juga sangat penting, adalah merancang skenario tulisan sebelum mulai menulis. Skenario tulisan yang dimaksud tentu bukan skenario fakta. Skenario tulisan memudahkan wartawan menjalin rangkaian cerita dengan sangat menarik yang mampu memaksa pembacanya mengikuti cerita yang Anda tulis sampai akhir.
Ditambah dengan lead yang sangat kuat dan penutup yang "mengguncang", feature yang Anda tulis tak cuma menarik tapi bernilai tinggi. (arief permadi)
Sabtu, 01 November 2008
Mengenal Feature
SEPERTI halnya berita (news), agak sulit memberikan definisi yang tepat tentang feature. Karena itu, sebaiknya kita mulai dengan persamaan dari keduanya, yakni sama-sama merupakan karya non-fiksi yang didasarkan pada fakta dan data yang sebenarnya.
Namun, dibanding persamaannya, ada lebih banyak perbedaan antara feature dengan berita biasa. Satu hal yang paling mudah dikenali pembaca adalah bahwa feature tak pernah dilengkapi dengan dateline pada penyajiannya.
Meski tampak seperti sederhana, tidak disertakannya dateline pada penulisan feature sebenarnya merujuk pada hal yang menjadi perbedaan mendasar antara feature dengan berita langsung (spotnews atau strightnews). Feature tak mengutamakan aktualitas, di mana apa yang disajikan tak dimaksudkan untuk diterbitkan sesegera mungkin, sementara strightnews sebaliknya, yakni sangat terikat oleh waktu penayangan.
Karena tak mengutamakan sisi aktualitas ini pula content feature selalu mengetengahkan sisi lain dari sebuah peristiwa. Sisi yang yang oleh banyak sekali ahli dikatakan sebagai sisi yang memiliki penekanan kuat pada unsur kemanusiaannya (human interest).
Dalam bukunya Features Writing for Newspaper (1975), deskripsi yang lumayan bagus diutarakan DR Williamson tentang feature. Menurutnya, feature ialah tulisan kreatif yang dirancang untuk memberi informasi sambil menghibur tentang suatu kejadian, situasi, atau aspek kehidupan seseorang. Karena itu, kata Williamson, feature bisa dianggap sebagai tulisan yang lebih ringan dibandingkan dengan berita atau sebuah artikel.
Kekhasan feature, lanjut Williamsons, terletak setidaknya pada empat poin, yakni kreativitas dalam menciptakannya, isinya yang informatif, menghibur, dan sedikit subyektif dalam penuturannya.
Keempat faktor ini pula yang kemudian membuat jenis feature menjadi sangat beragam. Mulai dari jenis feature berita (news features), feature ilmu pengetahuan (science feature), hingga feature tentang minat atau ketertarikan manusia terhadap sesuatu (human interest features).
Feature berita, biasanya muncul bersamaan, atau berselang tak beberapa lama dari berita langsung yang menjadi tautan. Feature berita umumnya berisi fragmen menarik yang sangat menyentuh dari berita yang ditautnya. Fragmen yang akan sangat sayang jika tak ditulis tersendiri karena kemenarikannya.
Sebagai contoh ketika misalnya, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, dilanda banjir besar. Belasan ribu rumah terendam. Warga setempat mengungsi di tenda-tenda penampungan.
Untuk berita langsung, terendamnya Kecamatan Dayeukolot oleh banjir, tentu akan menjadi fokus dari pemberitaan. Namun, sisi lain, misalnya tentang seorang nenek yang semalaman terpaksa tidur di dalam gerobak sampah di pinggir jalan karena rumahnya terbawa hanyut, akan dikisahkan secara tersendiri dalam sebuah feature, yang diterbitkan tentu saja diterbitkan secara bersamaan, atau tak berselang terlalu lama dengan berita utama yang dijadikan cantelan. Dari sini bisa disimpulkan, sekali pun tak terlalu mengutamakan aktualitas, feature berita tak sungguh-sungguh tak terikat karena kisahnya hanya akan menjadi sangat menarik saat momen peristiwa utamanya belum lewat.
Berbeda dengan feature berita, feature ilmu pengetahuan relatif lebih bebas dalam sisi aktualitasnya. Meski demikian, ini pun tak sungguh-sungguh bebas. Feature jenis ini akan jauh lebih menarik jika diterbitkan ketika terdapat peristiwa yang dapat dijadikan tautan.
Sebagai contoh, feature tentang kebiasaan sebuah suku ketika menghadapi gerhana bulan. Feature akan terasa lebih kuat jika diterbitkan tak lama sebelum, saat, atau setelah gerhana bulan terjadi.
Namun, karena jenisnya feature ilmu pengetahuan, beragam data dan informasi ilmiah tentang gerhana juga harus masuk dalam bagian yang dikisahkan. Feature jenis ini biasanya sangat serius. Namun, penulis yang pandai biasanya mampu membuatnya terasa ringan karena pendekatan human interestnya.
Jenis lainnya adalah feature tentang minat manusia. Di antara dua jenis feature sebelumnya, feature jenis inilah yang barangkali paling bebas dan tak tergantung aktualitas. Bisa terbit kapan saja tanpa mengurangi kemenarikannya.
Termasuk feature jenis antara lain feature tentang kekhasan sebuah daerah, feature biografi seseorang, feature perjalanan, dan sebagainya. (arief permadi)
Namun, dibanding persamaannya, ada lebih banyak perbedaan antara feature dengan berita biasa. Satu hal yang paling mudah dikenali pembaca adalah bahwa feature tak pernah dilengkapi dengan dateline pada penyajiannya.
Meski tampak seperti sederhana, tidak disertakannya dateline pada penulisan feature sebenarnya merujuk pada hal yang menjadi perbedaan mendasar antara feature dengan berita langsung (spotnews atau strightnews). Feature tak mengutamakan aktualitas, di mana apa yang disajikan tak dimaksudkan untuk diterbitkan sesegera mungkin, sementara strightnews sebaliknya, yakni sangat terikat oleh waktu penayangan.
Karena tak mengutamakan sisi aktualitas ini pula content feature selalu mengetengahkan sisi lain dari sebuah peristiwa. Sisi yang yang oleh banyak sekali ahli dikatakan sebagai sisi yang memiliki penekanan kuat pada unsur kemanusiaannya (human interest).
Dalam bukunya Features Writing for Newspaper (1975), deskripsi yang lumayan bagus diutarakan DR Williamson tentang feature. Menurutnya, feature ialah tulisan kreatif yang dirancang untuk memberi informasi sambil menghibur tentang suatu kejadian, situasi, atau aspek kehidupan seseorang. Karena itu, kata Williamson, feature bisa dianggap sebagai tulisan yang lebih ringan dibandingkan dengan berita atau sebuah artikel.
Kekhasan feature, lanjut Williamsons, terletak setidaknya pada empat poin, yakni kreativitas dalam menciptakannya, isinya yang informatif, menghibur, dan sedikit subyektif dalam penuturannya.
Keempat faktor ini pula yang kemudian membuat jenis feature menjadi sangat beragam. Mulai dari jenis feature berita (news features), feature ilmu pengetahuan (science feature), hingga feature tentang minat atau ketertarikan manusia terhadap sesuatu (human interest features).
Feature berita, biasanya muncul bersamaan, atau berselang tak beberapa lama dari berita langsung yang menjadi tautan. Feature berita umumnya berisi fragmen menarik yang sangat menyentuh dari berita yang ditautnya. Fragmen yang akan sangat sayang jika tak ditulis tersendiri karena kemenarikannya.
Sebagai contoh ketika misalnya, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, dilanda banjir besar. Belasan ribu rumah terendam. Warga setempat mengungsi di tenda-tenda penampungan.
Untuk berita langsung, terendamnya Kecamatan Dayeukolot oleh banjir, tentu akan menjadi fokus dari pemberitaan. Namun, sisi lain, misalnya tentang seorang nenek yang semalaman terpaksa tidur di dalam gerobak sampah di pinggir jalan karena rumahnya terbawa hanyut, akan dikisahkan secara tersendiri dalam sebuah feature, yang diterbitkan tentu saja diterbitkan secara bersamaan, atau tak berselang terlalu lama dengan berita utama yang dijadikan cantelan. Dari sini bisa disimpulkan, sekali pun tak terlalu mengutamakan aktualitas, feature berita tak sungguh-sungguh tak terikat karena kisahnya hanya akan menjadi sangat menarik saat momen peristiwa utamanya belum lewat.
Berbeda dengan feature berita, feature ilmu pengetahuan relatif lebih bebas dalam sisi aktualitasnya. Meski demikian, ini pun tak sungguh-sungguh bebas. Feature jenis ini akan jauh lebih menarik jika diterbitkan ketika terdapat peristiwa yang dapat dijadikan tautan.
Sebagai contoh, feature tentang kebiasaan sebuah suku ketika menghadapi gerhana bulan. Feature akan terasa lebih kuat jika diterbitkan tak lama sebelum, saat, atau setelah gerhana bulan terjadi.
Namun, karena jenisnya feature ilmu pengetahuan, beragam data dan informasi ilmiah tentang gerhana juga harus masuk dalam bagian yang dikisahkan. Feature jenis ini biasanya sangat serius. Namun, penulis yang pandai biasanya mampu membuatnya terasa ringan karena pendekatan human interestnya.
Jenis lainnya adalah feature tentang minat manusia. Di antara dua jenis feature sebelumnya, feature jenis inilah yang barangkali paling bebas dan tak tergantung aktualitas. Bisa terbit kapan saja tanpa mengurangi kemenarikannya.
Termasuk feature jenis antara lain feature tentang kekhasan sebuah daerah, feature biografi seseorang, feature perjalanan, dan sebagainya. (arief permadi)
Kamis, 23 Oktober 2008
Berita Follow Up
ADA banyak sekali cara untuk membuat pembaca "terikat" dengan sebuah suratkabar. Salah-satunya adalah dengan berita-berita follow up atau running news.
Secara sederhana, berita follow up atau running news dapat diterjemahkan sebagai kelanjutan sebuah berita atau berita yang terus bergulir dengan menampilkan hal-hal baru, baik berupa informasi, maupun sisi lain dari sebuah topik berita yang sebelumnya telah dimuat.
Umumnya, berita-berita yang dimuat secara running adalah berita-berita besar, menghebohkan, penting, atau sangat menarik hingga perkembangannya dari hari ke hari selalu dinanti pembaca.
Salah satu contoh, adalah ketika kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan, Jagal dari Jombang terungkap tahun 2008.
Berita yang pertama bergulir adalah berita terkait penemuan mayat terpotong-potong di Jakarta. Saat itu, belum diketahui siapa pembunuhnya, kenapa dia dibunuh, siapa sebenarnya korban, bagaimana kehidupan korban sehari-hari, dan sebagainya.
Karena kasusnya sangat menarik, pembaca hampir bisa dipastikan akan selalu menanti perkembangan dari hasil penyelidikan polisi. Ketika dalam beberapa hari kemudian perkembangannya masih belum signifikan, maka wartawan akan menulis beragam hal terkait seperti sosok korban, peristiwa- peristiiwa serupa yang pernah terjadi, pandangan para ahli, dan sebagainya.
Selain untuk mengalihkan perhatian para pembaca karena perkembangan terbaru dari hasil penyelidikan belum ada, berita-berita ini harus dibuat untuk menjaga "suhu" agar ketika perkembangan terbaru muncul, ketertarikan pembaca terhadap berita tersebut masih tetap besar.
Bagi para wartawan, berita follow up juga sangat mengasyikan sekaligus menguntungkan jika mampu mengolahnya secara baik. Mengasyikkan karena mengikuti perkembangan sebuah peristiwa dan menelusurinya untuk memperoleh fakta-fakta baru adalah hal yang sangat menarik untuk dilakukan. Wartawan akan merasa menjadi wartawan yang sesungguhnya, karena untuk jenis berita seperti ini ia akan dituntut melakukan investigasi sekaligus berkompetisi dengan wartawan dari media massa lain yang juga melakukan hal yang sama. Menyusuri sebuah beritav dengan cara ini juga membuat wartawan mendapatkan kemungkinan memperoleh fakta-fakta baru yang sangat mungkin justru jauh lebih heboh dari peristiwa awal yang sedang ia running.
Saat yang sama wartawan juga mempunyai keuntungan karena memiliki "cadangan" berita. Sesuatu yang pasti yang akan dikejarnya saat keluar dari rumah. Ia tak perlu lagi bingung memikirkan apa yang hari ini akan ia liput lantaran topiknya ada, tinggal mengembangkannya.
Namun, ada kalanya, berita-berita follow up menjadi sesuatu yang tidak menari untuk dibaca, baik karena penyajiannya yang asal-asalan, penggaliannya yang alakadarnya, atau karena topiknya memang tak cocok untuk dibuat secara running.
Agar berita-berita follow up yang Anda buat tetap menarik dan "bermanfaat" seperti yang seharusnya, paling tidak, ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan.
1. Kelayakan Topik
Tak semua peristiwa layak untuk di-running. Untuk itu, kita harus menyeleksinya secara ketat. Hanya berita-berita yang besar atau dapat berpotensi menimbulkan sesuatu yang besar yang layak di-follow up. Berita yang layak di-follow up juga harus sangat menarik, baik dari sisi kepentingannya bagi masyarakat, kehebohannya, keganjilannya, keluarbiasaan peristiwanya, dan sebagainya.
2. Menimbulkan Rasa Penasaran
Sebuah berita follow up harus tetap menyisakan "misteri" bagi para pembacanya. "Misteri" harus diupayakan ada agar pembaca terus berminat membaca kelanjutan dari berita yang disajikan. Tonjolkan bahwa ada sesuatu yang belum selesai dan terpecahkan, dan itu akan terungkap dalam berita-berita selanjutnya. Sisipkan juga rumor-rumor yang beredar, berbagai fakta yang kontradiktif, serta beragam kemungkinan yang bisa saja terjadi pada hari-hari selanjutnya.
Rangkaian kalimat berikut bisa dijadikan contoh.
...benarkah ibunda Ryan terlibat dalam serangkaian pembunuhan yang dilakukan anaknya? Polisi masih mendalaminya...
3. Ingatkan Pembaca pada Berita Sebelumnya
Tak semua pembaca memiliki ingatan yang kuat tentang suatu peristiwa. Tak setiap pembaca juga mengikuti perkembangan sebuah berita secara kontinyu. Karena itulah dalam sebuah berita running, kilasan kisah sebelumnya, atau bagaimana kisah ini dimulai, tetap harus disajikan secara ringkas pada setiap berita follow up.
4. Pastikan selalu ada sesuatu yang baru dari berita follow up yang Anda buat. Jika perkembangan yang baru itu belum ada, berilah pembaca kisah- kisah berupa sisi yang lain dari berita yang di-follow up. Sebagai contoh, jika perkembangan penyelidikan polisi tentang kasus Ryan belum ada, Anda bisa menulis kisah tentang masa kecil Ryan, sahabat-sahabat Ryan, kebiasaan Ryan, siapa para korban, dan sebagainya.(arief permadi)
ARTIKEL TERKAIT
- Apa itu Berita
- Jenis-jenis Berita
- Ukuran Layak Berita
- Teknik Peliputan
- Bagaimana menulis lead, dll
KLIK DI SINI
Selasa, 21 Oktober 2008
Kode Etik AJI
ALIANSI Jurnalis Independen (AJI) juga menetapkan kode etik untuk para jurnalis yang menjadi anggotanya. Berikut kode etik jurnalistik aliansi tersebut:
Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.
Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan. (Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.)
Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
Kode Etik Jurnalistik
KEMERDEKAAN berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap; menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan "off the record" sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
"Off the record" adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
- Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
- Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
- Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
- Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
- Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
- Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa'a Hia
- Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
- Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
- Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
- Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke M. Nainggolan
- Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
- Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto
- Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
- Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
- Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
- Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max Kawengian
- Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
- Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
- Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
- Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli
- Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses Ramona S.
- Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian-
- Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
- Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
- Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun
- Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
- Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat
Personal Code
KODE Etik Jurnalistik seringkali hanya bersifat umum. Itu sebabnya seringkali masih menyisakan sejumlah pertanyaan, misalnya: apakah etis memata-matai kehidupan publik seorang tokoh, atau bolehkah menjadi anggota partai politik tertentu? Di sini, biasanya seorang wartawan memiliki Kode Etik Pribadi (Personal Code).
Kebanyakan kita bisa dengan membedakan yang benar dari yang salah. Kepekaan moral kita dipengaruhi oleh orangtua, sekolah dan keyakinan agama. Banyak panduan kode kita datang dari bacaan atau teman-teman di sekeliling kita.
Kendati loyalitas pada teman merupakan sikap yang dihargai, wartawan harus menjawab tuntutan lebih besar dalam loyalitasnya, dan itu adalah loyalitas pada masyarakat. Wartawan bisa menggunakan tanggungjawab sosialnya sebagai basis untuk membentuk Kode Etik Pribadi.
Tanggung jawab. Kewartawananan, sekali lagi, adalah sebuah jasa publik. Para wartawan semestinya bebas dari ikatan komitmen atau kewajiban terhadap kelompok tertentu. Wartawan harus meletakkan ''tanggung-jawab kepada publik'' di atas kepentingan diri sendiri serta di atas loyalitasnya kepada kepada perusahaan tempat dia bekerja, kepada suatu partai politik, atau kepada kelompok dan teman-teman terdekatnya.
Independensi. Meneruskan informasi adalah tugas wartawan. Jika sumber berita atau teman meminta dia untuk merahasiakan informasi, si wartawan harus menimbang permintaan itu dalam konteks komitmennya untuk memberikan informasi kepada publik. Jika atasan atau perusahaan tempatnya bekerja membunuh seluruh atau sebagian dari berita yang ditulisnya dengan alasan bisa merusak dari sisi bisnis, memburukkan pemasang iklan atau teman dari pemilik koran, si wartawan harus mengkonfrontasikan situasi tadi dari perspektif moral yang sama -- kewajiban untuk melaporkan kebenaran.
Dalam dua kasus itu, tindakan yang harus diambil oleh wartawan adalah jelas: puas melihat bahwa informasi/kebenaran mencapai pembacanya.
Pemerintah seringkali ingin merahasiakan sesuatu karena alasan ''kepentingan nasional''. Dalam hal itu seorang wartawan berhadapan dengan sebuah dilema. Dalam sebuah masyarakat demokratis, publik berhak tahu apa yang dilakukan pemerintah. Pada saat yang sama, mengungkapkan sesuatu informasi bisa membahayakan keamanan, termasuk keamanan publik. Ini juga pada akhirnya terpulang pada Kode Etik Pribadi yang intinya wartawan harus melayani publik dengan memberi imbangan kepada kekuasaan, termasuk kekuasaan pemerintah.
Rindu pada Kebenaran. Setiap wartawan paham bahwa mereka harus bisa dipercaya. Tapi apakah kebenaran itu? Pertama-tama: apa yang dilaporkan harus merupakan hasil reportase yang akurat, misalnya bahwa apa yang dikatakan seorang sumber dalam interview adalah memang benar-benar seperti dikatakannya. Namun, wartawan yang rindu pada kebenaran tak puas hanya dengan itu. Dia menuntut diri untuk bisa menggali kebenaran, menyingkap lapisan-lapisan kejadian yang bisa menghalangi penglihatan publik pada kebenaran.
Untuk itu wartawan harus memiliki sikap tega terhadap orang atau tindakan yang merugikan masyarakat. Wartawan prihatin dengan para korban tindakan tak fair, ilegal serta diskriminatif. Mereka melihat tindakan seperti itu sebagai pencemar dalam masyarakat.
Untuk menyingkap kebenaran wartawan seringkali melakukan investigative reporting. Kadang dengan cara menyamar. Menyamar bukanlah tindakan yang etis, namun dibenarkan untuk situasi tertentu. Dalam situasi kritis, wartawan boleh menggunakan taktik atau teknik yang dalam situasi lain tidak etis. Namun, taktik seperti itu harus diberitahukan kepada pembaca.
Kebenaran hakiki barangkali tak pernah bisa ditemukan di dunia ini, namun seorang wartawan harus berusaha keras untuk mencapainya.
Untuk itu ada sejumlah hal yang bisa menjadi Kode Etik Pribadi, yakni:
- Kesediaan untuk mengakui kesalahan.
- Berusaha keras mengikuti fakta, meski fakta itu bergerak ke arah yang tidak disukai atau tidak disetujuinya.
- Komitmen untuk senantiasa memperbaiki diri (belajar dan berusaha keras) sebagai wartawan sehingga bisa lebih baik melayani mereka yang berharap bahwa si wartawan adalah mata dan telinga mereka.
- Melawan godaan akan pujian, uang, popularitas dan kekuasaan jika itu semua berdiri di depan perjalanan menuju kebenaran.
- Tekad untuk membuat masyarakat menjadi tempat yang baik untuk semua anggotanya, terutama orang-orang muda di sekolah, mereka yang sakit, mereka yang miskin tanpa pekerjaan, mereka yang jompo tanpa harapan dan mereka yang menjadi korban diskriminasi.
Inti dari Kode Etik Pribadi adalah bahwa hanya masing-masing wartawanlah yang tahu apakah dia telah berusaha dengan keras dan memberikan yang terbaik atau tidak.
Kode Etik, baik yang bersifat organisasi maupun pribadi, adalah acuan moral.
Seorang wartawan tidak bisa dihukum jika melanggarnya, namun dia bisa dikenai sanksi moral dari lingkungannya. ( Dikutip utuh dari http://panjisemirang.multiply.com )
Senin, 20 Oktober 2008
Apa Itu Kode Etik Jurnalistik
KODE Etik Jurnalistik adalah acuan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan. Kode Etik Jurnalistik bisa berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain, dari satu koran ke koran lain.
Namun secara umum dia berisi hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya tanggung-jawab seorang wartawan kepada publik pembacanya:
1. Tanggung-jawab
Tugas atau kewajiban seorang wartawan adalah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang mereka hadapi. Wartawan tak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak berdasar.
2. Kebebasan
Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat adalah milik setiap anggota masyarakat (milik publik) dan wartawan menjamin bahwa urusan publik harus diselenggarakan secara publik. Wartawan harus berjuang melawan siapa saja yang mengeksploitasi pers untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
3. Independensi
Wartawan harus mencegah terjadinya benturan-kepentingan (conflict of interest) dalam dirinya. Dia tak boleh menerima apapun dari sumber berita atau terlibat dalam aktifitas yang bisa melemahkan integritasnya sebagai penyampai informasi atau kebenaran.
4. Kebenaran
Wartawan adalah mata, telinga dan indera dari pembacanya. Dia harus senantiasa berjuang untuk memelihara kepercayaan pembaca dengan meyakinkan kepada mereka bahwa berita yang ditulisnya adalah akurat, berimbang dan bebas dari bias.
5. Tak Memihak
Laporan berita dan opini harus secara jelas dipisahkan. Artikel opini harus secara jelas diidentifikasikan sebagai opini.
6. Adil dan Ksatria (Fair)
Wartawan harus menghormati hak-hak orang dalam terlibat dalam berita yang ditulisnya serta mempertanggungjawab-kan kepada publik bahwa berita itu akurat serta fair. Orang yang dipojokkan oleh sesuatu fakta dalam berita harus diberi hak untuk menjawab.
( Dikutip utuh dari http://panjisemirang.multiply.com )
Namun secara umum dia berisi hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya tanggung-jawab seorang wartawan kepada publik pembacanya:
1. Tanggung-jawab
Tugas atau kewajiban seorang wartawan adalah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang mereka hadapi. Wartawan tak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak berdasar.
2. Kebebasan
Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat adalah milik setiap anggota masyarakat (milik publik) dan wartawan menjamin bahwa urusan publik harus diselenggarakan secara publik. Wartawan harus berjuang melawan siapa saja yang mengeksploitasi pers untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
3. Independensi
Wartawan harus mencegah terjadinya benturan-kepentingan (conflict of interest) dalam dirinya. Dia tak boleh menerima apapun dari sumber berita atau terlibat dalam aktifitas yang bisa melemahkan integritasnya sebagai penyampai informasi atau kebenaran.
4. Kebenaran
Wartawan adalah mata, telinga dan indera dari pembacanya. Dia harus senantiasa berjuang untuk memelihara kepercayaan pembaca dengan meyakinkan kepada mereka bahwa berita yang ditulisnya adalah akurat, berimbang dan bebas dari bias.
5. Tak Memihak
Laporan berita dan opini harus secara jelas dipisahkan. Artikel opini harus secara jelas diidentifikasikan sebagai opini.
6. Adil dan Ksatria (Fair)
Wartawan harus menghormati hak-hak orang dalam terlibat dalam berita yang ditulisnya serta mempertanggungjawab-kan kepada publik bahwa berita itu akurat serta fair. Orang yang dipojokkan oleh sesuatu fakta dalam berita harus diberi hak untuk menjawab.
( Dikutip utuh dari http://panjisemirang.multiply.com )
Rabu, 15 Oktober 2008
Manajemen Perusahaan Pers
PADA bagian terdahulu telah dibahas bahwa manajemen media massa secara umum terbagi atas dua bagian besar, yakni bagian redaksi dan perusahaan. Di bagian perusahaan atau bisnis, pemimpin perusahaan adalah orang yang memiliki otoritas tertinggi. Ia bertanggung jawab menjalankan organisasi perusahaan sehari-hari.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia dibantu para manajer, seperti manajer umum, manajer PSDM, iklan, promosi dan sirkulasi.
Secara umum, pemimpin perusahaan bertanggungjawab atas kelangsungan perusahaan, terutama dari sisi finansial. Ia juga bertanggung jawab atas ketersediaan dan terpeliharannya sumber daya. Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya, terus berkoordinasi dengan pemimpin redaksi dalam menjalankan kegiatannya yang berhubungan dengan keredaksian, bertanggung jawab pada pemimpin umum.
Terkait rumah tangga perusahaan, seorang pemimpin perusahaan dibatu oleh menejer umum. Ia bertanggung jawab dalam mengurusi pengadaan dan pemeliharaan barang, merchandise, dan sebagainya. Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan sumber daya manusia, pemimpin perusahaan dibantu oleh seorang manajer PSDM (pengembangan sumber daya manusia). Menejer ini bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan SDM. Bertanggung jawab mengatur masalah rekruitmen, penilaian dan penghentian karyawan, mengatur kebijakan libur, cuti, sakit, dan sebagainya. Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Hal yang saja juga berlaku untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan iklan. Untuk urusan ini pemimpin perusahaan dibantu oleh seorang manajer iklan, yang bertugas membuat berbagai terobosan, yang intinya dapat meningkatkan pendapatan perusahaan dari sektor yang dikendalikannya. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang menejer iklan wajib berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Terkait masalah promosi, pemimpin perusahaan juga dibantu oleh seorang menejer. Menejer promosi ini bertanggung jawab membuat berbagai terobosan yang intinya dapat meningkatkan citra produk dan perusahaan, yang pada akhirnya dapat mendongkrak pemasukan baik dari sisi iklam maupun penjualan. Dan seperti yang lain, dalam melaksanakan tugasnya, menejer promosi wajib berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Tugas penting lainnya yang dibebankan pada pemimpin perusahaan adalah masalah sirkulasi. Karena itu, untuk hal tersebut pemimpin perusahaan dibantu seorang menejer yang bertanggung jawab atas penyebaran dan penjualan produk. Menejer ini harus mampu membuat berbagai terobosan hingga produknya benar-benar tersebar di pasaran dan terjual baik di tingkat eceran maupun pelanggan. Sementara dalam melaksanakan tugasnya, menejer tersebut tetap harus berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Bagian yang juga tak kalah penting harus ada adalah sekretaris perusahaan. Melalui dirinya serangkaian surat-surat masuk dan keluar, melalui dirinyalah semua rapat-rapat terkait perusahaan terkoordinasi dan terselenggara dengan baik. Ia juga menjalankan fungsi-fungsi public relation, dan melakukan beragam terobosan dengan tujuan menciptakan kenyamanan komunikasi, baik antara karyawan dengan karyawan, karyawan dengan atasan, atau antara perusahaan dan pihak lain.
Pemimpin Perusahaan
Bertanggungjawab atas kelangsungan perusahaan, terutama dari sisi finansial.
Ia juga bertanggung jawab atas tersedia dan terpeliharannya sumber daya.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin umum.
B. Manajer Umum
Bertanggung jawab atas kelangsungan rumah tangga perusahaan.
Bertanggung jawab dalam mengurusi pengadaan dan pemeliharaan barang, merchandise, dan sebagainya.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
C. Manajer PSDM
Bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan SDM.
Bertanggung jawab mengatur masalah rekruitmen dan penilaian dan penghentian karyawan, mengatur kebijakan libur, cuti, sakit, dan sebagainya.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
D. Manajer Iklan
Bertanggung jawab pada segala hal yang berkaitan dengan iklan.
Membuat berbagai terobosan, yang intinya dapat meningkatkan pendapatan perusahaan dari sektor yang dikendalikannya.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
E. Manajer Promosi
Bertanggung jawab pada segala hal yang berkaitan dengan promosi.
Membuat berbagai terobosan yang intinya dapat meningkatkan citra produk dan perusahaan, yang pada akhirnya dapat mendongkrak pemasukan baik dari sisi iklam maupun penjualan.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
F. Manajer Sirkulasi
Bertanggung jawab atas penyebaran dan penjualan produk.
Melakukan berbagai terobosan hingga produknya benar-benar tersebar di pasaran dan terjual baik di tingkat eceran maupun pelanggan.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
Catatan
Di beberapa perusahaan penerbitan, pola manajerial perusahaan sangat mungkin lebih rumit dari yang dipapakan di atas, namun mungkin pula jauh lebih sederhana. Tak ada patokan pasti bagaimana susunan manajerial ini harus dibuat, sebab yang penting bukanlah susunannya melainkan adanya kepastian bahwa fungsi-fungsi manajerial dapat berjalan secara maksimal.(arief permadi)
Dalam melaksanakan tugasnya, ia dibantu para manajer, seperti manajer umum, manajer PSDM, iklan, promosi dan sirkulasi.
Secara umum, pemimpin perusahaan bertanggungjawab atas kelangsungan perusahaan, terutama dari sisi finansial. Ia juga bertanggung jawab atas ketersediaan dan terpeliharannya sumber daya. Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya, terus berkoordinasi dengan pemimpin redaksi dalam menjalankan kegiatannya yang berhubungan dengan keredaksian, bertanggung jawab pada pemimpin umum.
Terkait rumah tangga perusahaan, seorang pemimpin perusahaan dibatu oleh menejer umum. Ia bertanggung jawab dalam mengurusi pengadaan dan pemeliharaan barang, merchandise, dan sebagainya. Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan sumber daya manusia, pemimpin perusahaan dibantu oleh seorang manajer PSDM (pengembangan sumber daya manusia). Menejer ini bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan SDM. Bertanggung jawab mengatur masalah rekruitmen, penilaian dan penghentian karyawan, mengatur kebijakan libur, cuti, sakit, dan sebagainya. Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Hal yang saja juga berlaku untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan iklan. Untuk urusan ini pemimpin perusahaan dibantu oleh seorang manajer iklan, yang bertugas membuat berbagai terobosan, yang intinya dapat meningkatkan pendapatan perusahaan dari sektor yang dikendalikannya. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang menejer iklan wajib berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Terkait masalah promosi, pemimpin perusahaan juga dibantu oleh seorang menejer. Menejer promosi ini bertanggung jawab membuat berbagai terobosan yang intinya dapat meningkatkan citra produk dan perusahaan, yang pada akhirnya dapat mendongkrak pemasukan baik dari sisi iklam maupun penjualan. Dan seperti yang lain, dalam melaksanakan tugasnya, menejer promosi wajib berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Tugas penting lainnya yang dibebankan pada pemimpin perusahaan adalah masalah sirkulasi. Karena itu, untuk hal tersebut pemimpin perusahaan dibantu seorang menejer yang bertanggung jawab atas penyebaran dan penjualan produk. Menejer ini harus mampu membuat berbagai terobosan hingga produknya benar-benar tersebar di pasaran dan terjual baik di tingkat eceran maupun pelanggan. Sementara dalam melaksanakan tugasnya, menejer tersebut tetap harus berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Bagian yang juga tak kalah penting harus ada adalah sekretaris perusahaan. Melalui dirinya serangkaian surat-surat masuk dan keluar, melalui dirinyalah semua rapat-rapat terkait perusahaan terkoordinasi dan terselenggara dengan baik. Ia juga menjalankan fungsi-fungsi public relation, dan melakukan beragam terobosan dengan tujuan menciptakan kenyamanan komunikasi, baik antara karyawan dengan karyawan, karyawan dengan atasan, atau antara perusahaan dan pihak lain.
Pemimpin Perusahaan
Bertanggungjawab atas kelangsungan perusahaan, terutama dari sisi finansial.
Ia juga bertanggung jawab atas tersedia dan terpeliharannya sumber daya.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin umum.
B. Manajer Umum
Bertanggung jawab atas kelangsungan rumah tangga perusahaan.
Bertanggung jawab dalam mengurusi pengadaan dan pemeliharaan barang, merchandise, dan sebagainya.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
C. Manajer PSDM
Bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan SDM.
Bertanggung jawab mengatur masalah rekruitmen dan penilaian dan penghentian karyawan, mengatur kebijakan libur, cuti, sakit, dan sebagainya.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
D. Manajer Iklan
Bertanggung jawab pada segala hal yang berkaitan dengan iklan.
Membuat berbagai terobosan, yang intinya dapat meningkatkan pendapatan perusahaan dari sektor yang dikendalikannya.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
E. Manajer Promosi
Bertanggung jawab pada segala hal yang berkaitan dengan promosi.
Membuat berbagai terobosan yang intinya dapat meningkatkan citra produk dan perusahaan, yang pada akhirnya dapat mendongkrak pemasukan baik dari sisi iklam maupun penjualan.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
F. Manajer Sirkulasi
Bertanggung jawab atas penyebaran dan penjualan produk.
Melakukan berbagai terobosan hingga produknya benar-benar tersebar di pasaran dan terjual baik di tingkat eceran maupun pelanggan.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia berkoordinasi dengan bagian lain, dan dapat mendelegasikan wewenangnya pada bagian lain sesuai porsinya masing-masing.
Menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya
Bertanggung jawab pada pemimpin perusahaan.
Catatan
Di beberapa perusahaan penerbitan, pola manajerial perusahaan sangat mungkin lebih rumit dari yang dipapakan di atas, namun mungkin pula jauh lebih sederhana. Tak ada patokan pasti bagaimana susunan manajerial ini harus dibuat, sebab yang penting bukanlah susunannya melainkan adanya kepastian bahwa fungsi-fungsi manajerial dapat berjalan secara maksimal.(arief permadi)
MANAJEMEN REDAKSI
PADA bagian terdahulu telah dibahas bahwa manajemen media massa secara umum terbagi atas dua bagian besar, yakni bagian redaksi dan perusahaan.
Bagian redaksi membawahi semua kegiatan yang berhubungan dengan produk, yakni berita, mulai dari perencanaan peliputan, pencarian berita, pengolahan data, pecancangan halaman dan layout. Sementara perusahaan membawahi segala kegiatan terkait pemasaran produk, produksi, promosi, sirkulasi, iklan, pengelolaan SDM, berbagai perjanjian kerjasama, dan sebagainya. Semua kegiatan baik pada bagian redaksi maupun perusahaan, dipimpin oleh seorang pemimpin umum.
Dalam kata lain, pemimpin umum bertanggung jawab menjalankan organisasi perusahaan secara keseluruhan, memegang otoritas tertinggi dari seluruh kegiatan yang ada di dalam perusahaan, membawahi semua unit, baik yang ada di dalam lingkup keredaksian maupun perusahaan, namun pada kondisi tertentu tetap menjalankan fungsi kewartawanan dalam porsi yang disesuaikan.
Karena tugas dan wewenang yang begitu besar dari seorang pemimpin umum, mereka yang berada pada posisi ini selalu dibantu oleh seorang pemimpin redaksi dan seorang pemimpin perusahaan. Jika dibuat perumpamaan, keduanya merupakan tangan kiri dan tangan kanan pemimpin umum, di mana yang satu tidak lebih penting dari yang lain.
Di bagian redaksi, pemimpin redaksi adalah orang yang memiliki otoritas tertinggi. Ia bertanggung jawab menjalankan organisasi keredaksian sehari-hari, dan pada kondisi tertentu tetap menjalankan fungsi kewartawanan dalam porsi yang disesuaikan.
Ia juga bertugas melakukan pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang berada di bawahnya, yakni redaktur pelaksana, koordinator peliputan, manajer produksi, para redaktur, wartawan, layouter, design grafis, hingga tenaga pracetak. Pemimpin redaksi, bertanggung jawab pada pemimpin umum.
Secara garis komando, koordinator peliputan berada setingkat dengan manajer produksi. Keduanya bertanggungjawab pada redaktur pelaksana.
Koordinator peliputan membawahi redaktur dan wartawan. Sementara redaktur, membawahi wartawan, baik itu wartawan tulis maupun wartawan foto.
Manajer produksi adalah penguasa tertinggi pada saat produksi. Pada saat itu, ia membawahi pengelola halaman, para editor, layouter, dan tenaga pracetak. Ia juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa produk yang dibuat akan laku di pasaran, sekaligus aman.
Redaktur Bidang membawahi dan mengkoordinasi wartawan dan koresponden. Ia bertugas membuat perencanan sehari-hari, baik mengenai hal baru, follow up, maupun penggalian suatu topik/isu yang telah, belum atau sedang diberitakan sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Memberi arahan (konsultasi) dan pengawasan kepada para reporter atas rencana liputan, penyelenggaraan lapangan, serta hasil liputan, seperti menentukan dan mempertajam angle (sudut pandang), lead (teras berita), kelengkapan data termasuk dukungan data dokumentasi/kepustakaan, menambah wawasan penyajian, dan menentukan pembuatan ilustrasi, foto dan grafis. Melakukan editing dari setiap tulisan, foto, ilustrasi dan grafis. Menurunkan berita dan kelengkapannya sesuai jadwal.
Menurunkan tulisan, foto, caption foto, ilustrasi dan grafis yang aman, menarik dan tajam sekaligus bersih dari kesalahan ketik. Menyangkut tulisan/foto yang dibuat sendiri oleh redaktur, demi etika dan filterisasi, wajib dibaca dahulu oleh koordinator peliputan, manpros atau redaktur pelaksana.
Memberi masukan pada petugas tata wajah/layout dalam memdesain halam. Bertanggung jawab penuh atas berita/ foto/ilustrasi/grafis yang diturunkan sesuai bidangnya masing-masing. Menyelenggarakan rapat evaluasi sekali dalam seminggu (atau dalam waktu yang disepakati), terutama menyangkut kualitas pemberitaan dan penerapan konsep media. Khusus desk daerah, diselenggarakan setidaknya satu bulan sekali seminggu (atau dalam waktu yang disepakati), baik secara terlulis maupun lisan.
Memberikan masukan pada korlip maupun sekred secara periodik mengenai perkembangan prestasi kerja wartawan/koresponden.
Tugas lainnya adalah menghadiri rapat budgetting. Pada kondisi tertentu tetap menjalankan fungsi kewartawanan dalam porsi yang disesuaikan, dan tentu saja menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya. Ia bertanggung jawab pada koordinator peliputan.
Redaktur Foto, melaksanakan tugas koordinasi dengan para fotografer. Bersama koordinator peliputan dan atau manajer produksi membuat perencanaan foto untuk master tiap halaman.
Bersama redaktur bidang ikut membuat perencanaan pembuatan foto-foto baik sebagai pendukung liputan maupun foto lepas. Wajib mengikuti rapat budgeting dan melaporkan hasil foto yang diperoleh.
Wajib memenuhi permintaan foto baik dari redaktur bidang, manprod, korlip maupun redpel.
Menyelenggarakan rapat evaluasi bersama korlip dan redpel mengenai hasil foto yang diperoleh secara berkala. Menyelenggarakan rapat koordinasi dengan bagian dokumentasi terkait pengarsipan foto-foto yang diperoleh. Bertanggung jawab pada korlip.
Reporter/koresponden bertugas melakukan kegiatan reportase dan menuliskannya sesuai dengan konsep media yang telah ditentukan, baik atas inisiatif sendiri maupun penugasan dari redaktur bidang atau koordinator peliputan. Membuat rencana peliputan, baik harian, mingguan atau bulanan,dan mengajukannya pada redaktur bidang masing-masing.
Wajib mengikuti proyeksi yang dilakukan redaktur. Ia juga wajib mempelajari dan menambah wawasan mengenai topik masalah yang akan diliput dengan berkonsulatsi terlebih dahulu denganredaktur bidang masing-masing. Wajib mendaftarkan atau melaporkan perkembangan hasil di lapangan pada redaktur. Untuk hal-hal tertentu, pelaporan perkembangan dilakukan jam demi jam, atau bahkan lebih sering.
Wajib berkonsultasi dengan redaktur masing-masing terkait hasil liputan di lapangan. Hal-hal yang dikonsultasikan meliputi pemilihan angle, lead, bentuk penyajian, kebutuhan grafis, ilustrasi, dan hal teknis lainnya.
Ia wajib melengkapi dan menyempurnakan bahan-bahan tulisan yang diperoleh dari lapangan dengan bahan/dokumentasi kepustakaan, dan semaksimal mungkin membersihkan tulisannyang dibuatnya dari kesalahan ketik, penalaran dan logika.
Jika diminta, wajib mendampingi redaktur pada saat editing. Jika mengetahui ada peristiwa/informasi pentng baik di bidang yang ia garap maupun di luar bidang yang ia garap, wajib melaporkannya pada redaktur/korlip pada kesempatan pertama. Bertanggung jawab pada redaktur bidang masing masing.
Selain semua unit kerja tadi, Salah satu unit kerja yang tak kalah penting adalah sekretaris redaksi. Ia bertanggung jawab atas perencanaan, pengadaan, pengembangan dan keuangan redaksi. Ia juga bertanggung jawab atas pengadaan tenaga di redaksi serta sarana pendukungnya. Ia pula yang menyelenggarakan kegiatan monitoring prestasi wartawan serta membuat evaluasi hasil kerja wartawan/koresponden.
Namun, di samping serangkaian tugas berat tadi, sekretaris redaksi juga bertugas menyampaikan berbagai informasi dan perkembangan baik di dalam maupun di luar redaksi pada pemred dan redpel. Ia bertugas mengatur, menyelenggarakan dan menghadiri rapat-rapat redaksi. Menangani administrasi agenda keredaksian dan perencanaan peliputan, serta bertanggung jawab pada pemred dan redpel.
Catatan
Di beberapa perusahaan surat kabar, beberapa bagian seperti dewan redaksi, kabag litbang data dan dokumentasi, dewan redaksi, redaktur artistik, redaktur bahasa, dan redaktur ahli juga kerap ada dalam susunan manajemen redaksional. Namun, banyak pula perusahaan surat kabar yang hanya menjalankan fungsi-fungsi dewan redaksi, kabag litbang data dan dokumentasi, redaktur artistik, redaktur bahasa, dan redaktur ahli ini sesuai kebutuhan tanpa membuatnya sebagai lembaga tersendiri.
Dewan Redaksi
Posisi dewan redaksi umumnya berada di bawah pemimpin redaksi, namun pemimpin redaksi tidak memiliki alur komando kepada dewan redaksi.
Dewan Redaksi umumnya terdiri dari pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, koordinator peliputan, manajer produksi, dan beberapa lainnya yang dipilih oleh pemred karena keahliannya.
Dewan redaksi bertugas memberikan masukan dan arahan terutama yang terkait kebijakan redaksional untuk kemudian dilaksanakan oleh jajaran redaksi.
Kabag Data dan Komunikasi
Sebuah perusahaan suratkabar, umumnya juga memiliki lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) data dan dokumentasi yang dipimpin oleh seorang kepala bagian. Bagian ini bertugas mendokumentasikan data, mengolah data-data yang ada, melakukan penelitian terkait data-data yang mereka punyai dan memberi masukan pada jajaran redaksi terkait tren pembaca, situasi pasar, dan sebagainya. Pada hal-hal tertentu, hasil penelitian mereja juga dapat dipublikasikan sebagai karya jurnalistik.
Redaktur Artistik
Redaktur artistik bertanggungjawab pada tampilan perwajahan setiap halaman suratkabar. Di beberapa perusahaan fungsi ini terkadang dirangkap oleh manajer produksi, bahkan ada pula yang dirangkap oleh layouter.
Redaktur Bahasa
Redaktur bahasa bertanggungjawab pada bahasa yang digunakan pada surat kabar. Ia memastikan bahwa bahasa yang digunakan sudah memenuhi kriteria gaya surat kabar tempatnya bekerja, sekaligus memenuhi kaidah-kaidah tatabahasa yang baik, benar, dan dapat diterima.(arief permadi)
Bagian redaksi membawahi semua kegiatan yang berhubungan dengan produk, yakni berita, mulai dari perencanaan peliputan, pencarian berita, pengolahan data, pecancangan halaman dan layout. Sementara perusahaan membawahi segala kegiatan terkait pemasaran produk, produksi, promosi, sirkulasi, iklan, pengelolaan SDM, berbagai perjanjian kerjasama, dan sebagainya. Semua kegiatan baik pada bagian redaksi maupun perusahaan, dipimpin oleh seorang pemimpin umum.
Dalam kata lain, pemimpin umum bertanggung jawab menjalankan organisasi perusahaan secara keseluruhan, memegang otoritas tertinggi dari seluruh kegiatan yang ada di dalam perusahaan, membawahi semua unit, baik yang ada di dalam lingkup keredaksian maupun perusahaan, namun pada kondisi tertentu tetap menjalankan fungsi kewartawanan dalam porsi yang disesuaikan.
Karena tugas dan wewenang yang begitu besar dari seorang pemimpin umum, mereka yang berada pada posisi ini selalu dibantu oleh seorang pemimpin redaksi dan seorang pemimpin perusahaan. Jika dibuat perumpamaan, keduanya merupakan tangan kiri dan tangan kanan pemimpin umum, di mana yang satu tidak lebih penting dari yang lain.
Di bagian redaksi, pemimpin redaksi adalah orang yang memiliki otoritas tertinggi. Ia bertanggung jawab menjalankan organisasi keredaksian sehari-hari, dan pada kondisi tertentu tetap menjalankan fungsi kewartawanan dalam porsi yang disesuaikan.
Ia juga bertugas melakukan pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang berada di bawahnya, yakni redaktur pelaksana, koordinator peliputan, manajer produksi, para redaktur, wartawan, layouter, design grafis, hingga tenaga pracetak. Pemimpin redaksi, bertanggung jawab pada pemimpin umum.
Secara garis komando, koordinator peliputan berada setingkat dengan manajer produksi. Keduanya bertanggungjawab pada redaktur pelaksana.
Koordinator peliputan membawahi redaktur dan wartawan. Sementara redaktur, membawahi wartawan, baik itu wartawan tulis maupun wartawan foto.
Manajer produksi adalah penguasa tertinggi pada saat produksi. Pada saat itu, ia membawahi pengelola halaman, para editor, layouter, dan tenaga pracetak. Ia juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa produk yang dibuat akan laku di pasaran, sekaligus aman.
Redaktur Bidang membawahi dan mengkoordinasi wartawan dan koresponden. Ia bertugas membuat perencanan sehari-hari, baik mengenai hal baru, follow up, maupun penggalian suatu topik/isu yang telah, belum atau sedang diberitakan sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Memberi arahan (konsultasi) dan pengawasan kepada para reporter atas rencana liputan, penyelenggaraan lapangan, serta hasil liputan, seperti menentukan dan mempertajam angle (sudut pandang), lead (teras berita), kelengkapan data termasuk dukungan data dokumentasi/kepustakaan, menambah wawasan penyajian, dan menentukan pembuatan ilustrasi, foto dan grafis. Melakukan editing dari setiap tulisan, foto, ilustrasi dan grafis. Menurunkan berita dan kelengkapannya sesuai jadwal.
Menurunkan tulisan, foto, caption foto, ilustrasi dan grafis yang aman, menarik dan tajam sekaligus bersih dari kesalahan ketik. Menyangkut tulisan/foto yang dibuat sendiri oleh redaktur, demi etika dan filterisasi, wajib dibaca dahulu oleh koordinator peliputan, manpros atau redaktur pelaksana.
Memberi masukan pada petugas tata wajah/layout dalam memdesain halam. Bertanggung jawab penuh atas berita/ foto/ilustrasi/grafis yang diturunkan sesuai bidangnya masing-masing. Menyelenggarakan rapat evaluasi sekali dalam seminggu (atau dalam waktu yang disepakati), terutama menyangkut kualitas pemberitaan dan penerapan konsep media. Khusus desk daerah, diselenggarakan setidaknya satu bulan sekali seminggu (atau dalam waktu yang disepakati), baik secara terlulis maupun lisan.
Memberikan masukan pada korlip maupun sekred secara periodik mengenai perkembangan prestasi kerja wartawan/koresponden.
Tugas lainnya adalah menghadiri rapat budgetting. Pada kondisi tertentu tetap menjalankan fungsi kewartawanan dalam porsi yang disesuaikan, dan tentu saja menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan pada unit kerja yang dibawahinya. Ia bertanggung jawab pada koordinator peliputan.
Redaktur Foto, melaksanakan tugas koordinasi dengan para fotografer. Bersama koordinator peliputan dan atau manajer produksi membuat perencanaan foto untuk master tiap halaman.
Bersama redaktur bidang ikut membuat perencanaan pembuatan foto-foto baik sebagai pendukung liputan maupun foto lepas. Wajib mengikuti rapat budgeting dan melaporkan hasil foto yang diperoleh.
Wajib memenuhi permintaan foto baik dari redaktur bidang, manprod, korlip maupun redpel.
Menyelenggarakan rapat evaluasi bersama korlip dan redpel mengenai hasil foto yang diperoleh secara berkala. Menyelenggarakan rapat koordinasi dengan bagian dokumentasi terkait pengarsipan foto-foto yang diperoleh. Bertanggung jawab pada korlip.
Reporter/koresponden bertugas melakukan kegiatan reportase dan menuliskannya sesuai dengan konsep media yang telah ditentukan, baik atas inisiatif sendiri maupun penugasan dari redaktur bidang atau koordinator peliputan. Membuat rencana peliputan, baik harian, mingguan atau bulanan,dan mengajukannya pada redaktur bidang masing-masing.
Wajib mengikuti proyeksi yang dilakukan redaktur. Ia juga wajib mempelajari dan menambah wawasan mengenai topik masalah yang akan diliput dengan berkonsulatsi terlebih dahulu denganredaktur bidang masing-masing. Wajib mendaftarkan atau melaporkan perkembangan hasil di lapangan pada redaktur. Untuk hal-hal tertentu, pelaporan perkembangan dilakukan jam demi jam, atau bahkan lebih sering.
Wajib berkonsultasi dengan redaktur masing-masing terkait hasil liputan di lapangan. Hal-hal yang dikonsultasikan meliputi pemilihan angle, lead, bentuk penyajian, kebutuhan grafis, ilustrasi, dan hal teknis lainnya.
Ia wajib melengkapi dan menyempurnakan bahan-bahan tulisan yang diperoleh dari lapangan dengan bahan/dokumentasi kepustakaan, dan semaksimal mungkin membersihkan tulisannyang dibuatnya dari kesalahan ketik, penalaran dan logika.
Jika diminta, wajib mendampingi redaktur pada saat editing. Jika mengetahui ada peristiwa/informasi pentng baik di bidang yang ia garap maupun di luar bidang yang ia garap, wajib melaporkannya pada redaktur/korlip pada kesempatan pertama. Bertanggung jawab pada redaktur bidang masing masing.
Selain semua unit kerja tadi, Salah satu unit kerja yang tak kalah penting adalah sekretaris redaksi. Ia bertanggung jawab atas perencanaan, pengadaan, pengembangan dan keuangan redaksi. Ia juga bertanggung jawab atas pengadaan tenaga di redaksi serta sarana pendukungnya. Ia pula yang menyelenggarakan kegiatan monitoring prestasi wartawan serta membuat evaluasi hasil kerja wartawan/koresponden.
Namun, di samping serangkaian tugas berat tadi, sekretaris redaksi juga bertugas menyampaikan berbagai informasi dan perkembangan baik di dalam maupun di luar redaksi pada pemred dan redpel. Ia bertugas mengatur, menyelenggarakan dan menghadiri rapat-rapat redaksi. Menangani administrasi agenda keredaksian dan perencanaan peliputan, serta bertanggung jawab pada pemred dan redpel.
Catatan
Di beberapa perusahaan surat kabar, beberapa bagian seperti dewan redaksi, kabag litbang data dan dokumentasi, dewan redaksi, redaktur artistik, redaktur bahasa, dan redaktur ahli juga kerap ada dalam susunan manajemen redaksional. Namun, banyak pula perusahaan surat kabar yang hanya menjalankan fungsi-fungsi dewan redaksi, kabag litbang data dan dokumentasi, redaktur artistik, redaktur bahasa, dan redaktur ahli ini sesuai kebutuhan tanpa membuatnya sebagai lembaga tersendiri.
Dewan Redaksi
Posisi dewan redaksi umumnya berada di bawah pemimpin redaksi, namun pemimpin redaksi tidak memiliki alur komando kepada dewan redaksi.
Dewan Redaksi umumnya terdiri dari pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, koordinator peliputan, manajer produksi, dan beberapa lainnya yang dipilih oleh pemred karena keahliannya.
Dewan redaksi bertugas memberikan masukan dan arahan terutama yang terkait kebijakan redaksional untuk kemudian dilaksanakan oleh jajaran redaksi.
Kabag Data dan Komunikasi
Sebuah perusahaan suratkabar, umumnya juga memiliki lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) data dan dokumentasi yang dipimpin oleh seorang kepala bagian. Bagian ini bertugas mendokumentasikan data, mengolah data-data yang ada, melakukan penelitian terkait data-data yang mereka punyai dan memberi masukan pada jajaran redaksi terkait tren pembaca, situasi pasar, dan sebagainya. Pada hal-hal tertentu, hasil penelitian mereja juga dapat dipublikasikan sebagai karya jurnalistik.
Redaktur Artistik
Redaktur artistik bertanggungjawab pada tampilan perwajahan setiap halaman suratkabar. Di beberapa perusahaan fungsi ini terkadang dirangkap oleh manajer produksi, bahkan ada pula yang dirangkap oleh layouter.
Redaktur Bahasa
Redaktur bahasa bertanggungjawab pada bahasa yang digunakan pada surat kabar. Ia memastikan bahwa bahasa yang digunakan sudah memenuhi kriteria gaya surat kabar tempatnya bekerja, sekaligus memenuhi kaidah-kaidah tatabahasa yang baik, benar, dan dapat diterima.(arief permadi)
Senin, 13 Oktober 2008
Tanda Baca
KESALAHAN bahasa kerap bersumber dari kesalahan penerapan ejaan, terutama tanda baca. Penyebabnya, antara lain ialah adanya perbedaan konsepsi pengertian tanda baca di dalam ejaan sebelumnya yaitu tanda baca diartikan sebagai tanda bagaimana seharusnya membaca tulisan.
Misalnya, tanda tanya sebagai penandakan intonasi naik. Hal seperti itu sekarang tidak seluruhnya dapat dipertahankan. Perhatikan contoh 1-5. Intonasi kalimat tanya hanya akan naik jika kalimat itu tidak didahului oleh kata tanya (1-5). Namun, jika didahului kata tanya (apa, siapa, bagaimana, mengapa, dan kapan), maka intonasi kalimat tanya tersebut tidak naik (bahkan turun).
Contoh:
(1) Engkau sudah lulus?
(2) Dia tidak ikut ujian?
(3) Engkau akan bekerja?
(4) Dia tidak mau bekerja?
(5) Engkau akan menulis surat permohonan kerja?
Bandingkan dengan kalimat tanya yang berikut:
(1a) Apakah engkau sudah lulus?
(2a) Siapa yang tidak ikut ujian?
(3a) Bagaimana kalau engkau bekerja saja?
(4a) Mengapa dia tidak mau bekerja?
(5a) Kapan engkau akan menulis surat permohonan kerja?
Di dalam konsep pengertian lama, tanda baca berhubungan dengan bagaimana melisankan bahasa tulis, sedangkan dalam ejaan sekarang tanda baca berhubungan dengan bagaimana memahami tulisan (bagi pembaca) atau bagaimana memperjelas isi pikiran (bagi penulis) dalam ragam bahasa tulis. Jadi, bagi pembaca, tanda baca berfungsi untuk membantu pembaca dalam memahami jalan pemikiran penulis; sedangkan bagi penulis, tanda baca berfungsi untuk membantu menjelaskan jalan bagi penulis supaya tulisannya (karangannya) dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca. Misalnya, singkatan yang dipisahkan dengan tanda koma dari nama orang adalah singkatan gelar akademik, seperti Mustara S.H. Jika tidak dipakai tanda koma (Mustara S.H.) singkatan itu diartikan sebagai singkatan nama orang, misalnya, Mustara Hadi. Atau, bagian yang diapit tanda koma adalah keterangan tambahan. Misalnya, 'unsur yang pernah menjuarai All England delapan kali' dan 'mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup' dalam contoh berikut adalah keterangan tambahan (6) dan keterangan aposisi (7).
(6) Rudi Hartono, yang pernah menjuarai All England delapan kali, menjadi pelatih PBSI.
(7) Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup mengatakan bahwa kita harus menjaga kelestarian alam.
Berikut dikemukakan beberapa kesalahan bahasa yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan tanda baca, khususnya tanda koma.
1. Tanda Koma di antara Subjek dan Predikat
Ada kecenderungan penulis menggunakan tanda koma di antara subyek dan predikat kalimat jika nomina subjek mempunyai keterangan yang panjang. Penggunaan tanda koma itu tidak benar karena subjek tidak dipisahkan oleh tanda koma dari predikat, kecuali pasangan tanda koma yang mengapit keterangan tambahan atau keterangan aposisi sebagaimana dikemukakan pada contoh (6) dan (7). Oleh karana itu, penggunaan tanda koma dalam contoh-contoh berikut tidak benar.
(8) Mahasiswa yang akan mengikuti ujian negara, diharapkan mendaftarkan diri di sekretariat.
(9) Tanah bekas hak guna usaha yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, akan ditetapkan kemudian pengaturannya.
(10) Kesediaan negara itu untuk membeli gas alam cair (LNG) Indonesia sebesar dua juta ton setiap tahun, tentu merupakan suatu penambahan baru yang tidak sedikit artinya dalam penerimaan devisa negara.
(11) Para wajib pajak uang dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak mengembalikan surat pemberitahuan (SPT), akan dikenai sanksi yang berupa denda atau hukuman.
Unsur kalimat yang mendahului tanda koma dalam keempat contoh itu adalah subyek, dan unsur kalimat yang mengiringi tanda koma itu (secara berturut-turut 'diharapkan, merupakan, akan ditetapkan, dan akan dikenai') adalah predikat. Oleh karena itu, penggunaan tanda koma itu tidak benar. Keempat kalimat itu dapat diperbaiki dengan menghilangkan tanda koma itu.
2. Tanda Koma di antara Keterangan dan Subyek
Selain subyek, keterangan kalimat yang panjang dan yang menempati posisi awal juga sering dipisahkan oleh tanda koma dari subyek kalimat. Padahal, meskipun panjang, keterangan itu bukan anak kalimat. Oleh karena itu, pemakaian tanda koma seperti itu juga tidak benar, seperti terlihat dalam contoh berikut.
(12) Dalam suatu pernyataan singkat di kantornya, pengusaha itu membantah bekerjasama dengan penyelundup.
(13) Dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, kita akan mengadakan sayembara mengarang tingkat SMTA.
(14) Untuk keperluan belanja sehari-hari, mereka masih bergantung kepada orangtuanya.
(15) Dengan kemenangan yang gemilang itu, pemain andalan kita dapat memboyong piala kembali ke Tanah Air.
Unsur kalimat yang mendahului tanda koma itu adalah keterangan yang bukan merupakan anak kalimat meskipun panjang. Oleh karena itu, tanda koma tersebut dihilangkan, kecuali jika penghilangan tanda koma itu akan menimbulkan ketidakjelasan batas antara keterangan dan subyek seperti dalam contoh berikut.
(15) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak kita memerlukan data dari berbagai pihak, antara lain dari pihak orangtua, sekolah, dan masyarakat tempat tinggalnya.
Kalimat (15) itu dapat menimbulkan salah pengertian karena batas keterangan tidak diketahui secara pasti apakah (15a), (15b), atau (15c) berikut:
(15a) Dalam pemecahan masalah kenakalan // anak kita ...
Keterangan ------------- Subyek
(15b) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak // kita ...
Keterangan ------------- Subyek
(15c) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak kita // ...
Oleh karena itu, perlu digunakan tanda koma untuk membatasi unsur keterangan itu dari subyek (atau unsur kalimat yang berikutnya) seperti (15d) berikut.
(15d) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak, kita memerlukan data dari berbagai pihak, antara lain dari pihak orangtua, sekolah, dan masyarakat tempat tinggalnya.
Tanda koma juga digunakan jika keterangan berupa anak kalimat, karena anak kalimat yang mendahului induk kalimat dipisahkan dengan tanda koma dari induk kalimat meskipun hanya berupa unsur yang pendek (16) dan (17). Dan, sekali lagi, tanda koma itu tidak digunakan untuk memisahkan keterangan dari subyek kalau keterangan itu bukan anak kalimat (18) dan (19) di bawah ini.
3. Tanda Koma di antara Predikat dan Objek
Objek yang berupa anak kalimat juga sering dipisahkan dengan tanda koma dari predikat. Pemakaian tanda koma seperti itu juga tidak benar karena obyek tidak dipisahkan dengan tanda koma dari predikat. Amatilah contoh berikut.
(16) Tokoh pendidikan uang telah pensiun itu mengatakan, bahwa kegiatan anak remaja harus diarahkan pada pertumbuhan kreativitas.
(17) Ibu tidak menceritakan, bagaimana si Kancil keluar dari sumur jebakan itu.
(18) Mereka sedang meneliti, apakah sampah dapat dijadikan komoditas ekspor.
(19) Kami belum mengetahui, kapan penelitian itu akan membuahkan hasil.
Unsur kalimat yang mengiringi tanda koma itu, yang didahului oleh konjungsi ((16) 'bahwa' dan kata tanya (17) 'bagaimana' (70) 'apakah', keempat kalimat tanya itu dihilangkan, sebagaimana dikemukakan di atas di antara obyek dan predikat tidak digunakan tanda koma, kecuali tanda koma yang mengapit keterangan yang berupa anak kalimat (20-21) atau tanda koma yang memisahkan kutipan dari predikat induk kalimat (22-23).
(20) Pejabat itu menegaskan, ketika menjawab pertanyaan wartawan, bahwa kenaikan harga sembilan bahan pokok akan ditekan serendah-rendahnya.
(21) Seorang pedagang mengatakan, sambil melayani pelanggannya, bahwa naiknya harga barang-barang sudah dari agennya.
(22) Pedagang yang lain mengatakan, "Kenaikan harga barang memang bukan dari kami."
(23) Dia menjelaskan, "Sejak dua hari yang lalu pihak agen sudah menaikkan harga."
Tanda koma dalam kedua contoh pertama (20-21) mengapit keterangan yang disisipkan di antara predikat dan obyek. Jadi, tanda koma dalam kedua kalimat itu bukan pemisah obyek dari predikat, melainkan sebagai pengapit anak kalimat keterangan. Oleh karena itu, pemakaian tanda koma itu benar. Di dalam kedua kalimat terakhir (22-23) tanda koma digunakan untuk memisahkan kutipan langsung dari induk kalimat. Penggunaan tanda koma itu juga benar. Penggunaan tanda koma tidak dibenarkan jika obyek kalimat itu bukan kutipan langsung, seperti dalam contoh berikut.
(24) Tokoh tiga zaman itu menegaskan, perkembangan teknologi melaju terlalu cepat dalam dua dasawarsa terakhir ini.
(25) Dokter itu mengatakan, perkawinan usia muda membawa akibat pada keturunan.
Ada orang kaya yang beranggapan bahwa tanda koma itu sebagai pengganti konjungsi 'bahwa' yang mengawali anak kalimat obyek. Namun, hal itu menimbulkan pertanyaan apakah anak kalimat itu merupakan kutipan langsung. Jika kutipan langsung, tentunya anak kalimat ditulis dengan diapit tanda petik (24a) dan (25a)di bawah ini. Jika bukan kutipan langsung, anak kalimat itu perlu diawali 'bahwa' dan tanda koma dihilangkan (25b). Jadi, penggunaan tanda koma, sebagai pengganti konjungsi 'bahwa', dalam kedua contoh itu tidak benar, yang benar adalah yang berikut.
(24a) Tokoh tiga zaman itu menegaskan, "Perkembangan teknologi melaju terlalu cepat dalam dua dasawarsa terakhir ini."
(24b) Tokoh tiga zaman itu menegaskan bahwa perkembangan teknologi melaju terlalu cepat dalam dua dasawarsa terakhir ini.
(25a) Dokter itu mengatakan, "Perkawinan usia muda membawa akibat pada keturunan."
(25b) Dokter itu mengatakan bahwa perkawinan usia muda membawa akibat pada keturunan.
Sumber Primer : Buku Berbahasa Indonesia dengan Benar. Penulis : Dendy Sugono
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Misalnya, tanda tanya sebagai penandakan intonasi naik. Hal seperti itu sekarang tidak seluruhnya dapat dipertahankan. Perhatikan contoh 1-5. Intonasi kalimat tanya hanya akan naik jika kalimat itu tidak didahului oleh kata tanya (1-5). Namun, jika didahului kata tanya (apa, siapa, bagaimana, mengapa, dan kapan), maka intonasi kalimat tanya tersebut tidak naik (bahkan turun).
Contoh:
(1) Engkau sudah lulus?
(2) Dia tidak ikut ujian?
(3) Engkau akan bekerja?
(4) Dia tidak mau bekerja?
(5) Engkau akan menulis surat permohonan kerja?
Bandingkan dengan kalimat tanya yang berikut:
(1a) Apakah engkau sudah lulus?
(2a) Siapa yang tidak ikut ujian?
(3a) Bagaimana kalau engkau bekerja saja?
(4a) Mengapa dia tidak mau bekerja?
(5a) Kapan engkau akan menulis surat permohonan kerja?
Di dalam konsep pengertian lama, tanda baca berhubungan dengan bagaimana melisankan bahasa tulis, sedangkan dalam ejaan sekarang tanda baca berhubungan dengan bagaimana memahami tulisan (bagi pembaca) atau bagaimana memperjelas isi pikiran (bagi penulis) dalam ragam bahasa tulis. Jadi, bagi pembaca, tanda baca berfungsi untuk membantu pembaca dalam memahami jalan pemikiran penulis; sedangkan bagi penulis, tanda baca berfungsi untuk membantu menjelaskan jalan bagi penulis supaya tulisannya (karangannya) dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca. Misalnya, singkatan yang dipisahkan dengan tanda koma dari nama orang adalah singkatan gelar akademik, seperti Mustara S.H. Jika tidak dipakai tanda koma (Mustara S.H.) singkatan itu diartikan sebagai singkatan nama orang, misalnya, Mustara Hadi. Atau, bagian yang diapit tanda koma adalah keterangan tambahan. Misalnya, 'unsur yang pernah menjuarai All England delapan kali' dan 'mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup' dalam contoh berikut adalah keterangan tambahan (6) dan keterangan aposisi (7).
(6) Rudi Hartono, yang pernah menjuarai All England delapan kali, menjadi pelatih PBSI.
(7) Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup mengatakan bahwa kita harus menjaga kelestarian alam.
Berikut dikemukakan beberapa kesalahan bahasa yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan tanda baca, khususnya tanda koma.
1. Tanda Koma di antara Subjek dan Predikat
Ada kecenderungan penulis menggunakan tanda koma di antara subyek dan predikat kalimat jika nomina subjek mempunyai keterangan yang panjang. Penggunaan tanda koma itu tidak benar karena subjek tidak dipisahkan oleh tanda koma dari predikat, kecuali pasangan tanda koma yang mengapit keterangan tambahan atau keterangan aposisi sebagaimana dikemukakan pada contoh (6) dan (7). Oleh karana itu, penggunaan tanda koma dalam contoh-contoh berikut tidak benar.
(8) Mahasiswa yang akan mengikuti ujian negara, diharapkan mendaftarkan diri di sekretariat.
(9) Tanah bekas hak guna usaha yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, akan ditetapkan kemudian pengaturannya.
(10) Kesediaan negara itu untuk membeli gas alam cair (LNG) Indonesia sebesar dua juta ton setiap tahun, tentu merupakan suatu penambahan baru yang tidak sedikit artinya dalam penerimaan devisa negara.
(11) Para wajib pajak uang dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak mengembalikan surat pemberitahuan (SPT), akan dikenai sanksi yang berupa denda atau hukuman.
Unsur kalimat yang mendahului tanda koma dalam keempat contoh itu adalah subyek, dan unsur kalimat yang mengiringi tanda koma itu (secara berturut-turut 'diharapkan, merupakan, akan ditetapkan, dan akan dikenai') adalah predikat. Oleh karena itu, penggunaan tanda koma itu tidak benar. Keempat kalimat itu dapat diperbaiki dengan menghilangkan tanda koma itu.
2. Tanda Koma di antara Keterangan dan Subyek
Selain subyek, keterangan kalimat yang panjang dan yang menempati posisi awal juga sering dipisahkan oleh tanda koma dari subyek kalimat. Padahal, meskipun panjang, keterangan itu bukan anak kalimat. Oleh karena itu, pemakaian tanda koma seperti itu juga tidak benar, seperti terlihat dalam contoh berikut.
(12) Dalam suatu pernyataan singkat di kantornya, pengusaha itu membantah bekerjasama dengan penyelundup.
(13) Dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, kita akan mengadakan sayembara mengarang tingkat SMTA.
(14) Untuk keperluan belanja sehari-hari, mereka masih bergantung kepada orangtuanya.
(15) Dengan kemenangan yang gemilang itu, pemain andalan kita dapat memboyong piala kembali ke Tanah Air.
Unsur kalimat yang mendahului tanda koma itu adalah keterangan yang bukan merupakan anak kalimat meskipun panjang. Oleh karena itu, tanda koma tersebut dihilangkan, kecuali jika penghilangan tanda koma itu akan menimbulkan ketidakjelasan batas antara keterangan dan subyek seperti dalam contoh berikut.
(15) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak kita memerlukan data dari berbagai pihak, antara lain dari pihak orangtua, sekolah, dan masyarakat tempat tinggalnya.
Kalimat (15) itu dapat menimbulkan salah pengertian karena batas keterangan tidak diketahui secara pasti apakah (15a), (15b), atau (15c) berikut:
(15a) Dalam pemecahan masalah kenakalan // anak kita ...
Keterangan ------------- Subyek
(15b) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak // kita ...
Keterangan ------------- Subyek
(15c) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak kita // ...
Oleh karena itu, perlu digunakan tanda koma untuk membatasi unsur keterangan itu dari subyek (atau unsur kalimat yang berikutnya) seperti (15d) berikut.
(15d) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak, kita memerlukan data dari berbagai pihak, antara lain dari pihak orangtua, sekolah, dan masyarakat tempat tinggalnya.
Tanda koma juga digunakan jika keterangan berupa anak kalimat, karena anak kalimat yang mendahului induk kalimat dipisahkan dengan tanda koma dari induk kalimat meskipun hanya berupa unsur yang pendek (16) dan (17). Dan, sekali lagi, tanda koma itu tidak digunakan untuk memisahkan keterangan dari subyek kalau keterangan itu bukan anak kalimat (18) dan (19) di bawah ini.
3. Tanda Koma di antara Predikat dan Objek
Objek yang berupa anak kalimat juga sering dipisahkan dengan tanda koma dari predikat. Pemakaian tanda koma seperti itu juga tidak benar karena obyek tidak dipisahkan dengan tanda koma dari predikat. Amatilah contoh berikut.
(16) Tokoh pendidikan uang telah pensiun itu mengatakan, bahwa kegiatan anak remaja harus diarahkan pada pertumbuhan kreativitas.
(17) Ibu tidak menceritakan, bagaimana si Kancil keluar dari sumur jebakan itu.
(18) Mereka sedang meneliti, apakah sampah dapat dijadikan komoditas ekspor.
(19) Kami belum mengetahui, kapan penelitian itu akan membuahkan hasil.
Unsur kalimat yang mengiringi tanda koma itu, yang didahului oleh konjungsi ((16) 'bahwa' dan kata tanya (17) 'bagaimana' (70) 'apakah', keempat kalimat tanya itu dihilangkan, sebagaimana dikemukakan di atas di antara obyek dan predikat tidak digunakan tanda koma, kecuali tanda koma yang mengapit keterangan yang berupa anak kalimat (20-21) atau tanda koma yang memisahkan kutipan dari predikat induk kalimat (22-23).
(20) Pejabat itu menegaskan, ketika menjawab pertanyaan wartawan, bahwa kenaikan harga sembilan bahan pokok akan ditekan serendah-rendahnya.
(21) Seorang pedagang mengatakan, sambil melayani pelanggannya, bahwa naiknya harga barang-barang sudah dari agennya.
(22) Pedagang yang lain mengatakan, "Kenaikan harga barang memang bukan dari kami."
(23) Dia menjelaskan, "Sejak dua hari yang lalu pihak agen sudah menaikkan harga."
Tanda koma dalam kedua contoh pertama (20-21) mengapit keterangan yang disisipkan di antara predikat dan obyek. Jadi, tanda koma dalam kedua kalimat itu bukan pemisah obyek dari predikat, melainkan sebagai pengapit anak kalimat keterangan. Oleh karena itu, pemakaian tanda koma itu benar. Di dalam kedua kalimat terakhir (22-23) tanda koma digunakan untuk memisahkan kutipan langsung dari induk kalimat. Penggunaan tanda koma itu juga benar. Penggunaan tanda koma tidak dibenarkan jika obyek kalimat itu bukan kutipan langsung, seperti dalam contoh berikut.
(24) Tokoh tiga zaman itu menegaskan, perkembangan teknologi melaju terlalu cepat dalam dua dasawarsa terakhir ini.
(25) Dokter itu mengatakan, perkawinan usia muda membawa akibat pada keturunan.
Ada orang kaya yang beranggapan bahwa tanda koma itu sebagai pengganti konjungsi 'bahwa' yang mengawali anak kalimat obyek. Namun, hal itu menimbulkan pertanyaan apakah anak kalimat itu merupakan kutipan langsung. Jika kutipan langsung, tentunya anak kalimat ditulis dengan diapit tanda petik (24a) dan (25a)di bawah ini. Jika bukan kutipan langsung, anak kalimat itu perlu diawali 'bahwa' dan tanda koma dihilangkan (25b). Jadi, penggunaan tanda koma, sebagai pengganti konjungsi 'bahwa', dalam kedua contoh itu tidak benar, yang benar adalah yang berikut.
(24a) Tokoh tiga zaman itu menegaskan, "Perkembangan teknologi melaju terlalu cepat dalam dua dasawarsa terakhir ini."
(24b) Tokoh tiga zaman itu menegaskan bahwa perkembangan teknologi melaju terlalu cepat dalam dua dasawarsa terakhir ini.
(25a) Dokter itu mengatakan, "Perkawinan usia muda membawa akibat pada keturunan."
(25b) Dokter itu mengatakan bahwa perkawinan usia muda membawa akibat pada keturunan.
Sumber Primer : Buku Berbahasa Indonesia dengan Benar. Penulis : Dendy Sugono
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Kalimat Tanpa Objek atau Pelaku
KALIMAT "Ibu Aminah sudah melahirkan" dianggap sempurna walaupun tidak mengandung objek. Kalimat ini malah akan terkesan lucu atau tersinyalir mengejek jika dibubuhi objek, "Ibu Aminah sudah melahirkan anak", karena tidak lazim.
Objek adalah sesuatu yang mengalami atau menderita atas apa yang disebutkan oleh sebutan kalimat (predikat). Demikianlah definisi objek menurut tata bahasa tradisional. Bagi orang yang pernah belajar salah satu bahasa secara ilmiah, lebih afdol menyimak pula definisi objek menurut tata bahasa struktural, yaitu objek adalah apa/siapa yang pada kalimat pasif akan menjadi subjek. Ya, dalam hal ini kita memang diharapkan telah memahami perbedaan kalimat aktif dan pasif.
Untuk menguji apakah "anak" pada kalimat di atas memang betul-betul objek, kita dapat mencoba menyusun bentuk pasifnya. Hasilnya, "Anak sudah dilahirkan Ibu Aminah". Kalimat terakhir ini terasa janggal dan aneh, tetapi strukturnya betul. Contoh-contoh pasangan "predikat-objek" lain yang objeknya tidak secara eksplisit dimunculkan cukup banyak, misalnya "menyakitkan (hati)", "memusingkan (kepala)", atau "menghanyutkan (perasaan)".
Bentuk-bentuk pasif pasangan-pasangan itu adalah "hati disakitkan", "kepala dipusingkan", dan "perasaan dihanyutkan".
Tentu kita tidak dapat menyalahkan kalimat yang bentuk atau maknanya aneh semata-mata berdasarkan perasaan. Analisis di atas sudah benar. Sekarang hanya ada dua pilihan. Pertama, menyimpulkan bahwa apabila objek sebuah kalimat aktif disembunyikan, penuturnya memang bersiasat supaya kalimatnya tidak muncul atau direkayasa menjadi berbentuk pasif. Kedua, menganulir jabatan objek pada pasangan "predikat-objek" tertentu yang riskan muncul dalam bentuk pasif dan menganggapnya bukan berjabatan objek, melainkan keterangan. (Jadi, kata-kata "anak", "hati", "kepala", dan perasaan" pada konstruksi "melahirkan anak", "menyakitkan hati", "memusingkan kepala", dan "menghanyutkan perasaan" di atas disatukan berjabatan keterangan.)
Unsur kalimat yang menjabat sebagai keterangan bersifat opsional kemunculan dan pemunculannya. Salah satu kalimat contoh yang amat sering ditampilkan dan kemudian dianggap salah adalah "Rumah kami dilempari batu". Disebut salah sebab jika dijadikan kalimat aktif, kalimat itu dapat/mungkin berbunyi "Batu melempari rumah kami". Begitulah, andaikata pejabat keterangan kalimat keliru dikenali sebagai pelaku (atau kesempatan lain sebagai objek sebagaimana kasus di atas sebelum ini).
Kalimat "Rumah kami dilempari batu" sebenarnya harus diuraikan jabatan kalimatnya menjadi: rumah kami = subjek; dilempari = predikat; batu = keterangan. Karena menjabat sebagai keterangan, "batu" tak dapat menjadi subjek bila kalimat itu direkayasa menjadi kalimat aktif. Lantas di mana pelaku dalam kalimat itu? Disembunyikan atau tersembunyi! Kalimat pasif memang sering tampil tanpa jabatan pelaku.
Perhatikan, kalimat-kalimat pasif berikut ini sama sekali tak mensyaratkan munculnya pelaku: "Rumah kami dilempari", "Tanah itu sudah dijual", atau "Dapur sedang dibersihkan". Kemudian perluas kalimat-kalimat itu dengan keterangan dan ujilah. Apakah kalimat-kalimat pasif "Tanah itu sudah dijual murah" dan "Dapur sedang dibersihkan sekarang" layak dipaksakan tampil menjadi kalimat-kalimat aktif "Murah sudah menjual tanah itu" dan "Sekarang sedang membersihkan dapur", sebagaimana "Rumah kami dilempari batu" direkayasa menjadi "Batu melempari rumah".
Tidak seperti banyak bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata karena posisinya dalam kalimat sehingga jabatan sebuah kata dalam kalimat perlu lebih dicermati. Bahasa Jerman umpamanya, memiliki artikel di depan kata benda yang dapat memastikan kedusebuah kata sebagai subjek, objek, atau penyerta.
Sumber Primer : Majalah Intisari, Januari 2007. Penulis: Lie Charlie
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Objek adalah sesuatu yang mengalami atau menderita atas apa yang disebutkan oleh sebutan kalimat (predikat). Demikianlah definisi objek menurut tata bahasa tradisional. Bagi orang yang pernah belajar salah satu bahasa secara ilmiah, lebih afdol menyimak pula definisi objek menurut tata bahasa struktural, yaitu objek adalah apa/siapa yang pada kalimat pasif akan menjadi subjek. Ya, dalam hal ini kita memang diharapkan telah memahami perbedaan kalimat aktif dan pasif.
Untuk menguji apakah "anak" pada kalimat di atas memang betul-betul objek, kita dapat mencoba menyusun bentuk pasifnya. Hasilnya, "Anak sudah dilahirkan Ibu Aminah". Kalimat terakhir ini terasa janggal dan aneh, tetapi strukturnya betul. Contoh-contoh pasangan "predikat-objek" lain yang objeknya tidak secara eksplisit dimunculkan cukup banyak, misalnya "menyakitkan (hati)", "memusingkan (kepala)", atau "menghanyutkan (perasaan)".
Bentuk-bentuk pasif pasangan-pasangan itu adalah "hati disakitkan", "kepala dipusingkan", dan "perasaan dihanyutkan".
Tentu kita tidak dapat menyalahkan kalimat yang bentuk atau maknanya aneh semata-mata berdasarkan perasaan. Analisis di atas sudah benar. Sekarang hanya ada dua pilihan. Pertama, menyimpulkan bahwa apabila objek sebuah kalimat aktif disembunyikan, penuturnya memang bersiasat supaya kalimatnya tidak muncul atau direkayasa menjadi berbentuk pasif. Kedua, menganulir jabatan objek pada pasangan "predikat-objek" tertentu yang riskan muncul dalam bentuk pasif dan menganggapnya bukan berjabatan objek, melainkan keterangan. (Jadi, kata-kata "anak", "hati", "kepala", dan perasaan" pada konstruksi "melahirkan anak", "menyakitkan hati", "memusingkan kepala", dan "menghanyutkan perasaan" di atas disatukan berjabatan keterangan.)
Unsur kalimat yang menjabat sebagai keterangan bersifat opsional kemunculan dan pemunculannya. Salah satu kalimat contoh yang amat sering ditampilkan dan kemudian dianggap salah adalah "Rumah kami dilempari batu". Disebut salah sebab jika dijadikan kalimat aktif, kalimat itu dapat/mungkin berbunyi "Batu melempari rumah kami". Begitulah, andaikata pejabat keterangan kalimat keliru dikenali sebagai pelaku (atau kesempatan lain sebagai objek sebagaimana kasus di atas sebelum ini).
Kalimat "Rumah kami dilempari batu" sebenarnya harus diuraikan jabatan kalimatnya menjadi: rumah kami = subjek; dilempari = predikat; batu = keterangan. Karena menjabat sebagai keterangan, "batu" tak dapat menjadi subjek bila kalimat itu direkayasa menjadi kalimat aktif. Lantas di mana pelaku dalam kalimat itu? Disembunyikan atau tersembunyi! Kalimat pasif memang sering tampil tanpa jabatan pelaku.
Perhatikan, kalimat-kalimat pasif berikut ini sama sekali tak mensyaratkan munculnya pelaku: "Rumah kami dilempari", "Tanah itu sudah dijual", atau "Dapur sedang dibersihkan". Kemudian perluas kalimat-kalimat itu dengan keterangan dan ujilah. Apakah kalimat-kalimat pasif "Tanah itu sudah dijual murah" dan "Dapur sedang dibersihkan sekarang" layak dipaksakan tampil menjadi kalimat-kalimat aktif "Murah sudah menjual tanah itu" dan "Sekarang sedang membersihkan dapur", sebagaimana "Rumah kami dilempari batu" direkayasa menjadi "Batu melempari rumah".
Tidak seperti banyak bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata karena posisinya dalam kalimat sehingga jabatan sebuah kata dalam kalimat perlu lebih dicermati. Bahasa Jerman umpamanya, memiliki artikel di depan kata benda yang dapat memastikan kedusebuah kata sebagai subjek, objek, atau penyerta.
Sumber Primer : Majalah Intisari, Januari 2007. Penulis: Lie Charlie
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Jangan Lupa Subyek dan Predikat
KALIMAT dapat dilihat dari tiga jenis tatarannya: fungsi, kategori, dan peran. Tataran fungsi membagi kalimat atas subjek, predikat, dan objek, pelengkap, dan keterangan. Tataran kategori membagi kalimat atas kelas kata (kata benda/nomina, kata kerja/verba, kata sifat/adjektiva, kata keterangan/adverbial, kata ganti/pronomina, kata bilangan/numeralia, kata depan/preposisi, kata penghubung/konjungsi, kata seru/interjeksi, dan kata sandang/artikel). Tataran peran membagi kata atas jenis perilaku (agentif), penderita (objektif), penerima/penyerta (benefaktif), tempat (lokatif), waktu (temporal), perbandingan (komparatif), alat (instrumental), penghubung (konjungtif), perangkai (preposisi), dan seruan (interjeksi).
Pembagian atas jenis tataran itu jangan dicampuradukkan. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, membuat pembagian objek pelaku, objek penderita, dan objek penyerta. Dua tataran digabungkan menjadi satu. Bicara tentang objek itu berbicara tentang fungsi, sedangkan tentang pelaku, penderita, dan penyerta itu berbicara tentang peran. Begitu juga Slamet Mulyana berbicara tentang gatra (= fungsi), yaitu gatra pangkal (S), gatra sebutan (P), gatra situasi (K), sedangkan gatra pelaku dibaginya atas pelaku I (pemeran), pelaku II (penderita), dan pelaku III (penyerta) berbicara tentang peran, bukan fungsi.
Sebenarnya fungsi terpenting adalah subjek (S) dan predikat (P) karena tiap kalimat (tunggal) pasti terdiri atas S dan P, sedangkan objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (K) adalah bagian dari P inti karena ketiga unsur itu adalah penjelas P inti itu.. Misalnya, kalimat `Dia membahas masalah pemilihan umum dalam rapat itu` dapat kita uraikan sebagai berikut: Dia (S), membicarakan (P), masalah (O), pemilihan umum (Pel), dalam rapat itu (K). Perhatikan: `masalah`, `pemilihan umum`, dan `dalam rapat itu` hanyalah bagian dari `membicarakan`, bagian-bagian yang tiga itu adalah P dalam arti luas.
Tidak ada kalimat tanpa S dan P. Kalau ada kalimat yang tidak memiliki S dan P, misalnya, kalimat jawab atau kalimat perintah, itu tidak berarti bahwa S dan P-nya tidak ada. S dan P itu tidak disebutkan lagi karena sudah diketahui. Misalnya, kalimat jawab `Sudah`. Baik pembicara maupun yang diajak bicara mengerti apa yang dimaksud karena bagian kalimat itu merupakan jawaban atas kalimat `Kamu sudah makan?` Kalimat itu dilihat dari segi maknanya adalah kalimat sempurna, sedangkan dilihat dari segi bentuknya tidak sempurna. Bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama baik kosakatanya maupun strukturnya. Bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa Eropa mempunyai perbedaan-perbedaan khusus. Misalnya, kalimat bahasa Inggris atau bahasa Belanda bukan kalimat namanya kalau tidak ada verbanya karena P dalam bahasa-bahasa itu mesti terdiri atas verba (kata kerja). Bahasa Indonesia tidak demikian. Predikat kalimat dapat terdiri atas jenis kata lain seperti nomina, adjektiva, adverbia, pronomina, numeralia, atau frasa preposisi. Misalnya, dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan `Saya guru` tetapi dalam bahasa Inggris tidak cukup jika dikatakan `I am a teacher`. P-nya am (dari verba to be).
Kita lihat bahwa sebuah kalimat terdiri atas kata-kata sebagai unsur segmentalnya, tetapi itu saja tidak cukup. Kalimat harus dilengkapi dengan intonasi sebagai unsur suprasegmentalnya. Kalau ditulis `Dia sudah makan`, kita belum tahu apa yang dimaksud. Apakah susunan kata- kata itu menyatakan suatu pemberitahuan, tetapi kalau ditulis `Dia sudah makan?`, maka itu sebuah pertanyaan.
Bahasa tulis menuliskan kalimat dengan huruf awal pada kata pertama dengan huruf kapital dan mengakhiri kalimat itu dengan tanda baca. Tanda baca titik (.) menyatakan bahwa kalimat itu sudah selesai sebagai kalimat berita/pemberitahuan, tanda tanya (?) menyatakan bahwa itu sebuah kalimat tanya, dan tanda seru (!) menyatakan bahwa itu sebuah kalimat seru atau kalimat perintah.
Sumber Primer : Majalah Intisari Juni 2004. Penulis : J.S. Badudu
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Pembagian atas jenis tataran itu jangan dicampuradukkan. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, membuat pembagian objek pelaku, objek penderita, dan objek penyerta. Dua tataran digabungkan menjadi satu. Bicara tentang objek itu berbicara tentang fungsi, sedangkan tentang pelaku, penderita, dan penyerta itu berbicara tentang peran. Begitu juga Slamet Mulyana berbicara tentang gatra (= fungsi), yaitu gatra pangkal (S), gatra sebutan (P), gatra situasi (K), sedangkan gatra pelaku dibaginya atas pelaku I (pemeran), pelaku II (penderita), dan pelaku III (penyerta) berbicara tentang peran, bukan fungsi.
Sebenarnya fungsi terpenting adalah subjek (S) dan predikat (P) karena tiap kalimat (tunggal) pasti terdiri atas S dan P, sedangkan objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (K) adalah bagian dari P inti karena ketiga unsur itu adalah penjelas P inti itu.. Misalnya, kalimat `Dia membahas masalah pemilihan umum dalam rapat itu` dapat kita uraikan sebagai berikut: Dia (S), membicarakan (P), masalah (O), pemilihan umum (Pel), dalam rapat itu (K). Perhatikan: `masalah`, `pemilihan umum`, dan `dalam rapat itu` hanyalah bagian dari `membicarakan`, bagian-bagian yang tiga itu adalah P dalam arti luas.
Tidak ada kalimat tanpa S dan P. Kalau ada kalimat yang tidak memiliki S dan P, misalnya, kalimat jawab atau kalimat perintah, itu tidak berarti bahwa S dan P-nya tidak ada. S dan P itu tidak disebutkan lagi karena sudah diketahui. Misalnya, kalimat jawab `Sudah`. Baik pembicara maupun yang diajak bicara mengerti apa yang dimaksud karena bagian kalimat itu merupakan jawaban atas kalimat `Kamu sudah makan?` Kalimat itu dilihat dari segi maknanya adalah kalimat sempurna, sedangkan dilihat dari segi bentuknya tidak sempurna. Bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama baik kosakatanya maupun strukturnya. Bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa Eropa mempunyai perbedaan-perbedaan khusus. Misalnya, kalimat bahasa Inggris atau bahasa Belanda bukan kalimat namanya kalau tidak ada verbanya karena P dalam bahasa-bahasa itu mesti terdiri atas verba (kata kerja). Bahasa Indonesia tidak demikian. Predikat kalimat dapat terdiri atas jenis kata lain seperti nomina, adjektiva, adverbia, pronomina, numeralia, atau frasa preposisi. Misalnya, dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan `Saya guru` tetapi dalam bahasa Inggris tidak cukup jika dikatakan `I am a teacher`. P-nya am (dari verba to be).
Kita lihat bahwa sebuah kalimat terdiri atas kata-kata sebagai unsur segmentalnya, tetapi itu saja tidak cukup. Kalimat harus dilengkapi dengan intonasi sebagai unsur suprasegmentalnya. Kalau ditulis `Dia sudah makan`, kita belum tahu apa yang dimaksud. Apakah susunan kata- kata itu menyatakan suatu pemberitahuan, tetapi kalau ditulis `Dia sudah makan?`, maka itu sebuah pertanyaan.
Bahasa tulis menuliskan kalimat dengan huruf awal pada kata pertama dengan huruf kapital dan mengakhiri kalimat itu dengan tanda baca. Tanda baca titik (.) menyatakan bahwa kalimat itu sudah selesai sebagai kalimat berita/pemberitahuan, tanda tanya (?) menyatakan bahwa itu sebuah kalimat tanya, dan tanda seru (!) menyatakan bahwa itu sebuah kalimat seru atau kalimat perintah.
Sumber Primer : Majalah Intisari Juni 2004. Penulis : J.S. Badudu
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Hukum DM dalam Bahasa Indonesia
HUKUM DM (Diterangkan-Menerangkan) adalah istilah yang mula-mula dimunculkan oleh almarhum Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Hukum DM itu sendiri memang merupakan salah satu sifat utama bahasa Indonesia (BI).
Sebuah frasa, terdiri atas unsur utama yang diikuti oleh unsur penjelas. Ada juga bentuk susunan sebaliknya yaitu MD, tetapi jumlahnya agak terbatas. Konstituen pembentuk frasa itu pun bermacam-macam, boleh nomina (N), verba (V), adjektiva (Ad), pronomina (Pron), dan sebagainya. Kita lihat contoh berikut ini:
NN : kandang kuda
NAdv : anak kemarin
NPron : anak saya
NFrPrep : rumah di bukit
NAd : rumah besar
VAdv : pergi lama
NPron : anak itu
NV : rumah makan
Perhatikan! Baik kata pertama (yang diterangkan) maupun kata kedua (yang menerangkan) dapat terdiri dari kelas kata apa saja: nomina, verba, dan sebagainya. Juga bukan terdiri atas kata-kata sederhana (simple word), namun dapat juga atas kata-kata turunan (complex words). Misalnya, pertimbangkan hati nurani, ketenangan pikiran, kesederhanaan, dan penampilan.
Konstituen menerangkan yang terdiri atas adverbia, frasa preposisi, dan numeralia terletak mendahului konstituen utama yang diterangkannya. Misalnya: belum dewasa, sudah pergi, di pasar, dari sekolah, lima anak, tiga buah patung. Arti atau makna yang ditimbulkan oleh paduan kedua unsur frasa itu dapat bermacam-macam seperti terlihat pada contoh-contoh berikut.
NV : rumah makan, kamar tidur (untuk tempat)
NAd : rumah baru, rumah sederhana (bersifat)
NN : padang pasir (yang tediri dari), buku bacaan (untuk di)
VAd : makan besar, tidur nyenyak (bersifat)
AdAd : biru muda, hitam manis (bersifat)
NumN : lima hari, seratus orang (menyatakan jumlah) dsb.
Melihat contoh-contoh di atas, bahwa dalam membentuk frasa, kita pada umumnya menyusunnya seperti itu, yaitu pokok, yang utama, yang diterangkan kita letakkan di depan, sedangkan keterangan atau penjelasannya kita letakkan sesudah unsur pokok itu. Inilah yang ditonjolkan oleh istilah Hukum DM itu.
Di sinilah kita lihat perbedaan antara bahasa Indonesia (juga bahasa-bahasa lain yang termasuk rumpun Austronesia) dengan bahasa yang tergolong dalam rumpun Indo-German seperti bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dalam bahasa-bahasa itu susunannya adalah MD, yaitu konstituen penjelasnya.
Misalnya, schoolbuilding (Inggris) `bangunan sekolah`, gouverneurkantoor (Belanda) `kantor gubernur`. Ada pula yang menanyakan apakah seorang wanita yang menjadi dokter disebut wanita dokter wanita? Perhatikan: wanita dokter ialah `wanita yang menjadi dokter`, sedangkan dokter wanita ialah `dokter yang keahliannya ialah penyakit-penyakit yang diderita oleh wanita`; bandingkan dengan dokter anak, dokter kandungan, wanita pencuri ialah `wanita yang suka mencuri`, sedangkan pencuri wanita ialah `orang (laki-laki atau perempuan) yang mencuri wanita`; bandingkan dengan wanita penipu dan penipu wanita.
Sumber Primer : Intisari Edisi September 2003. Penulis: J.S. Badudu
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Sebuah frasa, terdiri atas unsur utama yang diikuti oleh unsur penjelas. Ada juga bentuk susunan sebaliknya yaitu MD, tetapi jumlahnya agak terbatas. Konstituen pembentuk frasa itu pun bermacam-macam, boleh nomina (N), verba (V), adjektiva (Ad), pronomina (Pron), dan sebagainya. Kita lihat contoh berikut ini:
NN : kandang kuda
NAdv : anak kemarin
NPron : anak saya
NFrPrep : rumah di bukit
NAd : rumah besar
VAdv : pergi lama
NPron : anak itu
NV : rumah makan
Perhatikan! Baik kata pertama (yang diterangkan) maupun kata kedua (yang menerangkan) dapat terdiri dari kelas kata apa saja: nomina, verba, dan sebagainya. Juga bukan terdiri atas kata-kata sederhana (simple word), namun dapat juga atas kata-kata turunan (complex words). Misalnya, pertimbangkan hati nurani, ketenangan pikiran, kesederhanaan, dan penampilan.
Konstituen menerangkan yang terdiri atas adverbia, frasa preposisi, dan numeralia terletak mendahului konstituen utama yang diterangkannya. Misalnya: belum dewasa, sudah pergi, di pasar, dari sekolah, lima anak, tiga buah patung. Arti atau makna yang ditimbulkan oleh paduan kedua unsur frasa itu dapat bermacam-macam seperti terlihat pada contoh-contoh berikut.
NV : rumah makan, kamar tidur (untuk tempat)
NAd : rumah baru, rumah sederhana (bersifat)
NN : padang pasir (yang tediri dari), buku bacaan (untuk di)
VAd : makan besar, tidur nyenyak (bersifat)
AdAd : biru muda, hitam manis (bersifat)
NumN : lima hari, seratus orang (menyatakan jumlah) dsb.
Melihat contoh-contoh di atas, bahwa dalam membentuk frasa, kita pada umumnya menyusunnya seperti itu, yaitu pokok, yang utama, yang diterangkan kita letakkan di depan, sedangkan keterangan atau penjelasannya kita letakkan sesudah unsur pokok itu. Inilah yang ditonjolkan oleh istilah Hukum DM itu.
Di sinilah kita lihat perbedaan antara bahasa Indonesia (juga bahasa-bahasa lain yang termasuk rumpun Austronesia) dengan bahasa yang tergolong dalam rumpun Indo-German seperti bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dalam bahasa-bahasa itu susunannya adalah MD, yaitu konstituen penjelasnya.
Misalnya, schoolbuilding (Inggris) `bangunan sekolah`, gouverneurkantoor (Belanda) `kantor gubernur`. Ada pula yang menanyakan apakah seorang wanita yang menjadi dokter disebut wanita dokter wanita? Perhatikan: wanita dokter ialah `wanita yang menjadi dokter`, sedangkan dokter wanita ialah `dokter yang keahliannya ialah penyakit-penyakit yang diderita oleh wanita`; bandingkan dengan dokter anak, dokter kandungan, wanita pencuri ialah `wanita yang suka mencuri`, sedangkan pencuri wanita ialah `orang (laki-laki atau perempuan) yang mencuri wanita`; bandingkan dengan wanita penipu dan penipu wanita.
Sumber Primer : Intisari Edisi September 2003. Penulis: J.S. Badudu
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Bola Sepak
BAGI masyarakat Indonesia Timur, sebutan bola sepak tidaklah aneh. Begitulah beberapa puluh tahun yang lalu ketika hanya ada TVRI. Tahun 1990 pertevean kita sudah berkembang jauh. Siarannya juga tidak cuma enam jam sehari. Apalagi sekarang. Dan semua penyiar bilang "sepak bola".
Bagi rakyat jiran rupanya hanva ada satu sebutan: bola sepak. Cara menulisnya bola sepak, dan bolasepak. Mereka misalnya menulis: Persatuan Bolasepak Malaysia. Dan FIFA itu "badan pentadbir bola sepak". Dalam bahasa sana tidak ada aturan yang mengharamkan dua kata atau lebih ditulis sebagai satu kata. Kita pun mengenal kata sejenis seperti adipati, setiakawan. dan bumiputera. Cuma, orang seberang lebih berani menggabung kata untuk membuat kata-kata baru. Misalnya kajibintang, temuduga, temuramah, jawatankuasa, ulangkaji, dan setiausaha. Justru kita yang sekarang suka bingung. Bandarlampung, atau Bandar Lampung? Padahal, menggabung itu sudah amat biasa bagi nama. Misalnya Beckenbauer dan Schweinsteiger, Sukamiskin dan Surakarta.
Bola sepak tidaklah salah. Bukankah kita sendiri berkata bola sodok, bola tampar, dan sebagainya? Jadi kita sebut barangnya dulu, lalu apa yang kita lakukan dengan barang itu. Kalau perlakuannya kita dahulukan, mengapa tidak ada orang yang berkata tangkis bulu? Dahulu kita berkata bola keranjang. Sekarang kata keranjang sudah masuk keranjang, diganti basket. Lo, kok diganti? Apa yang salah? Dalam kamus Kramer, korfbal tetap saja disebut bola keranjang.
Lucunya lagi, kata sepak biasa kita lupakan. Orang berkata main bola dan nonton bola. Bagi rakyat Jawa, main sepak bola itu cukup balbalan. Cuma, belum ada yang mau menyebut pebola, bolawan, atau jurubola. Kalau menulis jururawat kita tidak ragu, tetapi kita suka pikir-pikir dulu untuk menulis juruterbang atau jurumudi.
Dalam bulan Piala Dunia kita sering mendengar ajakan nonton bareng. Herannya, kita belum berani membuat kata kebarengan atau perbarengan. Coba kita lihat kamus Wojowasito. Pembarengan itu diartikan synchronization. Kalau begitu, Indonesianya synchronize itu gampang saja dibuat.
Saat nonton bola, aneka istilah khusus sering terdengar dari pengulas kita. Misalnya dribble. Pikir saya, mengapa harus dribble ya? Kita boleh yakin bahwa kebanyakan orang terdidik pun tidak tahu mengejanya. Semasa kecil saya sendiri hampir tiap hari main bola dengan anak-anak Sunda, Jawa, Ambon, dan Sumatera. Dan kami selalu berkata ngocok bola. Jadi, bagi kami dulu, yang bisa dikocok itu bukan hanya obat, telur, kartu, dan perut.
Dalam surat kabar Malaysia, kalau ada gambar pemain lagi dribbling, keterangannya menyebut mengelecek. Ada pula yang menulis mengelicik. Ulah tukang kocok ini juga mereka sebut menggoreng bola. Menggoreng? Apakah di Indonesia juga disebut begitu? Eh, ternyata benar. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta tercatat "menggoreng-goreng bola"! Jelasannya, 'berlari dengan menggiring dan memainkan bola (sepak bola)'. Jadi, Ronaldo itu menggiring sambil menggoreng. Kata menggiring kita semua tahu. Anehnya, dalam perbolaan seperti tidak pernah kita pakai.
Kita suka bilang membawa bola. Yah, membawa itu terlalu umum dong. Mengapa tidak sesekali kita sebut melarikan bola. Tiap hari penyiar teve berkata banjir bandang. Jadi, kata bandang pantas juga dimasukkan ke kamus kita. Poerwadarminta sudah mencantumkan membelandang. Dalam bahasa Jawa, orang juga bisa disebut mbandang, atau berlari secepatnya. Yang namanya lari tunggang-langgang malah sering kita lihat pada jurubola.
Lalu tackle, mentackle, ditackle, dan tackling. Ini sering terucap. Tidak ada pengulas yang ingat kepada kata jegal, padahal semua orang tahu artinya. Apakah menjegal itu harus menjatuhkan? Tidak. Salah satu keterangan dalam kamus Teeuw ialah verijdelen, selain ten val brengen. Verijdelen itu menggagalkan.
Lalu apa Indonesianya World Cup? Untung saja bukan Cangkir Dunia!
Sumber Primer : Kompas, 14 Juli 2006. Penulis: Sudjoko
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Penulis adalah Guru Besar Emeritus Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB
Bagi rakyat jiran rupanya hanva ada satu sebutan: bola sepak. Cara menulisnya bola sepak, dan bolasepak. Mereka misalnya menulis: Persatuan Bolasepak Malaysia. Dan FIFA itu "badan pentadbir bola sepak". Dalam bahasa sana tidak ada aturan yang mengharamkan dua kata atau lebih ditulis sebagai satu kata. Kita pun mengenal kata sejenis seperti adipati, setiakawan. dan bumiputera. Cuma, orang seberang lebih berani menggabung kata untuk membuat kata-kata baru. Misalnya kajibintang, temuduga, temuramah, jawatankuasa, ulangkaji, dan setiausaha. Justru kita yang sekarang suka bingung. Bandarlampung, atau Bandar Lampung? Padahal, menggabung itu sudah amat biasa bagi nama. Misalnya Beckenbauer dan Schweinsteiger, Sukamiskin dan Surakarta.
Bola sepak tidaklah salah. Bukankah kita sendiri berkata bola sodok, bola tampar, dan sebagainya? Jadi kita sebut barangnya dulu, lalu apa yang kita lakukan dengan barang itu. Kalau perlakuannya kita dahulukan, mengapa tidak ada orang yang berkata tangkis bulu? Dahulu kita berkata bola keranjang. Sekarang kata keranjang sudah masuk keranjang, diganti basket. Lo, kok diganti? Apa yang salah? Dalam kamus Kramer, korfbal tetap saja disebut bola keranjang.
Lucunya lagi, kata sepak biasa kita lupakan. Orang berkata main bola dan nonton bola. Bagi rakyat Jawa, main sepak bola itu cukup balbalan. Cuma, belum ada yang mau menyebut pebola, bolawan, atau jurubola. Kalau menulis jururawat kita tidak ragu, tetapi kita suka pikir-pikir dulu untuk menulis juruterbang atau jurumudi.
Dalam bulan Piala Dunia kita sering mendengar ajakan nonton bareng. Herannya, kita belum berani membuat kata kebarengan atau perbarengan. Coba kita lihat kamus Wojowasito. Pembarengan itu diartikan synchronization. Kalau begitu, Indonesianya synchronize itu gampang saja dibuat.
Saat nonton bola, aneka istilah khusus sering terdengar dari pengulas kita. Misalnya dribble. Pikir saya, mengapa harus dribble ya? Kita boleh yakin bahwa kebanyakan orang terdidik pun tidak tahu mengejanya. Semasa kecil saya sendiri hampir tiap hari main bola dengan anak-anak Sunda, Jawa, Ambon, dan Sumatera. Dan kami selalu berkata ngocok bola. Jadi, bagi kami dulu, yang bisa dikocok itu bukan hanya obat, telur, kartu, dan perut.
Dalam surat kabar Malaysia, kalau ada gambar pemain lagi dribbling, keterangannya menyebut mengelecek. Ada pula yang menulis mengelicik. Ulah tukang kocok ini juga mereka sebut menggoreng bola. Menggoreng? Apakah di Indonesia juga disebut begitu? Eh, ternyata benar. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta tercatat "menggoreng-goreng bola"! Jelasannya, 'berlari dengan menggiring dan memainkan bola (sepak bola)'. Jadi, Ronaldo itu menggiring sambil menggoreng. Kata menggiring kita semua tahu. Anehnya, dalam perbolaan seperti tidak pernah kita pakai.
Kita suka bilang membawa bola. Yah, membawa itu terlalu umum dong. Mengapa tidak sesekali kita sebut melarikan bola. Tiap hari penyiar teve berkata banjir bandang. Jadi, kata bandang pantas juga dimasukkan ke kamus kita. Poerwadarminta sudah mencantumkan membelandang. Dalam bahasa Jawa, orang juga bisa disebut mbandang, atau berlari secepatnya. Yang namanya lari tunggang-langgang malah sering kita lihat pada jurubola.
Lalu tackle, mentackle, ditackle, dan tackling. Ini sering terucap. Tidak ada pengulas yang ingat kepada kata jegal, padahal semua orang tahu artinya. Apakah menjegal itu harus menjatuhkan? Tidak. Salah satu keterangan dalam kamus Teeuw ialah verijdelen, selain ten val brengen. Verijdelen itu menggagalkan.
Lalu apa Indonesianya World Cup? Untung saja bukan Cangkir Dunia!
Sumber Primer : Kompas, 14 Juli 2006. Penulis: Sudjoko
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Penulis adalah Guru Besar Emeritus Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB
Menggunakan Bahasa dengan Tepat
MENGGUNAKAN bahasa secara tepat dan benar tidaklah mudah. Tentu saja diperlukan pengetahuan tentang bahasa itu melalui pelajaran khusus. Pengetahuan berbahasa secara alami saja tidak cukup. Di sekolah, guru mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana bahasa yang benar tentang makna kata, bentuk kata, dan susunan kata dalam kalimat.
Ada dua segi bahasa yang utama, yakni bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan isi adalah makna, arti, atau maksud yang terkandung dalam bentuk bahasa itu. Bentuk dan isi tentu harus sejalan. Kalau bentuk salah, misalnya susunan kata-kata dalam kalimat tidak teratur sesuai dengan struktur kalimat, arti atau maksud kalimat itu akan kabur atau tidak dapat dipahami.
Mari kita tinjau sepatah kata yang sering dipakai orang, padahal kata itu salah bentuknya. Yang saya maksud adalah kata "mengkritisi". "Dia mengkritisi bahasa saya" bukanlah kalimat yang benar. Kata "kritisi" adalah kata bentuk sebagai bentuk jamak dari "kritikus" -- orang yang ahli mengkritik. Baik kata "kritikus", maupun kata "kritisi", berasal dari kata "kritik".
Kata "kritik" dipungut dari bahasa Belanda yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata "kecaman". Kata kerjanya ialah "mengkritik" atau "dikritik". Berikut adalah contoh pemakaiannya.
1. Tabiat manusia pada umumnya suka "mengkritik", tetapi tidak senang bila "dikritik".
2. Alm. H.B. Jassin adalah seorang "kritikus" sastra yang terkenal.
3. "Kritisi" sastra Indonesia sangat sedikit, malah boleh dikatakan orang yang melakukan kerja "kritik" secara teratur, seperti H.B. Jassin, hampir tidak ada.
Dengan penggunaannya dalam kalimat seperti pada contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana penggunaan kata-kata itu secara benar dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia tidak ada bentuk kata kerja "mengkritisi" dan "dikritisi". Kedua bentuk itu adalah bentuk yang salah kaprah. Jadi, jangan digunakan. Contoh lain seperti itu, misalnya "politik", "politikus", dan "politisi".
Kesalahan kedua yang sering kita jumpai dalam tulisan-tulisan dewasa ini ialah bentuk kata "berpetualang". Kata ini dibentuk dari kata dasar "tualang", diberi awalan pe-, lalu diberi lagi awalan ber-. Kata "petualang" berarti orang yang bertualang. Kata ini tidak mungkin diberi lagi awalan ber- karena maknanya tidak sesuai dengan nalar.
Sebagai bandingannya, dapatkah kata "pedagang" dan "petani" diberi awalan ber-, menjadi "berpedagang" dan "berpetani"? Tidak mungkin, bukan? Itu sebabnya bentuk "berpetualang" bukanlah bentuk yang benar.
Dari bentuk dasar "tualang" (yang tidak dapat digunakan tanpa imbuhan) muncul kata "bertualang" sebagai kata kerja. Orang yang "bertualang" disebut petualang dan pekerjaannya itu sendiri disebut "petualangan". Hanya ada tiga kata bentukan dari bentuk dasar kata "tualang" itu, tidak ada bentuk yang lain lagi.
Contoh lain seperti tualang ialah "ungsi". Bentuk ini tidak dapat dipakai sendiri tanpa imbuhan. Hanya muncul sebagai "mengungsi", "pengungsi", "mengungsikan", "diungsikan", "pengungsian", dan mungkin juga bentuk "terungsikan".
Berikut contoh dalam kalimat.
1. Korban bencana alam itu "mengungsi" ke tempat yang aman.
2. Para "pengungsi" terdiri atas laki-laki dan perempuan, bahkan orang-orang yang sudah tua dan anak-anak.
3. Pemerintah "mengungsikan" semua penduduk dari daerah bencana itu.
4. Jumlah orang yang "diungsikan" lebih dari seribu orang.
5. Tempat "pengungsian" tidak hanya satu, tetapi beberapa.
6. Orang yang "terungsikan" merasa bersyukur karena luput dari bencana gempa dan tsunami itu.
Sumber Primer : Majalah Intisari, Maret 2005. Penulis: JS Badudu
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Ada dua segi bahasa yang utama, yakni bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan isi adalah makna, arti, atau maksud yang terkandung dalam bentuk bahasa itu. Bentuk dan isi tentu harus sejalan. Kalau bentuk salah, misalnya susunan kata-kata dalam kalimat tidak teratur sesuai dengan struktur kalimat, arti atau maksud kalimat itu akan kabur atau tidak dapat dipahami.
Mari kita tinjau sepatah kata yang sering dipakai orang, padahal kata itu salah bentuknya. Yang saya maksud adalah kata "mengkritisi". "Dia mengkritisi bahasa saya" bukanlah kalimat yang benar. Kata "kritisi" adalah kata bentuk sebagai bentuk jamak dari "kritikus" -- orang yang ahli mengkritik. Baik kata "kritikus", maupun kata "kritisi", berasal dari kata "kritik".
Kata "kritik" dipungut dari bahasa Belanda yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata "kecaman". Kata kerjanya ialah "mengkritik" atau "dikritik". Berikut adalah contoh pemakaiannya.
1. Tabiat manusia pada umumnya suka "mengkritik", tetapi tidak senang bila "dikritik".
2. Alm. H.B. Jassin adalah seorang "kritikus" sastra yang terkenal.
3. "Kritisi" sastra Indonesia sangat sedikit, malah boleh dikatakan orang yang melakukan kerja "kritik" secara teratur, seperti H.B. Jassin, hampir tidak ada.
Dengan penggunaannya dalam kalimat seperti pada contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana penggunaan kata-kata itu secara benar dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia tidak ada bentuk kata kerja "mengkritisi" dan "dikritisi". Kedua bentuk itu adalah bentuk yang salah kaprah. Jadi, jangan digunakan. Contoh lain seperti itu, misalnya "politik", "politikus", dan "politisi".
Kesalahan kedua yang sering kita jumpai dalam tulisan-tulisan dewasa ini ialah bentuk kata "berpetualang". Kata ini dibentuk dari kata dasar "tualang", diberi awalan pe-, lalu diberi lagi awalan ber-. Kata "petualang" berarti orang yang bertualang. Kata ini tidak mungkin diberi lagi awalan ber- karena maknanya tidak sesuai dengan nalar.
Sebagai bandingannya, dapatkah kata "pedagang" dan "petani" diberi awalan ber-, menjadi "berpedagang" dan "berpetani"? Tidak mungkin, bukan? Itu sebabnya bentuk "berpetualang" bukanlah bentuk yang benar.
Dari bentuk dasar "tualang" (yang tidak dapat digunakan tanpa imbuhan) muncul kata "bertualang" sebagai kata kerja. Orang yang "bertualang" disebut petualang dan pekerjaannya itu sendiri disebut "petualangan". Hanya ada tiga kata bentukan dari bentuk dasar kata "tualang" itu, tidak ada bentuk yang lain lagi.
Contoh lain seperti tualang ialah "ungsi". Bentuk ini tidak dapat dipakai sendiri tanpa imbuhan. Hanya muncul sebagai "mengungsi", "pengungsi", "mengungsikan", "diungsikan", "pengungsian", dan mungkin juga bentuk "terungsikan".
Berikut contoh dalam kalimat.
1. Korban bencana alam itu "mengungsi" ke tempat yang aman.
2. Para "pengungsi" terdiri atas laki-laki dan perempuan, bahkan orang-orang yang sudah tua dan anak-anak.
3. Pemerintah "mengungsikan" semua penduduk dari daerah bencana itu.
4. Jumlah orang yang "diungsikan" lebih dari seribu orang.
5. Tempat "pengungsian" tidak hanya satu, tetapi beberapa.
6. Orang yang "terungsikan" merasa bersyukur karena luput dari bencana gempa dan tsunami itu.
Sumber Primer : Majalah Intisari, Maret 2005. Penulis: JS Badudu
Sumber Sekunder : http://pelitaku.sabda.org/
Langganan:
Postingan (Atom)